Edisi. 28/XXXVI/03 - 9 September 2007

Kolom
Renegosiasi Kontrak Pertambangan

Dradjad Wibowo
Ekonom, Wakil Ketua Fraksi PAN DPR RI

DALAM kunjungan ke berbagai daerah pemilihan di Jakarta, saya sering
terenyuh. Sungguh menyakitkan melihat saudara setanah air tinggal di
gubuk yang lebih kumuh daripada kandang ayam modern. Saya pun tak
kuasa menahan haru melihat seorang nenek yang sudah uzur terbungkuk-
bungkuk antre bahan kebutuhan pokok dalam bakti sosial yayasan. Saya
teringat pada 1970-an, ketika sebagai kanak-kanak ikut antre bulgur
dan susu.
Andai saja kontrak pertambangan dibuat menguntungkan bangsa sendiri,
hal semacam ini tidak akan terjadi. Kita akan mempunyai dana cukup
untuk mengurangi kemiskinan.
Sebagai ilustrasi, mari tengok kasus Freeport. Tahun lalu, Freeport
membayar kewajiban kepada negara US$ 1,6 miliar atau sekitar Rp 14
triliun. Terdiri atas pajak penghasilan badan dan pajak lain US$ 1,29
miliar, royalti US$ 146 juta, dan dividen US$ 159 juta.
Kelihatan besar? Nanti dulu. Mari lihat laporan Freeport-McMoRan
Copper & Gold Inc. (FCX) kepada US Securities and Exchange
Commission, badan pengawas pasar modalnya Amerika. Di situ tampak
nilai aset FCX berupa investasi pada PT Freeport Indonesia (FI) dan
PT Indocopper Investama (IndoC) sebesar US$ 2,22 miliar per 31
Desember 2006.
Pendapatannya US$ 1,56 miliar, setelah dikurangi provisi pajak. Dalam
rilis yang lain, provisi pajak FCX pada semester pertama 2006 sebesar
US$ 532 juta, yang berasal dari penghasilan FI. Ini mencerminkan
pajak penghasilan efektif sekitar 43 persen.
Jika angka 43 persen ini dipakai sebagai patokan, penghasilan FCX
sebelum pajak dari kedua anak perusahaan di atas pada 2006 sekitar US
$ 2,74 miliar. Sedangkan jika angka pajak US$ 1,29 miliar dipakai,
kita mendapat angka pendapatan US$ 1,56 miliar + US$ 1,29 miliar = US
$ 2,85 miliar. Sebagai titik tengahnya, kita asumsikan saja
penghasilan FCX sebelum pajak dari FI dan IndoC adalah US$ 2,8 miliar.
Katakanlah kita mengikuti Presiden Morales dari Bolivia. Kita
renegosiasi kontrak karya menjadi bagi hasil dengan nisbah 82 persen,
seperti minyak Bolivia. Dihitung dari penghasilan sebelum pajak,
negara akan menerima US$ 2,3 miliar atau sekitar Rp 20,7 triliun.
Bila dihitung dari penghasilan setelah pajak, negara memperoleh bagi
hasil US$ 1,28 miliar atau Rp 11,5 triliun. Ditambah pajak US$ 1,29
miliar, total perolehan negara adalah US$ 2,57 miliar atau Rp 23,1
triliun. Jadi, negara berpotensi mendapat tambahan penerimaan Rp 6-9
triliun setahun. Jumlah ini bisa bertambah karena penghasilan FCX
sebelum pajak pada semester pertama 2007 sudah US$ 2,37 miliar.
Bagaimana dengan kontrak migas? Ambil contoh Blok Cepu. Cadangan
minyak di Blok Cepu minimal 600 juta barel, ditambah cadangan
recoverable gas minimal dua triliun standar kaki kubik (TCF).
Asumsikan harga minyak mentah hanya US$ 60 per barel dan gas US$ 3
per mmbtu. Jika Blok Cepu diserahkan kepada Pertamina, aset BUMN ini
bertambah minimal US$ 43 miliar.
Lalu Pertamina meniru FCX yang menjadikan cadangan mineral dalam
kontrak karya sebagai underlying asset. Dengan cara ini, FCX mampu
mengakuisisi Phelps Dodge senilai US$ 25,9 miliar. Artinya, jika kita
pandai, sebuah tanda tangan dari Indonesia bisa bernilai Rp 230
triliun lebih.
Karena itu, saya yakin Pertamina bisa mendapat dana US$ 6-14 miliar.
Jika dana ini menjadi belanja modal, negara mendapat tambahan pajak
pertambahan nilai Rp 5-13 triliun. Belum lagi dari pajak penghasilan
dan dividen.
Itu baru dari dua kontrak. Kalau ratusan kontrak karya dan kontrak
bagi hasil produksi direnegosiasi, tambahannya bisa puluhan triliun
rupiah setahun.
Kata kunci dalam renegosiasi adalah keberanian. Salah satu contohnya
adalah Presiden Jaime Roldos dari Ekuador, yang mengajukan Undang-
Undang Hidrokarbon ke kongres pada awal 1981. Jika disetujui, undang-
undang ini memaksa raksasa minyak seperti Texaco melakukan
renegosiasi atau diusir keluar.
Sayang, ia meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat pada 24 Mei 1981.
Akibatnya, minyak tetap dikuasai asing. Tingkat kemiskinan Ekuador
50-70 persen. Utang naik dari US$ 240 juta menjadi US$ 16 miliar.
Hampir separuh anggarannya habis untuk membayar utang (Perkins,
2004). Ekuador terkena apa yang disebut Joseph Stiglitz, pemenang
Nobel Ekonomi 2001, "kutukan sumber daya alam". Tampak mirip dengan
Indonesia, kan?
Yang berhasil menghentikan kutukan tersebut adalah Presiden Venezuela
Hugo Chaves. Dengan langkah unilateral, Chaves mengubah 32 perjanjian
operasi dengan perusahaan minyak asing menjadi joint ventures, yang
membuat PDVSA (Pertamina-nya Venezuela) menguasai 51 persen saham.
Alhasil, Venezuela, yang pada 1989 menjadi pasien Dana Moneter
Internasional (IMF), kini punya dana lebih untuk kesejahteraan
sosial, bahkan menjadi donor bagi 24 negara.

----------------------------------------------------------------------------
Hot News!!!
EXTENDED ABSTRACT OR FULL PAPER SUBMISSION:
228 papers have been accepted to be presented;
send the extended-abstract or full paper
by 16 August 2007 to [EMAIL PROTECTED]
Joint Convention Bali 2007
The 32nd HAGI, the 36th IAGI, and the 29th IATMI Annual Convention and 
Exhibition,
Bali Convention Center, 13-16 November 2007
----------------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
---------------------------------------------------------------------

Reply via email to