Sebenernya membandingkan teriakan dahulu dengan teriakan sekarang
bukanlah perbandingan yang pas. Kondisi dahulu dengan saat ini jelas
sangat berbeda. Dahulu kita export tentunya sedih harga turun,
sekarang kita net import ya mestilah menangis ketika harga meningkat.
Tetapi, menurut pendapat pribadi, kurang pas membandingkan dua hal
yang memang kontras.
Its more contrasting but not comparing ... both are in different situation.

Saya stuju bahwa kita terlena dan tidak ada pembelajaran dari
perjalanan masa lalu dimana kita masih bergelimang minyak. Saya
pribadi tidak (belum) melihat adanya sebuah "grand design" yang dibuat
saat itu untuk menyongsong abad 21. Apa yang saya bayangkan ketika
kuliah di tahun 1980 adalah kondisi dimana minyak masih buanyakk !!
dan eksplorasi masih rame dan produksi berlimpah.

Mungkin kita perlu melakukan "mimpi bersama" tentang apa yang akan
dihadapi Indonesia di tahun 2050 !!!

"Facing the 2050 Project !"

RDP

On 5/29/08, Sulastama Raharja <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>
>
>
>
>
>
> Untuk Apa Punya Minyak?
>
> Kamis, 29 Mei 2008 | 00:44 WIB
>
> MT Zen
>
> Dahulu, di zaman Orde Baru, saya masih ingat sekali bahwa setiap kali ada 
> berita tentang turunnya harga minyak di pasaran dunia, Pemerintah Indonesia 
> sudah berkeluh kesah. Pada waktu itu cadangan terbukti Indonesia tercatat 12 
> miliar barrel.
>
> Kini, pada masa Reformasi ini, lebih khusus lagi selama kekuasaan Susilo 
> Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, pemerintah juga berteriak, berkeluh kesah, dan 
> panik apabila harga minyak meningkat di pasaran dunia.
>
> Harga minyak turun berteriak, harga minyak naik lebih berteriak lagi dan 
> panik. Jadi, apa gunanya kita punya minyak, sedangkan Indonesia sejak awal 
> sudah menjadi anggota OPEC? Alangkah tidak masuk akalnya keadaan ini? Sangat 
> kontroversial. Minyak itu tak lain adalah kutukan.
>
> Cadangan tak tersentuh
>
> Hingga kini Indonesia secara resmi disebut masih mempunyai cadangan minyak 
> sebesar 9 miliar barrel. Memang betul, jika dibandingkan dengan cadangan 
> minyak negara-negara Timur Tengah, 9 miliar barrel itu tidak ada artinya. 
> Namun, jelas-jelas Indonesia masih punya minyak. Selain cadangan lama, 
> cadangan blok Cepu belum juga dapat dimanfaatkan. Belum lagi cadangan minyak 
> yang luar biasa besar di lepas pantai barat Aceh.
>
> Perlu diketahui bahwa pada pertengahan tahun 1970-an Indonesia memproduksi 
> 1,5 juta barrel per hari. Yang sangat mencolok dalam industri minyak 
> Indonesia adalah tik ada kemajuan dalam pengembangan teknologi perminyakan 
> Indonesia sama sekali.
>
> Norwegia pada awal-awal tahun 1980-an mempunyai cadangan minyak yang hampir 
> sama dengan Indonesia. Perbedaannya adalah mereka tidak punya sejarah 
> pengembangan industri minyak seperti Indonesia yang sudah mengembangkan 
> industri perminyakan sejak zaman Hindia Belanda, jadi jauh sebelum Perang 
> Dunia ke-2. Lagi pula semua ladang minyak Norwegia terdapat di lepas pantai 
> di Laut Atlantik Utara. Lingkungannya sangat ganas; angin kencang, arus 
> sangat deras, dan suhu sangat rendah; ombak selalu tinggi.
>
> Teknologi lepas pantai, khusus mengenai perminyakan, mereka ambil alih dari 
> Amerika Serikat hanya dalam waktu 10 tahun. Sesudah 10 tahun tidak ada lagi 
> ahli-ahli Amerika yang bekerja di Norwegia.
>
> Saya berkesempatan bekerja di anjungan lepas pantai Norwegia dan mengunjungi 
> semua anjungan lepas pantai Norwegia itu. Tak seorang ahli Amerika pun yang 
> saya jumpai di sana sekalipun modalnya adalah modal Amerika, terkecuali satu; 
> seorang Indonesia keturunan Tionghoa dari Semarang yang merupakan orang 
> pertama yang menyambut saya begitu terjun dari helikopter dan berpegang pada 
> jala pengaman di landasan. Dia berkata sambil tiarap berpegangan tali jala, 
> "Saya dari Semarang, Pak." Dia seorang insinyur di Mobil yang sengaja 
> diterbangkan dari kantor besarnya di daratan Amerika untuk menyambut saya di 
> dek anjungan lepas pantai bernama Stadfyord A di Atlantik Utara.
>
> Di sanalah, dan di anjungan- anjungan lain, saya diceritakan bahwa mereka 
> tidak membutuhkan teknologi dari Amerika lagi. Mereka sudah dapat mandiri dan 
> dalam beberapa hal sudah dapat mengembangkan teknologi baru, terutama dalam 
> pemasangan pipa-pipa gas dan pipa-pipa minyak di dasar lautan. Teknologi 
> kelautan dan teknologi bawah air mereka kuasai betul dan sejak dulu 
> orang-orang Norwegia terkenal sebagai bangsa yang sangat ulet dan pemberani. 
> Mereka keturunan orang Viking.
>
> Ada satu hal yang sangat menarik. Menteri perminyakan Norwegia secara pribadi 
> pernah mengatakan kepada saya bahwa Norwegia dengan menerapkan teknologi 
> enhanced recovery dari Amerika berhasil memperbesar cadangan minyak Norwegia 
> dengan tiga kali lipat tanpa menyentuh kawasan-kawasan baru. Ini sesuatu yang 
> sangat menakjubkan.
>
> Norwegia pernah menawarkan teknologi tersebut kepada Indonesia, tetapi mereka 
> minta konsesi minyak tersendiri dengan persyaratan umum yang sama dengan 
> perusahaan lain. Ini terjadi pada akhir tahun 1980-an. Namun, kita masih 
> terlalu terlena dengan "kemudahan-kemudahan" yang diberikan oleh 
> perusahaan-perusahaan Amerika. Pejabat Pertamina tidak mau mendengarkannya. 
> Gro Halem Brundtland, mantan perdana menteri, menceritakan hal yang sama 
> kepada saya.
>
> Contoh lain, lihat Petronas. Lomba Formula 1 di Sirkuit Sepang disponsori 
> oleh Petronas. Petronas itu belajar perminyakan dari Pertamina, tetapi kini 
> jauh lebih kaya dibanding Pertamina. Gedung kembarnya menjulang di Kuala 
> Lumpur. Ironisnya, banyak sekali pemuda/insinyur Indonesia yang bekerja di 
> Petronas.
>
> Kenapa banyak sekali warga Indonesia dapat bekerja dengan baik dan 
> berprestasi di luar negeri, tetapi begitu masuk kembali ke sistem Indonesia 
> tidak dapat berbuat banyak?
>
> Jika kita boleh "mengutip" Hamlet, dia bekata, "There is something rotten, 
> not in the Kingdom of Denmark, but here, in the Republic of Indonesia."
>
> Lengah-terlena
>
> Salah satu kelemahan Indonesia dan kesalahan bangsa kita adalah mempunyai 
> sifat complacency (perkataan ini tidak ada dalam Bahasa Indonesia, cari saja 
> di kamus Indonesia mana pun), sikap semacam lengah-terlena, lupa meningkatkan 
> terus kewaspadaan dan pencapaian sehingga mudah disusul dan dilampaui orang 
> lain.
>
> Lihat perbulutangkisan (contoh Taufik Hidayat). Lihat persepakbolaan 
> Indonesia dan PSSI sekarang. Ketuanya saja meringkuk di bui tetap ngotot tak 
> mau diganti sekalipun sudah ditegur oleh FIFA.
>
> Apa artinya itu semua? Kita, orang Indonesia tidak lagi tahu etika, tidak 
> lagi punya harga diri, dan tidak lagi tahu malu. Titik.
>
> Ketidakmampuan Pertamina mengembangkan teknologi perminyakan merupakan salah 
> satu contoh yang sangat baik tentang bagaimana salah urus suatu industri. 
> Minyak dan gas di Blok Cepu dan Natuna disedot perusahaan-perusahaan asing, 
> sementara negara nyaris tak memperoleh apa pun. Dalam hal ini, Pertamina 
> bukan satu-satunya. Perhatikan benar-benar semua perusahaan BUMN Indonesia 
> yang lain. Komentar lain tidak ada.
>
> MT Zen Guru Besar Emeritus ITB
>
> http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/29/00441957/untuk.apa.punya.minyak
>


-- 
http://tempe.wordpress.com/
Telling the truth is important
Telling the positive is better !!!

--------------------------------------------------------------------------------
PIT IAGI KE-37 (BANDUNG)
* acara utama: 27-28 Agustus 2008
* penerimaan abstrak: kemarin2 s/d 30 April 2008
* pengumuman penerimaan abstrak: 15 Mei 2008
* batas akhir penerimaan makalah lengkap: 15 Juli 2008
* abstrak / makalah dikirimkan ke:
www.grdc.esdm.go.id/aplod
username: iagi2008
password: masukdanaplod

--------------------------------------------------------------------------------
PEMILU KETUA UMUM IAGI 2008-2011:
* pendaftaran calon ketua: 13 Pebruari - 6 Juni 2008
* penghitungan suara: waktu PIT IAGI Ke-37 di Bandung
AYO, CALONKAN DIRI ANDA SEKARANG JUGA!!!

-----------------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
---------------------------------------------------------------------
DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted on 
its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall IAGI and 
its members be liable for any, including but not limited to direct or indirect 
damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss of use, data or 
profits, arising out of or in connection with the use of any information posted 
on IAGI mailing list.
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke