Tarumanegara adalah nama sebuah kerajaan Hindu pertama di Jawa Barat dengan
rajanya yang terkenal bernama Purnawarman yang bertahta pada sekitar tahun 400
M. Demikian yang diajarkan di buku-buku sejarah yang pernah kita pelajari.
Tetapi Slametmuljana (1980) dalam bukunya “Dari Holotan ke Jayakarta” dan
Ayatrohaedi (1983) dalam artikelnya “Pustaka Raiya-Raiya i Bhumi Nusantara”,
menyebutkan bahwa sebelum Tarumanegara, ada beberapa kerajaan Hindu yang
mendahului Tarumanegara : Aruteun (Holotan), Salakanagara, Jayasinghapura,
Argabinta, dan Hujung Kulon. Semua kerajaan ini ada di Jawa Barat mulai abad
ke-1 sampai abad ke-5.
Lalu, apa ada hubungannya dengan geologi sehingga saya menulisnya ? Mungkin
ada. Kerajaan-kerajaan pendahulu Tarumanegara ini ada saat Sumatra masih
bersatu dengan Sunda melalui jembatan darat yang melintasi gunung Krakatau.
Sebuah peta kuno yang sumbernya tak jelas tetapi tercantum di dalam buku
Daldjoeni (1992) : "Geografi Kesejarahan" menggambarkan ada semacam jembatan
darat antara Sunda dan Sumatra. Dari peta itu, tak ada Selat Sunda, tetapi
Teluk Sunda ada, yaitu bagian Laut Jawa yang menjorok ke dalam antara Lampung
dan Banten Sekarang - sementara Lampung dan Banten masih daratan.
Van Bemmelen (1952) dalam “De Geologische Geschiedenis van Indonesie” menulis
di halaman 127 bahwa Selat Sunda sebelum tahun 1175 tak pernah diberitakan
dapat dilewati kapal laut karena kondisinya belum memungkinkan. Gunung Krakatau
belum merupakan pulau kecil seperti sekarang. Pulau-pulau besar kecil masih
banyak berserakan di Selat Sunda. Sumatra dan Jawa masih bergandeng menjadi
satu. Perbatasan antara Swarnadwipa (Sumatra) dan Jawadwipa (Jawa) pada masa
itu masih berupa suatu teluk yang menjorok jauh ke pedalaman di daerah Jambi.
Demikian menurut catatan para pelaut Arab dan Cina (van Bemmelen, 1952, hal.
126-127).
Kondisi geografi ini nanti akan berpengaruh kepada seputar polemik para ahli
sejarah tentang pusat Kerajaan Sriwijaya yang bercorak maritim apakah di
Palembang atau di Jambi.
Kerajaan Salakanagara meliputi Teluk Sunda (nantinya akan menjadi Selat Sunda),
pulau-pulau di sekitarnya, dan Jawa Barat bagian barat. Rajanya yang pertama
bernama Dewawarman I (130-168 M) yang berasal dari India. Sejumlah arca Syiwa
dan Ganesha pernah ditemukan di Pulau Panaitan, Selat Sunda, itu adalah
peninggalan2 Salakanagara.
Kerajaan Jayasinghapura (mulai tahun 340 M) adalah penerus Salakanagara dan
diperkirakan beribu kota di kota Jasinga sekarang di sebelah barat Bogor.
Rajanya yang terkenal adalah Dewawarman VIII (358-382).
Tak diketahui banyak soal Kerajaan Hujungkulon dan Argabinta, tetapi melihat
namanya, kedua kerajaan ini mungkin lokasinya ada di sekitar Ujung Kulon dan
Cianjur Selatan.
Semua kerajaan pendahulu Tarumanegara ini tak meninggalkan prasasti, tetapi
beberapa artefak-nya ditemukan. Kebudayaan menulis mungkin belum terbiasa
saat-saat itu. Pengetahuan tentang keberadaan kerajaan-kerajaan ini berdasarkan
cerita babad dan manuskrip para pelancong dari luar, juga dokumen2 Cina yang
telah mengenal tulisan jauh lebih awal.
Kerajaan Tarumanegara kemudian menggantikan Jayasinghapura. Rajanya bernama
Purnawarman yang naik tahta pada 395 M dan berwilayah di sekitar aliran hilir
Citarum sekarang. Dari Tarumanegara inilah mulai ditemukan prasasti-prasasti
sisa kekuasaannya. Tapak kaki Purnawarman di prasasti2-nya menunjukkan wilayah
kekuasaan Tarumanegara.
Pada saat yang bersamaan dengan Tarumanegara, di wilayah Jakarta sekarang
terdapat sebuah kerajaan bernama Aruteun (Holotan). Tahun 430, 433, 434, dan
452 kerajaan ini tercatat mengirimkan utusan ke Kekaisaran Cina dengan maksud
meminta bantuan atas gangguan terhadap Aruteun oleh kerajaan tetangganya
(Tarumanegara). Apa daya, justru Holotan takluk kepada Tarumanegara pada 452.
Kerajaan Tarumanegara sendiri berakhir pada tahun 686 oleh serangan Sriwijaya.
Sebuah petikan penting terdapat di sebuah buku berbahasa Jawa Kuno (“Pustaka
Raja Purwa”) (dari Keys, 1999 : Catastrophe : A Quest for the Origins of the
Modern Worlds). Pada tahun 416 ”Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari
Gunung Batuwara. Ada goncangan Bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan
kilat. Lalu datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai
menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan
mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika air menenggelamkannya, pulau
Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatra”
Di tempat lain, seorang bishop Siria, John dari Efesus, menulis sebuah
chronicle di antara tahun 535 – 536 AD, “ Ada tanda-tanda dari Matahari,
tanda-tanda yang belum pernah dilihat atau dilaporkan sebelumnya. Matahari
menjadi gelap, dan kegelapannya berlangsung sampai 18 bulan. Setiap harinya
hanya terlihat selama empat jam, itu pun samar-samar. Setiap orang mengatakan
bahwa Matahari tak akan pernah mendapatkan terangnya lagi” (Keys, 1999) .
Dokumen di Dinasti Cina mencatat : ”suara guntur yang sangat keras terdengar
ribuan mil jauhnya ke baratdaya Cina” (Keys, 1999).
Bisa dipastikan bahwa tahun-tahun itu telah terjadi sebuah bencana alam yang
mungkin berupa letusan Krakatau (purba) yang meletus hebat, katastrofik,
menenggelamkan jembatan darat antara Sumatra dan Jawa yang sebelumnya sudah ada
dan melahirkan Selat Sunda.
Mau tidak mau, sedikit atau banyak, letusan katastrofik ini telah mempengaruhi
peta politik kerajaan-kerajaan Hindu pertama di Jawa Barat. Kerajaan maritim
terkuat di sekitar tahun-tahun ini adalah Sriwijaya. Maka, setelah ini,
Sriwijaya yang mengandalkan kekuatan baharinya menjadi makin kuat dengan
terbentuknya laut di antara Sumatra dan Jawa, dan kerajaan ini mulai
menaklukkan kerajaan-kerajaan Hindu pertama di Jawa, yaitu di wilayah Sunda,
Jawa Barat. Kelak, Sriwijaya pun mundur akibat sedimentasi sungai-sungai di
wilayah timur Sumatra yang telah mengakibatkan perdagangan menjadi lesu sebab
tak befungsinya pelabuhan-pelabuhan akibat sedimentasi.
Adalah karena sedimentasi Sungai Citarum dan Kali Bekasi serta kondisi
rawa-rawa yang tak sehat yang telah menyebabkan kerajaan-kerajaan di Jawa Barat
pindah ke pedalaman (Sunda, Galuh, Pajajaran), barangkali untuk menghindari
efek sedimentai sungai di wilayah hilir.
Pada tahun 670 M, Citarum dijadikan batas dua kerajaan penerus Kerajaan
Tarumanagara, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Kerajaan Sunda mempunyai
wilayah dari sungai Citarum ke sebelah barat, sedangkan Kerajaan Galuh
mempunyai wilayah dari Sungai Citarum ke sebelah timur.
Sekali lagi, alam sedikit banyak memainkan peranan penting dalam maju mundurnya
kerajaan-kerajaan pada masa silam.
Salam,
awang