Terimakasih ceritanya, pak Awang. Kebetulan kemarin dan lusa, saya melintasi 
Lapangan2 Kawengan, Wonocolo, Ledok, dan Nglobo. Semuanya masih dikelilingi 
oleh jati dan hutan jati kok.

Tentu waktu itu utk melarikan diri dari Kawengan menuju Cepu, tidaklah mudah, 
sebab morfologi daerah ini bukanlah datar2 saja.

Salam,
Syaiful

Mohammad Syaiful
* handphone: +62-812-9372808
* business: msyai...@etti.co.id

-----Original Message-----
From: Awang Satyana <awangsaty...@yahoo.com>

Date: Sat, 18 Apr 2009 22:34:56 
To: IAGI<iagi-net@iagi.or.id>; Forum HAGI<fo...@hagi.or.id>; Geo 
Unpad<geo_un...@yahoogroups.com>; Eksplorasi 
BPMIGAS<eksplorasi_bpmi...@yahoogroups.com>
Subject: [iagi-net-l] Het Einde van Tjepoe

Het Einde van Tjepoe (sebut saja “Tamatnya Riwayat Cepu”) adalah sebuah laporan 
tulisan G.H. van der Kolk, seorang pekerja BPM di Cepu, Jawa Timur yang 
menuliskan perusakan fasilitas lapangan minyak Kawengan oleh para karyawan BPM 
sendiri pada akhir Februari-awal Maret 1942 saat Jepang menyerang Jawa. 
 
Laporan tersebut dibukukan Johan Fabricius (1949) “East Indies Episode” yang 
menceritakan riwayat perusakan-perusakan fasilitas perminyakan di Indonesia dan 
evakuasi karyawan-karyawan BPM saat Jepang menyerbu Indonesia pada Perang 
Pasifik yang genderang perangnya mulai ditabuh dengan dibomnya Pearl Harbour 
pada Desember 1941. Perusakan dan evakuasi di Kalimantan serta Kepala Burung 
Papua sudah saya ceritakan sebelumnya di milis ini, masing-masing dengan judul 
“Bumihanguskan Minyak” (September 2008) dan “Kiamat di Babo” (Februari 2009). 
Kini, saya ingin menceritakan riwayat perusakan dan evakuasi di Cepu.
 
Cepu sudah menyaksikan bagaimana lapangan-lapangan minyak di Kalimantan 
dibumihanguskan, maka Cepu sudah lebih daripada siap untuk menyambut Jepang 
dengan mengecewakannya melalui lapangan-lapangan minyak yang diincar Jepang 
akan dirusakkan. Lapangan Kawengan, lapangan terbesar saat itu (1942) di Cepu 
telah dikelilingi jaringan kabel berbahan peledak. Pekerjaan meledakkannya 
hanya tinggal memicu detonatornya, menunggu perintah dari manajemen BPM. 
Karyawan-karyawannya bahkan telah melakukan beberapa gladi kotor maupun resik 
untuk merusakkan lapangan ini. Dua puluh ton dinamit disimpan di gudang 
lapangan Kawengan. 
 
Semen berkarung-karung telah disiapkan untuk pekerjaan setelah meledakkan, 
yaitu akan disumbatkan ke dalam pipa-pipa sumur produksi. Besi-besi tua dari 
sekrup dan baut kecil sampai potongan-potongan baja telah disiapkan untuk 
dibenamkan ke dalam pipa-pipa sumur produksi. Mesin-mesin pemotong baja telah 
disiapkan untuk menggergaji fasilitas-fasilitas produksi yang tidak luluh 
dimakan api. Berdasarkan persiapan-persiapan ini, lapangan Kawengan dapat 
dirusakkan dalam waktu hanya tiga jam, tiga jam berikutnya akan digunakan untuk 
evakuasi. Bayangkan, lapangan yang ditemukan dan dikembangkan dalam waktu 25 
tahun ini akan dihancurkan dalam waktu hanya tiga jam. Itulah akibat negatif 
sebuah perang (!).
 
Beberapa keluarga, terutama kaum perempuan dan anak-anak sudah dievakuasikan ke 
perumahan-perumahan BPM yang dibangun di puncak Gunung Lawu dekat Telaga 
Sarangan. Keluarga-keluarga dari Cepu ini akan bergabung dengan 
keluarga-keluarga BPM pengungsi dari Tarakan dan Balikpapan, tempat Jepang 
menyerang pertama lapangan-lapangan minyak di Indonesia.
 
Sabtu malam 28 Februari 1942, diperoleh kabar oleh para karyawan BPM di Cepu 
yang sedang bersiaga bahwa tentara Jepang telah terlihat di pantai dekat 
Kragan, kawasan Rembang. Tim perusak di Kawengan diperintahkan bersiap 
merusakkan lapangan. Dinamit, kabel detonator, dan berbagai peralatan segera 
dimuat ke dalam lori-lori lalu mereka was-was menunggu komando “ledakkan”.  
Pukul 03.00 Minggu 1 Maret 1942 saat cahaya bulan tengah terang tentara Jepang 
mendarat di pantai dan dengan kecepatan tinggi bergerak menuju Cepu hendak 
merebut lapangan-lapangan minyak di Cepu.  Segera setelah berita ini diterima 
tim perusak, bersamaan dengan menyingsingnya fajar, menggetarkan tanah di 
sekitar Cepu oleh ledakan dinamit pertama. Karyawan-karyawan BPM menyambut 
ledakan itu dengan klimaks tersendiri, setelah sekian lama menunggunya. Tanpa 
rasa sayang lagi, mereka mulai merusakkan apa saja yang bisa dirusakkannya, 
semakin sedikit tersisa untuk musuh semakin baik. 
 
Saat mereka dengan ganas merusakkan Kawengan, tiba-tiba di udara hadir tiga 
pesawat tempur Jepang. Mereka berputar-putar di atas Kawengan pada ketinggian 
rendah mengamati pesta perusakan. Dalam laporannya, G.H. van der Kolk menulis 
bahwa ia tidak habis pikir mengapa tiga pesawat tempur ini diam saja hanya 
mengamati, padahal bila mau, mereka bisa dengan mudah menghentikan pesta liar 
di bawah. Pesawat tempur berkeliling 1,5 jam dan segera lenyap. 
 
Pekerjaan perusakan Kawengan ternyata tidak berjalan seperti digladiresikkan, 
teorinya saja tiga jam, kenyataannya tidak begitu. Kekuatan tim perusak dengan 
cepat berkurang sampai setengahnya karena kehabisan tenaga. Pekerjaan perusakan 
ternyata berjalan mulur hampir sembilan jam. Pukul 13.00 semua rencana 
perusakan telah dilakukan. Semua anggota tim telah melakukan pekerjaannya 
sesuai direncanakan.
 
Saat mereka berkumpul untuk melakukan evakuasi dengan empat gerbong kereta, 
tiba-tiba sebuah ledakan besar terjadi tak sampai 900 meter dari titik 
berkumpul mereka. Tanah bergetar seperti digoncangkan gempa, ledakan ini telah 
mengangkat gerbong kereta dan membalikkannya. Semua penumpang terlempar ke sisi 
jalan. Bersamaan dengan itu hujan pasir terjadi bersamaan dengan serpihan 
kayu-kayu jati. Lapangan Kawengan dikelilingi hutan jati saat itu. Penduduk 
sipil telah diungsikan Pemerintah lama sebelum Jepang mendarat di pantai 
Rembang sehingga diyakini tak ada korban penduduk sipil.
 
Ledakan dahsyat tadi tidak direncanakan karyawan2 BPM, mereka bingung sambil 
berpikir mungkin Jepang telah menyerang. Segera saja mereka melarikan diri 
menggunakan lori kereta yang masih bisa dipakai menuju Cepu. Tetapi ternyata 
evakuasi tidak mudah, jalan kereta tidak bisa terus dilalui karena masuk ke 
dalam sungai dan sungainya terbakar sebab dialiri minyak yang mengambang di 
permukaannya – sungai minyak ! Mereka kemudian turun dari gerbong dan berbalik 
arah melarikan diri masuk ke dalam hutan sambil mencari jalan lain menuju Cepu. 
Di hutan mereka baru menyadari rupanya ledakan-ledakan tadi tengah dilakukan 
oleh tim perusak dari Departemen Kehutanan. Mereka sebisa mungkin tengah 
merobohkan pohon-pohon jati dalam usaha untuk menghalangi jalan Jepang memasuki 
wilayah ini. Dengan berhati-hati mereka terus berlari di hutan, saat hampir 
memasuki Cepu sebuah tirai api yang luar biasa besarnya dan luas menghalangi 
mereka –mirip lautan api, tulis van der
 Kolk. Rencana baru dibuat, mereka akan menyeberangi Bengawan Solo menuju 
Ngawi. 
 
Semua kekacauan ini terjadi di luar rencana dan akibat tim perusak Kawengan 
bekerja tiga kali lebih lambat daripada yang direncanakan. Komunikasi dengan 
tim lain tidak bisa dilakukan karena sejak pukul 08.00 hubungan komunikasi 
telah diputuskan. Tim perusak di Cepu sebenarnya akan menunggu tim perusak dari 
Kawengan melalui jembatan Bengawan Solo untuk kemudian sama-sama berevakuasi ke 
Ngawi. Tim Cepu telah menunggu rekan-rekannya dari Kawengan sampai pukul 11.00. 
Saat Tim Cepu tak bisa menunggu lebih lama lagi, mereka meledakkan jembatan 
Bengawan Solo dan berangkat sendiri ke Ngawi.  Maka, tim perusak Kawengan tak 
bisa lagi menggunakan jembatan untuk menyeberangi Bengawan Solo.
 
Di sini, mereka memutuskan membagi dua timnya, masing-masing akan menggunakan 
cara-cara tersendiri untuk menghindari tangkapan Jepang. Satu bagian memaksa 
menyeberangi Bengawan Solo yang tengah tinggi airnya akibat hujan besar 
sebelumnya. Satu bagian berjalan memutar di sawah-sawah sambil mengendap-endap 
takut terlihat oleh Jepang. G.H. van der Kolk adalah salah seorang dari bagian 
tim yang berjalan di atas sawah. Beberapa penyeberang Bengawan Solo selamat 
sampai di seberang, beberapa lagi hanyut terbawa Bengawan Solo ke hilir. 
Tetapi, tak ada satu pun dari mereka yang selamat, kalau tidak mati dibenamkan 
Bengawan Solo, mereka disambut Jepang di seberang dan dimasukkan ke kamp-kamp 
penjara.
 
Para pejalan kaki di sawah, mengandalkan naluri orientasi mereka, terus 
berjalan meskipun tak yakin ke mana mereka melangkah. Empat setengah jam mereka 
telah berjalan. Pandangan ke depan tak lebih dari 15 meter sebab wilayah di 
sekitarnya menjadi gelap oleh tebalnya asap kebakaran di mana-mana dan bau 
minyak terbakar. Siang dan sore hari menjadi seperti malam hari. Di suatu 
tempat, mereka beruntung sekali bertemu dengan seorang kuli BPM yang 
memberitahukan bahwa lokasi stasiun utama Cepu tak jauh dari mereka, hanya 
berjalan kaki selama setengah jam. Sambil tetap bersembunyi sebab mereka telah 
melihat beberapa tentara Jepang bersepeda mengadakan patroli, mereka berusaha 
mencari stasiun tersebut.
 
Akhirnya, bertemulah mereka dengan stasiun Cepu dan menemukan kepala stasiun 
tengah menyiapkan lokomotif dan satu gerbong yang tersisa untuk melakukan 
evakuasi. Maka, segeralah mereka pun menumpang. Kereta ternyata menuju Solo. Di 
beberapa tempat mereka menemukan lokomotif-lokomotif yang ditinggalkan. 
Loko-loko ini segera disambungkan ke rangkaian sehingga akhirnya rangkaian 
kereta api terdiri atas beberapa lokomotif dan satu gerbong berjalan dengan 
ganjilnya tetapi menakjubkan menuju Solo membawa para pengungsi pekerja 
perminyakan yang ketakutan dan kelelahan.
 
”Zondag, 1 Maart 1942, is de langste dag in mijn leven dat Ik zal het altijd 
herinneren.” (Minggu, 1 Maret 1942, adalah hari terpanjang dalam hidup saya 
yang akan selalu saya kenang). Demikian tulis van der Kolk menutup laporannya.
 
Salam,
awang



Kirim email ke