Geologi lahir sebagai ilmu yang bersistematika baru dua ratus tahun yang lalu, 
sangat muda bila dibandingkan dengan ilmu-ilmu fisik lainnya (astronomi, 
biologi, fisika, kimia) yang telah muncul sejak ratusan tahun sebelum Masehi. 
Mungkin karena masih muda itulah, maka sejak lahirnya geologi telah membawa 
kontroversi-kontroversi.
 
Anthony Hallam, penulis beberapa buku geologi terkenal (a.l. “A Revolution in 
the Earth Sciences : from Continental Drift to Plate Tectonics” – Oxford 
University Press, 1973) menyebutkan ada empat geokontroversi terbesar : (1) 
neptunists vs. plutonists, (2) catasthrophists vs. uniformists, (3) young Earth 
vs. old Earth, dan (4) fixists vs mobilists. Hallam menjelaskan keempat 
kontroversi tersebut dalam bukunya “Great Geological Controversies” – Oxford 
University Press, 1989. 
 
Atas empat geokontroversi tersebut, boleh saya tambahkan geonontroversi ke-5, 
yaitu (5) expanding Earth. Bila ada kontroversi lain yang sifatnya global dan 
signifikan pengaruhnya kepada ilmu geologi, silakan kawan-kawan tambahkan. 
Berikut ini adalah ringkasan kelima geokontroversi tersebut, sekadar 
mengingatkan kembali. Beberapa kontroversi tersebut telah dianggap selesai, 
meskipun sebenarnya belum tentu selesai bila pada masa yang akan datang 
ditemukan bukti-bukti baru yang bertentangan lagi, maka boleh saja babak baru 
geokontroversi tersebut digelar lagi.
 
Neptunists vs. Plutonists
 
Seorang pionir geologi Jerman, Abraham Gottlob Werner, pada abad akhir ke-18 
mengeluarkan teori bernama neptunisme saat ia menafsirkan sebuah urutan batuan 
yang ditemukannya yang disusun dari bawah ke atas oleh batuan beku, batuan 
metamorf dan batuan sedimen. Menurutnya, Bumi dulu pernah ditutupi oleh lautan 
asal (primeval ocean) yang mengatasi seluruh permukaannya bahkan 
pegunungan-pegunungan tertinggi. Teorinya ini disebut neptunisme, mengambil 
nama dewa lautan bangsa Latin : Neptunus. Batuan-batuan beku dan metamorf juga 
ditafsirkannya sebagai hasil pengendapan dari air laut. Teorinya ini diterima 
secara luas saat itu, tetapi kesulitan pun segera muncul ketika harus 
menjelaskan asal lava basal dan gunungapi. Akhirnya, Werner mengatakan bahwa 
aktivitas volkanik dan lava basal itu sebagai akibat pembakaran lapisan 
batubara di tambang-tambang bawah tanah. Tetapi jawaban Werner ini tak 
memuaskan ketika dilakukan penelitian di banyak tempat di Eropa. Maka,
 pandangan berlawanan pun segera diajukan James Hutton yang mengatakan bahwa 
tak semua granit itu primordial sebab ia menemukan banyak intrusi granit di 
Skotlandia yang menerobos batuan sedimen yang menutupinya. Artinya, intrusi 
granit ini lebih muda daripada batuan sekelilingnya. Teori Hutton ini disebut 
plutonisme. Neptunisme Werner kehilangan penganut, memasuki abad ke-19 
plutonisme banyak dianut orang. Demikian, tulis Hallam (1989, 2000).
 
Kini, kita tahu neptunisme hanya benar untuk sedimen karbonat in-situ; sisanya 
semua batuan adalah plutonisme dan modifikasinya melalui proses-proses daur 
batuan. Meskipun demikian, masih ada masalah tentang granitisasi batuan sedimen 
yaitu bahwa granit tak semuanya dihasilkan oleh plutonisme, ada proses 
migmatisasi dan magmatisasi batuan sedimen yang akan mengubahnya menjadi 
granit, lahirlah I-type dan S-type granite.
 
Catastrophists vs. uniformists
 
Istilah-istilah katasrofisme dan uniformitarianisme diciptakan oleh William 
Whewell pada tahun 1832. Tokoh utama katastrofisme pada awal abad ke-19 adalah 
para ilmuwan Prancis : Georges Cuvier dan Leonce Elie de Beaumont. Teori 
katastrofisme mereka didasarkan atas pekerjaan stratigrafi Tersier di Cekungan 
Paris. Cuvier melihat urutan stratigrafi tersebut sebagai akibat 
peristiwa-peristiwa bencana besar atau malapetaka (katastrofi) yang tak hanya 
mengganggu urutan lapisan dan menyebabkan perubahan muka laut yang dramatik 
tetapi juga menyebabkan kepunahan massa fauna. Elie de Beaumont mengikuti 
Cuvier bahwa lapisan-lapisan yang miring dan terlipat yang diamatinya 
mengartikan suatu gangguan yang mendadak, bukan akibat proses yang lambat dan 
berangsur (gradual). Di pihak lain, berdiri Charles Lyell, seorang pengikut 
James Hutton,  yang membela perubahan lambat dan gradual dalam proses-proses 
geologi yang disebut prinsip uniformitarianisme. Perdebatan sengit
 pun terjadi di Inggris selama tahun 1820-an dan 1830-an. Di pihak 
katastrofisme ada William Buckland dan Adam Sedgwick yang mengajukan teori 
katastrofik bernama teori diluvial, yaitu bahwa banyak fenonema geologi terjadi 
sebagai akibat banjir zaman Nuh. Meskipun teori diluvial tak bertahan lama, 
para pembela katastrofik mengatakan bahwa sejarah Bumi itu punya arah, 
“direction” tertentu, semakin maju; bukan keadaan yang tetap sama di semua 
zaman, “steady state” seperti yang dibela Charles Lyell. Begitulah ringkasan 
perdebatan tersebut, seperti ditulis Hallam (1989, 2000).
 
Kini, kita melihat bahwa proses-proses dalam sejarah Bumi terjadi baik melalui 
uniformitarianisme maupun katastrofisme. Gejala sedimentasi yang kini terjadi 
di muara sungai atau pantai membentuk struktur-struktur sedimen yang persis 
sama yang kita amati terdapat di batuan-batuan berumur Kapur atau Miosen 
misalnya. Proses modern ternyata sama dengan proses puluhan juta tahun yang 
lalu –uniform atau seragam. Kita juga melihat proses kompaksi dan litifikasi 
sedimen menjadi batuan yang lama, berangsur atau gradual. Tetapi, kita melihat 
juga bahwa terdapat “directionalism” dalam perkembangan makhluk hidup dari masa 
yang lebih lama ke masa yang lebih baru berdasarkan peninggalan-peninggalan 
fosil. Alam tak tinggal tetap, tidak steady state. Bencana-bencana besar yang 
memunahkan massa fauna dan flora pun rutin terjadi, yang terbesar misalnya pada 
akhir Perem dan akhir Kapur. Kombinasi konsep-konsep uniformists dan 
catasthropists-lah yang terjadi.
 
Young Earth vs. Old Earth
 
Menjelang pertengahan abad ke-19 terdapat dua pengutuban pendapat tentang 
berapa umur Bumi. Para fundamentalis Kristen dan Katolik berdasarkan penafsiran 
mereka atas Alkitab menganggap Bumi ini umurnya hanya 6000 tahun. Para ahli 
geologi, mengikuti Charles Lyell mengatakan bahwa umur Bumi jauh lebih tua dari 
itu, tetapi mereka tak dapat mengatakan lebih detail seberapa tua yang 
dikatakan tua itu. Mendapatkan tantangan itu, lalu dimulailah berbagai usaha 
mengukur umur Bumi. Usaha serius pertama dilakukan John Phillips yang mengukur 
kumulasi lapisan-lapisan batuan dan dengan mengacu kepada kecepatan sedimentasi 
per tahun, akhirnya ia mendapatkan angka 96 juta tahun untuk umur pembentukan 
kerak Bumi. Beberapa tahun kemudian, seorang ahli fisika Skotlandia William 
Thompson (kemudian lebih terkenal dengan nama Lord Kelvin) mengukur umur Bumi 
menggunakan metode berbeda. Lord Kelvin menggunakan asumsi yang saat itu telah 
diyakini banyak orang bahwa Bumi pada
 mulanya merupakan bola lebur yang panas yang mendingin secara perlahan. Dari 
perhitungan-perhitungan yang dilakukannya, keluarlah angka 98 juta tahun 
sebagai umur Bumi. Umur Bumi hasil perhitungan Phillips dan Kelvin mirip, 
sehingga semula diyakini para ahli geologi. Tetapi umur tersebut terlalu muda 
bagi keseluruhan evolusi, begitu menurut Charles Darwin dan para pengikutnya. 
Perdebatan pun dimulai, metode Kelvin dipertanyakan, dan perdebatan semakin 
sengit karena gaya Lord Kelvin yang dogmatik, bahkan lalu ia merevisi 
hitungannya lagi pada tahun 1897 menjadi hanya 24 juta tahun. Thomas 
Chamberlain, ahli geologi Amerika berspekulasi bahwa mungkin ada sumber energi 
yang terkunci di dalam atom yang oleh para ahli fisika abad ke-19 belum 
disadari. Sumber energi ini barangkali bisa digunakan untuk menghitung umut 
Bumi. Penemuan radioaktivitas pada 1896 oleh Henry Bacquerel membetulkan 
pendapat Chamberlain ini dan pengukuran umur menggunakan radioaktivitas
 pun segera dimulai dan segera meruntuhkan semua pendapat Lord Kelvin. Pada 
awal abad ke-20 telah umum disepakati bahwa umur Bumi harus beberapa ribu juta 
tahun, jauh lebih tua dari hitungan siapa pun. Begitu, ringkasan dari Hallam 
(1989, 2000).
 
Umur Bumi yang sebenarnya harus diukur di intinya yang paling dalam sebab 
itulah bagian tertua Bumi. Tentu saja tak ada materi daripadanya yang bisa 
diambil untuk diukur umurnya. Tetapi para ilmuwan mengetahui bahwa inti Bumi 
tersusun dari nikel dan besi, suatu susunan yang mirip dengan meteorit besi. 
Dari astronomi, kita pun tahu bahwa Bumi semula terbentuk dari puing-puing di 
Alam Semesta semacam meteorit tersebut yang saling berbenturan lalu 
berakumulasi menjadi materi debu dan gas yang panas lalu memadat lagi. 
Berdasarkan hal itu, maka umur meteorit yang jatuh di Bumi adalah umur Bumi 
juga sebab sumber meteor dan materi pembentuk Bumi dilahirkan bersamaan. Ahli 
fisika Amerika pertama yang mengukur umur Bumi dengan cara mengukur umur 
meteorit adalah Claire Patterson pada tahun 1956 dan menemukan bahwa umur Bumi 
adalah 4550 juta tahun atau 4,55 milyar tahun (Luhr et al., 2003; menurut 
Gradstein et al. 2004 : 4560 juta tahun). Umur Bumi setua itu
 mungkin benar bila kita mempercayai metode perhitungan umur menggunakan 
radioaktivitas sebab sampel batuan paling tua saat ini adalah ortogenes Acasta 
yang ditemukan di Inti Benua Slave di Canada yang umurnya 4031 juta tahun 
(Bowring dan Williams, 1999). Mineral tertua yang terukur adalah detrital 
zircon dari metakonglomerat di Australia Barat yang umurnya 4408 juta tahun 
(Wilde et al, 2001). Pembentukan Bumi sendiri harus lebih tua dari batuan dan 
mineral tertua itu. Berapa persisnya umur Bumi itu kita tak akan tahu sebab 
sampel di inti Bumi tak akan pernah didapatkan, tetapi umur 4560 juta tahun 
diterima banyak pihak. Meskipun demikian, para kreasionis, yaitu golongan yang 
menolak eolusi, sampai saat ini masih meyakini bahwa Bumi hanyalah beberapa 
ribu tahun umurnya, bukan beberapa ribu juta tahun; dan menurut mereka metode 
perhitungan menggunakan radioaktivitas adalah salah.
 
Fixists vs. Mobilists
 
Pada akhir abad ke-19, para ahli geologi umumnya telah bersepakat bahwa Bumi 
itu secara perlahan mendingin dan berkontraksi dengan berjalanya waktu, dan 
banyak yang berpendapat bahwa jalur-jalur pegunungan adalah sebagai akibat 
kontraksi ini (sering dibandingkan dengan kisut kulit jeruk yang sudah 
mengering). Para ahli geologi di Eropa dan Amerika saat itu percaya bahwa 
jalur-jalur pegunungan ini seluruhnya disebabkan gaya-gaya geologi vertikal di 
bawah pegunungan ini. Tak ada yang memikirkan kemungkinan bahwa 
pegunungan-pegunungan ini disebabkan gaya lateral sebab model ini akan sangat 
bertentangan dengan model Bumi yang stabil. Tetapi ternyata ada juga yang 
berani menantang para stabilists ini, yang mengatakan bahwa 
pegunungan-pegunungan tersebut disebabkan gaya lateral melalui pergerakan benua 
yang hanyut (continental drift), dialah Alfred Wegener, seorang ahli 
meteorologi dan geofisika Jerman. Wegener memang bukan orang pertama yang 
mengemukakan
 bahwa benua-benua kemungkinan bergerak, sebelumnya ada Snyder di Prancis dan 
Taylor di Amerika, tetapi Wegener-lah yang mengemukakannya secara sistematik 
dan dengan bukti-bukti yang kuat. Wegener menantang teori pembentukan 
pegunungan melalui pendinginan dan kontraksi Bumi.  Misalnya, mengapa kerutan 
pegunungan itu tidak tersebar seragam di mana-mana di permukaan Bumi, tetapi 
hanya di jalur-jalur tertentu yang sempit memanjang. Teori Bumi mendingin 
karena panasnya hilang terpancar ke angkasa luar juga bertentangan dengan 
penemuan baru saat itu bahwa produksi panas justru terus terjadi melalui 
radioaktivitas di batuan-batuan penyusun Bumi. Wegener bahkan berteori bahwa 
dulu pada masa Mesozoikum ada superbenua besar yang disebutnya Pangaea, yang 
kemudian retak dan pecah lalu fragmen-fragmennya bergerak menjauh membuka 
Samudera Atlantik dan Hindia. Gerak fragmen-fragmen benua ini akhirnya 
bertubrukan satu sama lain dan membentuk jalur-jalur pegunungan.
 Pegunungan Alpina dan Himalaya terbentuk karena konvergensi Afrika dan India 
dengan Eurasia. Wegener mengajukan bukti-bukti bahwa benua-benua yang sekarang 
terpisah itu dulu pernah bersatu, misalnya bukti kesamaan fosil, jalur 
pegunungan yang terputus, kesamaan lapisan es di benua-benua belahan Bumi 
bagian selatan, dsb. Tetapi Wegener tak menemukan mekanisme penyebab hanyutan 
benua itu. Rotasi Bumi pernah dikemukakannya sebagai penyebabnya, tetapi tidak 
diterima. 
 
Perlawanan atas teori hanyutan benua Wegener semula tidak sengit, tetapi 
menjadi sengit pada waktu jeda di antara dua Perang Dunia. Perlawanan utama 
berasal dari para ahli geofisika yang mengatakan bahwa Bumi memiliki kekuatan 
terlalu besar untuk membiarkan benua-benua bermigrasi hanyut ke sana ke mari di 
atas permukaannya. Meskipun demikian, Wegener mendapat dukungan dari beberapa 
tokoh geologi seperti Emile Argand, Alexander du Toit dan Arthur Holmes. Dan 
Arthur Holmes-lah yang menemukan mekanisme yang memuaskan untuk terjadinya 
hanyutan benua tersebut, yaitu gerak konveksi di mantel Bumi bagian atas. 
Meskipun demikian, yang percaya teori hanyutan benua dianggap sebagai 
orang-orang aneh, maka menjelang tahun 1950 teori hanyutan benua Alfred Wegener 
dilupakan orang dan ditolak banyak ahli ilmu kebumian. Namun selepas Perang 
Dunia II yang terjadi justru sebaliknya ketika banyak riset geomarin dilakukan 
atas dasar lautan terutama pada magnetisme batuan
 dan topografi dasar lautan. Banyak sekali para ahli geologi dan geofisika yang 
terlibat dalam penelitian-penelitian selama akhir tahun 1950-an dan sepanjang 
tahun 1960-an yang lalu akhirnya dengan yakin membenarkan teori hanyutan benua 
Wegener dan menghasilkan teori elegan tektonik global yang baru atau yang lebih 
dikenal sebagai teori tektonik lempeng. Benua-benua sungguh bergerak. Inilah 
kemenangan para mobilists atas para fixists yang mengatakan bahwa benua-benua 
terikat ke akarnya tak mungkin bergerak. Demikian, ringkasan dari Hallam (1973, 
1989, 2000 yang juga ikut membidani kelahiran teori tektonik lempeng).
 
Kini, empat puluh tahun setelah kelahiran teori tektonik lempeng, teori ini dan 
hanyutan benua telah menjadi fakta. Pengukuran-pengukuran dengan GPS 
menunjukkan bahwa benua-benua ini memang bergerak. Paleomagnetik menunjukkan 
bahwa benua-benua ini punya riwayat yang panjang di berbagai posisi di atas 
permukaan Bumi. Sebagai contoh, posisi Kalimantan, Papua, Banggai, Jawa, dll. 
pada beberapa puluh juta tahun yang lalu tidak di posisinya sekarang. Mantle 
tomography menunjukkan bahwa konveksi sebagai penyebab benua-benua ini bergerak 
adalah benar. Teori tektonik lempeng pun semakin berkembang, antara lain dengan 
terrane concept yang mengatakan bahwa benua pun tersusun atas fragmen-fragmen 
(terranes) yang lebih kecil yang masing-masing bisa berbeda geologinya dan 
asalnya yang lalu saling bergerak beradu membentuk benua. Meskipun faktanya 
gamblang, beberapa ilmuwan masih mempunyai keberatan atas teori tektonik 
lempeng. Dalam beberapa hal, memang ada beberapa
 fenomena geologi yang bila diterangkan dengan gerak lateral lempeng tidak 
memuaskan, dengan mekanisme isostasi vertikal lebih memuaskan; tetapi mekanisme 
tersebut hanyalah a companion terhadap tektonik lempeng, jauh dari menolaknya.  
 
Expanding Earth (Bumi Mengembang)
 
Teori expanding Earth muncul sebelum Perang Dunia I sezaman dengan Wegener 
mengemukakan teorinya tentang hanyutan benua. Teori ini muncul sebagai 
perlawanan atas sebuah teori bahwa Bumi menciut melalui kontraksi. Pada 
awalnya, teori ini mengatakan bahwa Bumi mengembang akibat perubahan struktur 
molekul dan atom di dalam inti Bumi dan mantel bagian bawah. Sekalipun 
mengembang, massanya tetap sebab terjadi perubahan densitas. Teori ini pun 
mendapatkan inspirasinya dari teori expanding Universe (Hubble, 1920). Siapa 
tokoh utamanya tidaklah jelas, tetapi saat teori ini berkembang kembali mulai 
tahun 1950-an terdapat beberapa tokoh utamanya yaitu Carey, Wesson dan Steiner. 
Pada perkembangan selanjutnya, expanding Earth ini dihubungkan dengan pemekaran 
dasar samudera dan perpindahan benua atau teori tektonik lempeng. Di antara 
para tokohnya, terdapat perbedaan pendapat tentang laju pengembangan Bumi, yang 
terbagi ke dalam (1) slow expansion –radius Bumi
 bertambah lebar kurang daripada 1 mm/tahun), (2) rapid expansion (dengan laju 
pertambahan sekitar 4-10 mm/tahun), (3) expansion-contraction bergantian 
terjadi dengan laju bervariasi.
 
Slow expansion Earth mendapatkan dukungan dari beberapa ilmuwan seperti Arthur 
Holmes (1965) yang menghitung bahwa laju ekspansi tersebut sebesar 0,24-0,6 
mm/tahun berdasarkan perpanjangan lama hari sebesar 2 milidetik per abad. Rapid 
expansion Earth terutama didukung oleh penelitian-penelitian Carey pada tahun 
1950-an yang merekonstruksi Pangaea dan Samudera Pasifik dan menemukan bahwa 
agar rekonstruksi itu sesuai/benar diperlukan laju ekspansi radius Bumi sebesar 
4,5 mm/tahun. Owen (1976) juga berdasarkan rekonstruksi benua dan pemekaran 
dasar samudera menghitung laju sebesae 6,7 mm/tahun dalam 180-200 juta tahun 
terakhir. Berdasarkan laju pemekaran dasar samudera dan subduksi serta peta 
anomali magnetik di dasar samudera, Steiner (1978) menemukan laju 5,2-7,8 
mm/tahun. Alternating expansion and contraction didasarkan pada fakta bahwa 
sepanjang sejarah Bumi terjadi transgresi dan regresi global (Phanerozoic 
cycles of global sea level).
 
Teori expanding Earth mendapatkan perlawanan dari beberapa ahli ilmu kebumian 
yang mengatakan bahwa mekanisme pemekaran dasar-samudera tidak berkonotasi 
dengan pemekaran radius Bumi sebab materi samudera yang dikembangkan itu akan 
kembali ke dalam mantel Bumi melalui subduksi sebagai bagian siklus yang 
dikenal sebagai siklus Wilson. Para pembela expanding Earth mengatakan bahwa 
diameter Bumi masa lalu tak mungkin sama dengan diameternya masa kini sebab 
awal Bumi terjadi melalui collision berbagai puing kosmik yang lalu bersatu 
membentuk inti Bumi lalu berdiferensiasi membentuk mantel lalu akhirnya kerak 
Bumi dengan diameter yang makin melebar. Matahari kelak akan membesar menjadi 
raksasa merah (red giant star) oleh pengembangannya, maka tak mengherankan Bumi 
pun memekarkan diameternya sepanjang evolusinya. Dengan fast expanding Earth, 
maka diameter Bumi sekarang 18 % lebih lebar daripada saat Pangaea ada. Namun 
pengukuran terbaru yang akurat menggunakan
 paleomagnetik atas radius Bumi 400 juta tahun yang lalu menemukan bahwa radius 
Bumi tersebut 102 % daripada yang sekarang (McElhinney et al, 1978). 
Penghitungan momen inersia untuk Bumi dalam 620 juta tahun terakhir pun 
mengindikasikan bahwa radius Bumi tak berubah (Williams, 2000). Mekanisme yang 
tak memuaskan dan pengukuran yang menunjukkan tidak adanya perubahan dalam 
diameter Bumi untuk beberapa ratus juta tahun terakhir telah menyebabkan teori 
expanding Earth ditolak banyak komunitas sains.
 
 
Demikianlah beberapa kontroversi dalam geologi yang berjalan melalui 
perdebatan-perdebatan di antara para pendukungnya.
 
“Cor sapientis quaerit doctrinam” – Inti kebijaksanaan adalah mencari ajaran 
pokoknya
 
salam,
Awang


      Bersenang-senang di Yahoo! Messenger dengan semua teman. Tambahkan mereka 
dari email atau jaringan sosial Anda sekarang! 
http://id.messenger.yahoo.com/invite/

Reply via email to