Rekan-rekan, berikut sebuah hasil penelitian pribadi menyangkut sejarah dan geologi kerajaan-kerajaan tertua di Indonesia. Sebuah pemikiran alternatif. Diangkat dari berbagai penelusuran banyak literatur. Semoga bermanfaat.
BUKTI SEJARAH KERAJAAN ARUTEUN Buku-buku resmi pelajaran sejarah yang pernah diajarkan kepada kita pada masa sekolah dasar-menengah, juga kepada anak-anak sekolah sekarang, menyebutkan bahwa kerajaan-kerajaan tertua di Indonesia adalah dua kerajaan Hindu yang muncul pada sekitar awal abad ke-5 (sekitar tahun 400 M) yaitu Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat dan Kerajaan Kutai/Kutei di Kalimantan Timur. Dua raja paling terkenal dari dua kerajaan itu adalah Purnawarman di Tarumanegara dan Mulawarman di Kutei. Bukti fisik hadirnya kerajaan-kerajaan tertua itu adalah prasasti. Maka umum disebutkan bahwa sejarah Indonesia dimulai pada sekitar tahun 400-an M. Masa sebelum itu, umum disebut sebagai prasejarah, masa belum ada tulisan sebagai peninggalan sejarah. Pemulaan sejarah setiap bangsa tentu berbeda-beda. Bangsa Mesir dan Cina dikenal sebagai bangsa-bangsa tertua karena mereka telah mengenal tulisan ribuan tahun sebelum masehi. Tetapi, terdapat beberapa sumber sejarah (sumber sejarah bisa banyak: prasasti, buku-buku babad/kronik sejarah, catatan-catatan perjalanan para pengelana yang mengunjungi suatu bangsa. Catatan-catatan resmi kerajaan, dll.) yang menunjukkan bahwa kerajaan tertua di Indonesia bukanlah Tarumanegara atau Kutei. Beberapa sumber sejarah menyebutkan: Dwipantara (200 SM), Salakanagara (150 M) dan Holotan (akhir abad-4 sampai awal abad ke-5). Keberadaan Kerajaan Dwipantara (kerajaan Hindu di antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatra) didasarkan atas tulisan para cendekiawan India. Keberadaan Kerajaan Salakanagara didasarkan atas Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta, Kesultanan Cirebon). Keberadaan Kerajaan Holotan didasarkan atas bukti fisik berupa Prasasti Ciaruteun dan catatan-catatan kerajaan Cina Dinasti Sung. Keberadaan Kerajaan Dwipantara tidak jelas dan susah ditelusuri sumber-sumber sejarahnya untuk suatu pembuktian. Keberadaan Kerajaan Salakanagara meragukan karena Naskah Wangsakerta di kalangan para ahli sejarah juga menimbulkan perdebatan dan sebagian kalangan tidak mengakuinya sebagai sumber sejarah (perdebatan atas naskah ini pernah saya ulas di milis IAGI). Sekarang tinggal membuktikan Kerajaan Holotan yang kiranya mempunyai bukti yang lebih meyakinkan yaitu: bukti fisik berupa prasasti dan catatan resmi kenegaraan Dinasti Sung di Cina. Tetapi, saya akan juga menampilkan indikasi geologi untuk melihat kemungkinan keberadaannya. Sebuah buku lama, “Dari Holotan ke Jayakarta” (saya peroleh 12 tahun lalu di pedagang buku bekas pojok Kramat Raya ke Kwitang, Jakarta) tulisan Prof. Dr. Slamet Muljana (ahli sejarah, filologi dan linguistik) terbitan Yayasan Idayu, Jakarta 1980, menarik untuk disimak bila kita ingin mendalami sejarah Holotan, Tarumanegara sampai Jakarta. Pak Slamet Muljana adalah seorang ahli sejarah yang tekun meneliti dan menulis, penemuan-penemuan sejarahnya sering menimbulkan kehebohan dan berbeda dengan arusutama pengetahuan umum sejarah, sehingga beberapa bukunya pernah dilarang terbit agar tidak menjadi pengetahuan umum. Saat ini, buku-buku ‘terlarang’ Pak Slamet Muljana telah diterbitkan lagi oleh sebuah penerbit di Yogyakarta, dan saya tengah memburunya, baik yang edisi aslinya yang pernah dilarang (hanya ada di pedagang-pedagang buku bekas), maupun yang dicetak ulang oleh penerbit baru. Prof. Slamet Muljana berpendapat bahwa prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh Purnawarman, raja Tarumanegara, berupa prasasti-prasasti dengan gambar telapak kaki, merupakan tanda kekuasaan sang raja di wilayah itu. Sampai sekarang, telah ditemukan empat prasasti ‘tapak kaki’ tinggalan Purnawarman di Jawa Barat: prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, dan Lebak (Cidanghiyang). Semuanya berasal dari abad kelima atau permulaan abad keenam. Di antara prasasti-prasasti itu, yang paling menarik adalah prasasti Ciaruteun (yang gambarnya sering muncul di buku-buku sejarah, dan replikanya dalam ukuran sebenarnya bisa dilihat di Museum Nasional, di gedung barunya –sebelah kanan gedung lama, saya baru menengoknya bulan lalu). Prasasti Ciaruteun ditulis menggunakan aksara Pallawa disusun dalam tatabahasa Sanskerta menggunakan metrum Anustubh tersusun atas tiga baris kalimat dilengkapi tulisan sulur (pilin –tulisan ini sampai sekarang belum berhasil dipecahkan apa artinya) dan pahatan sepasang tapak kaki Raja Purnawarman. Ahli sejarah, filologi dan linguistik berkebangsaan Belanda, Kern pada abad-19 menafsirkan bunyi prasasti ini adalah sebagai: "vikkranta syavani pateh shrimatah purnavarmanah tarumanagarendrasya vishnoriva padadvayam" Yang menurutnya berarti: “Ini adalah sepasang telapak kaki Paduka Yang Mulia Purnawarman, yang berkuasa di daerah ini, raja Taruma laksana Wisnu”. Prasasti Ciaruteun ditemukan pada tahun 1863 di pertemuan Sungai Ciaruteun dan Cisadane di sebelah utara-baratlaut kota Bogor sekarang. Sejak itu, prasasti ini menjadi objek penelitian Bataaviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Lembaga Batavia untuk Kesenian dan Ilmu Pengetahuan –sekarang kita kenal sebagai Museum Nasional). Banjir besar pada tahun 1893 melanda wilayah ini dan telah menyeret prasasti Ciaruteun beberapa meter ke arah hilir dari tempat aslinya dan membalikkan prasasti ini sehingga tulisannya berada di bawah. Tahun 1981 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat prasasti ini dan memindahkannya ke tempat yang lebih aman, masih di sekitar tempat aslinya, agar tak terseret banjir lagi. Kapan-kapan saya ingin mengunjungi prasasti ini, bagus untuk wisata sejarah. Sekarang wilayah prasasti ini masuk ke wilayah Desa Benteng, Kecamatan Ciampea. Slamet Muljana (1980) mengajukan pendapat bahwa Ciaruteun berasal dari nama asli Aruteun karena ditemukan di tengah sungai, maka disebutlah Ciaruteun sebab dalam bahasa Sunda ‘Ci’ = cai = sungai (sepadan dengan Ciliwung, Citarum, Cimanuk, Cisadane, dll.). Nama Aruteun ini merupakan nama asli yang dalam bahasa Cina disebutnya ‘Holotan’. Nama ‘Holotan’ muncul sebagai nama sebuah kerajaan di Jawa yang pernah mengirimkan utusan ke Kekaisaran Cina pada tahun 430, 433, 434, 435. 437 dan terakhir pada tahun 452 M (menurut catatan resmi Kekaisaran Dinasti Sung, yang tercatat dalam buku Sejarah Lama Dinasti Sung). Bahwa Aruteun/Holotan adalah nama sebuah kerajaan didasarkan kepada analogi pada masa itu bahwa nama kerajaan yang terletak di muara sungai selalu diberi nama sesuai dengan nama sungai itu. Misalnya, dalam abad ketujuh I-tsing, seorang pengelana dari Cina, mencatat tentang Kerajaan Sriwijaya yang disebutnya sebagai Shih-li-fo-shih. ‘Fo-shih’ adalah transliterasi dari ‘Musi’ –nama sungai besar di sekitar lokasi Kerajaan Sriwijaya (meskipun apakah ibukota Kerajaan Sriwijaya itu di Palembang atau Jambi masih jadi perdebatan para ahli sejarah –pernah saya ulas di milis-milis). Berdasarkan itu, maka Prof. Slamet Muljana pada tahun 1980 mengeluarkan pendapat bahwa Aruteun adalah nama sebuah kerajaan yang dalam literatur sejarah Cina disebut sebagai ‘Holotan’, beribukita di muara sungai Aruteun di sebelah utara-baratlaut kota Bogor sekarang. Lalu apa alasan mengatakan bahwa Aruteun lebih tua daripada Tarumanegara ? Sebab, Tarumamegara menurut catatan kekaisaran Cina mengirimkan utusannya ke Cina pada tahun 528 M. Sedangkan ‘Kerajaan’ Aruteun mengirimkan utusannya ke Negeri Cina pada tahun 430, 433, 434, 437 dan 452 M. Dan dokumen kekaisaran Dinasti Sung ‘Sejarah Lama Dinasti Sung’ menguraikan bahwa utusan Kerajaan Aruteun (yang disebutnya Holotan) pada tahun 430 meminta perlindungan kepada kaisar terhadap ancaman-ancaman negara tetangganya. Itulah salah satu sebab maka Kerajaan Aruteun mengirimkan utusan ke Negeri Cina. Pengiriman utusan itu diulanginya beberapa kali sampai yang terakhir terjadi pada tahun 452 M. Sekarang, apakah makna Prasasti tapak Ciaruteun ? Semua prasasti Purnawarman, kecuali prasasti Tugu (H. Kern, Het Sanskrit-opschrift te Tugu (district Bekasih, Batavia): 450 AD, Verpreide Geschriften VII, h. 129-138) merupakan prasasti tapak kaki. Prasasti tapak kaki menunjukkan kekuasaan Purnawarman, raja Tarumanegara atas wilayah tempat prasasti itu berada. Jadi wilayah itu adalah wilayah taklukan atau kekuasaan Tarumanegara (Stutterheim, 1932, Het Hinduisme in den Archipel, Groningen, hal. 87). Mengapa di Bekasi pada Prasasti Tugu tak ada tapak kaki. Sebab, Bekasi adalah ibukota Kerajaan Tarumanegara, jadi tak perlu penanda kekuasaan raja di daerahnya sendiri. Di daerah taklukan, tentu penanda kekuasaan itu menjadi penting. Dapat dilihat bahwa Tarumanegara dari Bekasi meluaskan wilayahnya ke wilayah2 di sebelah baratnya termasuk ke Auteun, Bogor dan Lebak Banten, tempat ditemukan prasast-prasasti tapak kaki Purnawarman. Dengan demikian, Tarumanegara bukanlah kerajaan Hindu tertua di Indonesia, tetapi masih ada kerajaan yang lebih tua daripadanya, yaitu Aruteun/Holotan yang ditaklukkan oleh Tarumanegara pada sekitar tahun 452 dan 528 M. Oleh karena kerajaan Aruteun ini telah kehilangan kemerdekaannya, maka tak lagi mengirim utusan ke Cina. Utusan ke Negeri Cina dilanjutkan oleh Tarumanegara yang mengirimkan utusannya pertama pada tahun 528 M. Tarumanegara menjadi kerajaan besar di Jawa Barat sampai abad ke-7 M dan setelah itu digantikan oleh Kerajaan Sunda sampai abad ke-16 M. Sekarang mari kita lihat indikasi geologi tentang keberadaan Kerajaan Aruteun/Holotan ini. Aruteun pada abad ke-5 telah mampu mengirimkan utusan ke Negeri Cina, menunjukkan bahwa pada abad ke-5 telah ada pelaut-pelaut Jawa Barat (suku Sunda ternyata pelaut ulung juga !) yang mampu membawa kapal-kapal jauh berlayar ke Negeri Cina (lihat publikasi Wolters, 1967, Early Indonesian Commerce, A Study of the Origins of Crivijaya, Cornell Univ. Press, Ithaca). Cornell (1967) mengutip Berita Cina mengatakan bahwa pada bulan keempat tahun 430 utusan-utusan dari Kerajaan Holotan membawa beberapa kapal dagang ke Cina membawa upeti berupa bahan pakaian dari india dan Gandhara. INDIKASi GEOLOGI HIDUP & MATINYA ARUTEUN ‘Pelabuhan Aruteun’ terletak di muara Sungai Cisadane. Pada waktu itu muara Sungai Cisadane terletak jauh lebih ke selatan karena garispantai utara Jawa Barat pada 1600 tahun yang lalu jauh berbeda dengan yang sekarang. Tanah aluvium dari muara Ciaruteun sampai garispantai utara Jawa Barat sekarang adalah hasil sedimentasi selama 1600 tahun. Van Bemmelen (1949) menyebut wilayah endapan ini sebagai ‘coastal plain of Batavia’ yang dibentuk oleh banyak sungai yang mengalir ke utara termasuk Sungai Cisadane dari kompleks pegunungan di daerah Banten-Bogor-Majalengka. Penaklukan Holotan oleh Tarumanegara menurut Slamet Muljana (1980) terjadi di antara tahun 452 -528 M. Bagaimana geologi bersaksi tentang ini ? Setiap kerajaan yang ada di Jawa dan Sumatra, hidup dan matinya harus dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa geologi sebab mereka berdampingan setiap harinya dengan proses-proses geologi. Itu tesis yang saya ajukan pada tahun 2007 (Satyana, 2007: Bencana Geologi dalam “Sandhyâkâla” Jenggala dan Majapahit : Hipotesis Erupsi Gununglumpur Historis Berdasarkan Kitab Pararaton, Serat Kanda, Babad Tanah Jawi; Folklor Timun Mas; Analogi Erupsi LUSI; dan Analisis Geologi Depresi Kendeng-Delta Brantas, Proceedings Joint Convention Bali 2007- HAGI, IAGI, and IATMI, 14-16 November 2007). Apakah Aruteun/Holotan dihancurkan oleh bencana geologi? Kita harus memikirkannya ke arah itu, sebab ada indikasi serius ke arah itu sebagaimana saya uraikan di bawah. Erupsi katastrofik Krakatau Purba 400/500M memunahkan Aruteun. Banyak dokumen menunjukkan bahwa Krakatau 1883 bukanlah satu-satunya letusan dahsyat yang terjadi atas gunungapi terkenal di dunia ini. Sebelumnya, masih di Krakatau juga, ada letusannya yang kelihatannya jauh lebih dahsyat lagi daripada letusan 1883, yang terjadi pada masa sejarah, pada masa kerajaan-kerajaan Hindu pertama di Indonesia tahun 400-an atau 500-an M. Tentu saja letusan ini tak banyak ditulis apalagi difilmkan sebab pengetahuan kita tentangnya masih samar-samar, walaupun nyata. Adalah B.G. Escher (1919, 1948) yang berdasarkan penyelidikannya dan penyelidikan Verbeek (1885) – dua-duanya adalah ahli geologi Belanda yang lama bekerja di Indonesia – yang menyusun sejarah letusan Krakatau sejak zaman sejarah – modern. Saat ini, di Selat Sunda ada Gunung Anak Krakatau (lahir Desember 1927, 44 tahun setelah letusan Krakatau 1883 terjadi), yang dikelilingi tiga pulau : Sertung (Verlaten Eiland, Escher 1919), Rakata Kecil (Lang Eiland, Escher, 1919) dan Rakata. Berdasarkan penelitian geologi, ketiga pulau ini adalah tepi-tepi kawah/kaldera hasil letusan Gunung Krakatau (Purba, 400-an/500-an AD). Escher kemudian melakukan rekonstruksi berdasarkan penelitian geologi batuan2 di ketiga pulau itu dan karakteristik letusan Krakatau 1883, maka keluarlah evolusi erupsi Krakatau yang menakjubkan (skema evolusi Krakatau dari Escher ini bisa dilihat di buku van Bemmelen, 1949, 1972, atau di semua buku modern tentang Krakatau). B.G. Escher berkisah, dulu ada sebuah gunungapi besar di tengah Selat Sunda, kita namakan saja KRAKATAU PURBA yang disusun oleh batuan andesitik. Lalu, gunungapi ini meletus hebat (kapan ? ada dokumen2 sejarah tentang ini, ditulis di bawah) dan membuat kawah yang besar di Selat Sunda yang tepi-tepinya menjadi pulau Sertung, Rakata Kecil dan Rakata. Lalu sebuah kerucut gunungapi tumbuh berasal dari pinggir kawah dari pulau Rakata, sebut saja gunungapi Rakata, terbuat dari batuan basaltik. Kemudian, dua gunungapi muncul di tengah kawah, bernama gunungapi Danan dan gunungapi Perbuwatan. Kedua gunungapi ini kemudian menyatu dengan gunungapi di Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan ketiga gunungapi inilah yang disebut KRAKATAU. Tahun 1680, gunung Krakatau meletus menghasilkan lava andesitik asam. Tanggal 20 Mei 1883, setelah 200 tahun tertidur, sebuah erupsi besar terjadi, dan terus-menerus sampai puncak erupsi terjadi antara 26-28 Agustus 1883 (Inilah letusan Krakatau 1883 yang terkenal itu). Erupsi ini telah melemparkan 18 km3 batuapung dan abu volkanik. Gunungapi Danan dan Perbuwatan hilang karena erupsi dan runtuh, dan setengah kerucut gunungapi Rakata hilang karena runtuh, membuat cekungan kaldera selebar 7 km sedalam 250 meter. Desember 1927, ANAK KRAKATAU muncul di tengah-tengah kaldera. Seberapa besar dan kapan erupsi KRAKATAU PURBA terjadi ? Tulisan2 yang berhasil dikumpulkan (buku2 dan paper2 lepas) menunjuk ke dua angka tahun : 416 AD atau 535 AD. Angka 416 AD adalah berasal dari sebuah teks Jawa kuno berjudul “Pustaka Raja Purwa” yang bila diterjemahkan bertuliskan : “Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada goncangan Bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Lalu datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatra” . Di tempat lain, seorang bishop Siria, John dari Efesus, menulis sebuah chronicle di antara tahun 535 – 536 AD, ” Ada tanda-tanda dari Matahari, tanda-tanda yang belum pernah dilihat atau dilaporkan sebelumnya. Matahari menjadi gelap, dan kegelapannya berlangsung sampai 18 bulan. Setiap harinya hanya terlihat selama empat jam, itu pun samar-samar. Setiap orang mengatakan bahwa Matahari tak akan pernah mendapatkan terangnya lagi” . Dokumen di Dinasti Cina mencatat : “suara guntur yang sangat keras terdengar ribuan mil jauhnya ke baratdaya Cina”. (Semua kutipan diambil dari buku Keys, 1999 : Catastrophe : A Quest for the Origins of the Modern Worls, Ballentine Books, New York). Itu catatan2 dokumen sejarah yang bisa benar atau diragukan. Tetapi, penelitian selanjutnya menemukan banyak jejak-jejak ion belerang yang berasal dari asam belerang volkanik di temukan di contoh-contoh batuan inti (core) di lapisan es Antarktika dan Greenland, ketika ditera umurnya : 535-540 AD. Jejak2 belerang volkanik tersebar ke kedua belahan Bumi : selatan dan utara. Dari mana lagi kalau bukan berasal dari sebuah gunungapi di wilayah Equator ? Kumpul-kumpul data, sana-sini, maka semua data menunjuk ke satu titik di Selat Sunda : Krakatau ! Adalah letusan KRAKATAU PURBA penyebab semua itu. Letusan KRAKATAU PURBA begitu dahsyat, sehingga dituduh sebagai penyebab semua abad kegelapan di dunia. Penyakit sampar Bubonic (Bubonic plague) terjadi karena temperatur mendingin. Sampar ini secara signifikan telah mengurangi jumlah penduduk di seluruh dunia. Kota-kota super dunia segera berakhir, abad kejayaan Persia purba berakhir, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Bizantium terjadi, peradaban South Arabian selesai, berakhirnya rival Katolik terbesar (Arian Crhistianity), runtuhnya peradaban2 purba di Dunia baru – berakhirnya negara metropolis Teotihuacan, punahnya kota besar Maya Tikal, dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki. Kata Keys (1999), semua peristiwa abad kegelapan dunia ini terjadi karena bencana alam yang mahabesar, yang sangat mengurangi cahaya dan panas Matahari selama 18 bulan, menyebabkan iklim global mendingin. Nah, Kerajaan Aruteun/Holotan bisa saja terpapar kepada bencana letusan katastrofik Krakatau Purba yang letaknya tak sampai 200 km ke sebelah baratnya, sebelum lalu dianeksasi Tarumanegara. Berdasarkan data sejarah dan geologi, saya percaya bahwa Kerajaan Aruteun/Holotan pernah ada, pada sekitar tahun 400-500 M, yang lalu dilanda bencana Krakatau Purba kemudian dianeksasi Tarumanegara pada antara paruh pertama abad ke-6 (500-550 M). Perbedaan/persamaan kronologi antara sejarah dan geologi akan menjadi kajian menarik selanjutnya. Salam, Awang -------------------------------------------------------------------------------- PP-IAGI 2008-2011: ketua umum: LAMBOK HUTASOIT, lam...@gc.itb.ac.id sekjen: MOHAMMAD SYAIFUL, mohammadsyai...@gmail.com * 2 sekretariat (Jkt & Bdg), 5 departemen, banyak biro... -------------------------------------------------------------------------------- Ayo siapkan diri....!!!!! Hadirilah Joint Convention Makassar (JCM), HAGI-IAGI, Sulawesi, 26-29 September 2011 ----------------------------------------------------------------------------- To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id Visit IAGI Website: http://iagi.or.id Pembayaran iuran anggota ditujukan ke: Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta No. Rek: 123 0085005314 Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Bank BCA KCP. Manara Mulia No. Rekening: 255-1088580 A/n: Shinta Damayanti IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi --------------------------------------------------------------------- DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted on its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall IAGI or its members be liable for any, including but not limited to direct or indirect damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss of use, data or profits, arising out of or in connection with the use of any information posted on IAGI mailing list. ---------------------------------------------------------------------