Nice posting .. Mas Irwan, terimakasih telah mau berbagi (sekaligus minta ijin 
untuk memposting ulang ya)

Seperti juga letusan di Pulau Kyushu ini, letusan di Sinabung juga tidak 
memakan korban jiwa...
Memang tata ruang menjadi kunci utama, sambil kita menunggu teknologi yang 
lebih akurat untuk memprediksi letusan gunungapi..


Salam,
Fajar (2441)

====================================

Rachmat FAJAR Lubis, Dr.Sc

Research Center for Geotechnology

Indonesian Institute of Sciences (LIPI)

Jl. Cisitu Sangkuriang

Bandung 40135

Indonesia

==================================

--- Kaping Salasa, 2/10/11, Irwan Meilano <irwan.meil...@gmail.com> parantos 
nyerat:
Letusan Gunung Shinmoedake terjadi pada sore hari tanggal 26 Jan 2011
menghasilkan kolom letusan setinggi 1500-2000 meter.
Letusan ini yang terbesar sejak tahun 1717 dan mengakibatkan lebih
dari 1000 penduduk di Kota Takaharu-Miyazaki yang berjarak 10 km
dari letusan harus dievakuasi meninggalkan rumah.

Seperti kebanyakan letusan gunungapi pada umumnya, waktu dan skala
letusan ini tidak terprediksi sebelumnya.

Terdapat beberapa fakta paradok yang bisa kita ambil manfaatnya:

1. Tokyo University telah memiliki stasiun pengamatan gunung Kirishima
sejak tahun 1963 tetap terpaksa harus ditutup setahun sebelum letusan
karena kekurangan dana dan peneliti.
Ternyata masalah prioritas pendanaan terjadi juga di Jepang.

2. Jaringan pengamatan GPS kontinu Jepang (GEONET) telah mendeteksi
adanya inflasi di sekitar Kirishima sejak tahun lalu, tetapi pengamatan
yang detail tidak pernah dilakukan oleh instansi dan lembaga penelitian
terkait sampai terjadi letusan pada Januari lalu.
Sehingga dalam editorialnya Koran The Yomiuri Shimbun, Feb. 2, 2011
menuliskan dalam editorialnya seolah memprotes bahwa :
Pemerintah harus lebih memperhatikan pengamatan aktifitas Gunung Api.

3. Kabar baiknya,  tidak ada korban jiwa dalam letusan besar tersebut.
Kesediaan untuk melakukan investasi dalam mitagasi struktural dan
non-struktural, terbukti menyelamatkan banyak jiwa.
Seperti kekonsistenan dalam menerapkan area zona bahaya yang bebas
dari permukiman, menjadi senjata yang handal dalam mengurangi
dampak letusan yang tidak terprediksi sebelumnya.

Pernyataan trivial yang selalu menjadi dilema yaitu:
Gunungapi mana yang harus mendapat prioritas untuk diamati?
Tentu saja beberapa gunungapi yang memiliki sejarah letusan yang
pendek harus mendapat prioritas, seperti Merapi.

Tetapi bagaimana dengan gunungapi yang memiliki sejarah letusan yang
panjang sehingga sulit dimasukan dalam kategori A, seperti Sinabung?

Jawabannya: mungkin kita akan mendapat keberuntungan yang sama
seperti yang dialami Jepang, tidak ada korban dalam letusan Gunungapi
Shinmoedake-Kirishima yaitu dengan secara konsiten menerapkan tata
ruang yang memperhatikan zona bahaya letusan.

irwan meilano







      

Kirim email ke