2011/11/8 <muhar...@pertamina.com> > ** > Dengar-dengar masih ada kemungkinan bakal ada WK-WK lain yang segera > muncul pak. WK Shale Gas, WK Tight Sand, dsb...pasti akan lebih > membingungkan lagi secara teknis pelaksanaan di lapangan, dan bisa > diperdebatkan landasan hukumnya. Betulkah itu tidak melanggar UU Migas > tahun 2001??? >
*Landasan hukum dan dinamika kegiatan eksplorasi* Sangat menarik mengikuti diskusi CBM ini. Tentusaja, karena dalam dunia eksplorasi hampir selalu mendapatkan sesuatu yang tidak jelas, atau kabur atau samar-samar. Ini bukan hanya karena informasinya yang masih kabur, namun dunia eksplorasi selalu saja dihadapkan pada kegiatan yg sering belum pernah dilakukan sebelumnya, belum pernah terjadi sebelumnya, dan konsekuensinya belum ada aturannya. Akhirnya muncul konsen-konsen valid spt diatas namun susah dijawab siapapun. Misalnya seperti apa pembagiannya, bagaimana dengan aturan yang sudah ada, masuk dimana langkah dewatering ini ? Ya tentusaja membingungkan proses eksplorasi dijalankan namun sejalan dengan proses produksi. Selama dewatering juga sudah memproduksi gas. Nah milik siapa gas selama dewatering ini ? Dan kalau gagal eksplorasinya siapa yg bertanggungjawab penutupan sumur ini. dll. Ketika dihadapkan pada aturan bisa jadi perundingan antara operator dg pengawas (BMIGAS) persoalan ini berpotensi macet !. Kemacetan perundingan ini juga bukan tanpa alasan, karena khsusnya saat ini akan ada khawatir KPK akan menghadang seandainya ternyata keuntungan pihak kontraktor terlalu berlebihan. Padahal secara ilmiahpun belom ada yang tahu karakteristik dari sumur CBM di Indonesia. Perbandingan keekoomian dan ketidakpastian project conventional gas vs CBM salah satunya bisa dilihat disini http://rovicky.files.wordpress.com/2010/07/cbm_prodcost_gca.jpg http://rovicky.files.wordpress.com/2010/07/cbm_uncertainty_gca.jpg *Pengalaman sejarah* Saya kebetulan juga sedang membaca buku "Sejarah Perjuangan Peminyakan Nasional" (Teuku H Moehammad Hasan). Buku ini menceriterakan perkembangan pertambangan, memang utamanya perminyakan. Di dalam buku ini juga bisa dibaca bagaimana pada saat itu banyak hal yang belum diketahui secara tehnis ketika terjadi nasionalisasi pertambanagn (minyak) dari BPM. Tentusaja saat itu tidak diketahui bahwa ada secondary atau tertiary recovery, seberapa besar keuntungan riil saat ini. Termasuk juga saat tahun 1950-an itu belum terpikir eksplorasi di laut di Indonesia. tentusaja aturan yang menjadi konsen MJP diatas belum bisa diakomodasi. Buku yang saya baca ini kalau dibaca saat ini tentusaja kita akan sedikit tersenyum dan kagum. Tersenyum karena kok mereka belum tahu persoalan yg saat ini mudah diseleseikan. Namun juga kagum karena dalam pengambilan keputusan ada KEBERANIAN untuk tetap maju (walaupun belum pasti). Dan kita tahu hampir semua kegiatan eksplorasi memang selalu dihadapkan pada ketidakpastian, ketidakjelasan, dan keraguan. Tentusaja saat ini kita mengatakan itu adalah RISIKO ! Sementara itu di mailist MGEI juga sedang ada diskusi menarik tentang renegosiasi kontrak (tentusaja FMI yang menjadi buah bibir). Namun untungnya ada Bowo dan Yosept yang menjelaskan mengapa FMI menjadi seperti sekarang ini. Dan sekali lagi, semua itu tidak lepas dari "bawaan sejarah". bahwa FMI menjadi kaya memang mereka bermain dengan KEBERANIAN serta bermain dengan RISIKO. Dan juga Indonesia BERANI MERDEKA tentunya dengan membawa RISIKO. Namun saya tetap bangga apapun yang terjadi, proklamasi kemerdekaan itu adalah paling baik untuk Indonesia. Demikian juga saya yakin keputusan di dunia pertambangan pada saat itu adalah yang terbaik untuk saat itu, walaupun tidak dipungkiri saat ini kita merasa perlu ada perbaikan untuk renegosiasi. Nah pengalaman sejarah ini tentunya perlu kita ketahui supaya pekerjaan eksplorasi CBM, Shale gas, Tight gas dll tidak "macet" karena masih adanya ketidak jelasannya, dan tidak macet terus melakukan proses eksplorasi sumberdaya ini. Dan memang idealnya akan menguntungkan semua pihak, benar secara tehnis dan menghindari benturan dalam peraturan yang sudah ada. Salah satu catatan saya soal renegosiasi, diilhami catatan kaki rekan kita Daru Prihatmoko (Ketua MGEI). *Renegosiasi mesti dilakukan secara elegan sbg "bangsa" Indonesia. * > 2011/11/4 S. (Daru) Prihatmoko sd...@indo.net.id > *(ingin melihat renegosiasi dilakukan secara elegan sbg "bangsa" > Indonesia) > * Satu 'foot note' dari seorang senior eksplorer yang menjadi salah satu inspirasi dan bahkan menjadi obsesi saya membawa Indonesia dalam posisi "bangsa yang elegan". Dunia saat ini sudah bukan berisi bangsa bar-bar yg 'nggugu karepe dewe'. Di dunia moderen saat ini kita selalu dihadapkan pada masalah-masalah lokal yang harus atau musti diselesaikan dengan "cara-cara" global. Dahulu kala barangkali masih bisa membungkam dan menyelesaikan masalah dengan langsung tembak ditempat, walaupun sekarang mungkin masih ada, tetapi cara-cara itu tidak membuat bangsa ini menjadi elegan dimata global. Bahkan dunia global saat ini bisa merepotkan siapa saja bila negara-negara atau bangsa lain mengkucilkan dari pergaulan antar negara. Tidak dapat dipungkiri, dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang sangat sensitif ini, mudah sekali muncul adanya gejolak didalam yang akan memancing para oportunis memanfaatkan untuk kepentingan sendiri, untuk kepentingan golongan, dan bahkan kepentingan sesaat. Namun sebagai bangsa yang "elegan" kita dihadapkan pada tata nilai dunia yang sudah berkembang yang seringkali memaksa siapa saja untuk mengikuti kaidah dan tata nilainya. Nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai hukum dan keadilan, dan juga penghargaan atas kesepakatan sebelumnya akan selalu bermain dan bercampur aduk dalam setiap perundingan. Tidak hanya soal renegosiasi kontrak SDA tetapi juga dalam perundingan batas teritori negara. Bagaimana dengan IAGI dan ahli geologi Indonesia ? Sebagai ahli geologi tentunya kita harus tetap menjunjung tinggi profesionalisme dalam menjalankan fungsi serta tugasnya. Seorang ahli geologi harus tetap berpegangan pada kaidah-kaidah keilmuannya dalam berpendapat. Bermula dari pengambilan dan pemanfaatan data yang sudah diverifikasi, serta analisa yang sudah diuji metodenya, serta penyimpulan sesuai dengan kaidah ilmiah yang sudah teruji secara keilmubumian. Dan satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia harus terus dijadikan nilai mutlak yang harus dipertahankan. Jadi mari berdiskusi dengan "elegan". RDP