BUMI YANG TIDAK BERBOHONG DAN KITA YANG TIDAK MEMBACA*)

(kebangsaan, peradaban, dan masa depan: perspektif geologi – sastra seni bumi)

*) Renungan 67th Merdeka!

Andang Bachtiar

Geologist Merdeka, Arema, Dewan Penasehat IAGI, Tim Katastrofi Purba


Bagian Pertama : Anugrah

Apakah negara kita kaya emas? Apakah negara kita kaya migas? Apakah masih ada 
lagi cadangan di bawah sana? Bagaimana dengan panas bumi berlimpah yang tidak 
bisa diekspor tapi juga tak kunjung termanfaatkan segera? Apakah kita mampu 
mengeksplorasi dan mengelola sumberdaya bumi kita sendiri? Apakah kita punya 
teknologi dan modal untuk diresikokan menggali bumi mencari kemanfaatan alam 
untuk anak2 negeri? Dsb dsb dsb! 

Pertanyaan-pertanyaan itu sepertinya jadi aneh ketika keluar dari pembicaraan, 
pernyatan atau tulisan pejabat-pejabat yang mengurusi kekayaan negeri khususnya 
di bidang sumberdaya kebumian – geologi spt, mineral, batubara, migas, panas 
bumi, air, energi, dan sejenisnya. Dan lebih parah lagi kalau ternyata para 
ahli kebumian-lah yang nyeletuk dan berkeluh kesah dengan nada-nada serupa 
hampir sama seperti terungkap dalam kurun waktu 7-8 tahun terakhir ini. Ketika 
harta karun migas di bawah blok Cepu lama terpaksa kita relakan untuk 
dioperasikan bangsa lain, ketika kita kebingungan mempertahankan tingkat 
produksi migas dengan usaha tambal –sulam sedot-pompa cadangan-cadangan tua yg 
sudah uzur dan terlunta-lunta, ketika tak satupun kebijakan negeri ini berani 
beresiko menambah data: mengeksplorasi sendiri tanah airnya sendiri, ketika 
renegosiasi hanya dimaknai dengan perubahan royalty dan kepemilikan saham, 
ketika kontrak-kontrak blok-blok migas besar sudah mendekati  dan kita tidak 
percaya atas kemampuan sendiri dan tetap mengelu-elukan orang asing dengan 
modal dan teknologi. 

Ada dua jenis kategori anugrah kekayaan bumi: kategori pertama adalah 
sumberdaya (resources) dan kategori kedua adalah cadangan (reserves). 
Sumberdaya masih belum diketemukan, cadangan sudah diketemukan. Lalu timbul 
pertanyaan: bagaimana mungkin sesuatu yang belum diketemukan disebut sebagai 
sumberdaya? Mungkin saja. Tanda-tanda alam dan bumi yang bicara - yang dalam 
bahasa geologi sering disebut sebagai indikasi sistim minyak bumi, sistim 
metalogeni, sistim hidrotermal panas bumi dan sistim cekungan sedimen pembawa 
batubara - kesemuanya bisa dibaca dan dipahami oleh ahli bumi sehingga bisa 
dihitung sampai ke potensinya.  

Ketidak tahuan kita tentang potensi sumberdaya bumi yang masih terpendam dan 
belum ditemukan seringkali menyesatkan diri kita sendiri maupun rakyat 
kebanyakan yang lebih tidak mengerti lagi. Tataran kependekaran ahli bumi  yang 
hanya mengacu – merujuk pada potensi mineral, migas, emas, batubara, dan 
geothermal yang sudah ketemu dan yang kasat mata di atas muka bumi saja adalah 
tataran ilmu tenaga luar gwa-kang, belum sampai ke tenaga dalam alias 
lwee-kang.  Sudah seharusnya para ahli bumi Indonesia  tidak hanya menggunakan 
“tenaga luar”nya untuk mengelola tanah air Indonesia dengan apa yang sudah ada, 
tapi juga “tenaga dalam”nya untuk menemukan cadangan baru dari sumberdaya yang 
ada: mencerahkan harapan ke depan , menata perencanaan energi dan kebutuhan 
hidup berbudaya lebih baik berdasarkan pengetahuan tentang apa yang kita punya. 
Pengetahuan kita sendiri, bukan hanya pengetahuan yang disumbang dan didiktekan 
oleh orang-orang asing tentang bumi kita.

Pengetahuan mereka penting, tapi lebih penting lagi adalah pengetahuan kita. 
Karena kalau mereka yang menguasai pengetahuan itu, otomatis mereka akan punya 
kendali terhadap apa yang kita punya. Kalau kita yang menguasai, sebaliknya, 
kitalah yang punya kendali atas apa yang kita punya. Sangat sederhana dan sarat 
logika. Jadi, kalau kita tidak berani bersiasat untuk beresiko eksplorasi 
melengkapi data-data sumberdaya kebumian Indonesia, lalu malah sebaliknya kalah 
siasat dengan merelakan orang-orang asing begitu saja dengan bebasnya bikin 
survey tentang apa-apa yang ada di bumi kita tanpa kita mampu bargaining dengan 
mereka, maka beginilah jadinya: kita lihat dalam 10 tahun terakhir ini, 
kebanyakan data-data spec survey kita dikuasai oleh pihak asing. Kalaupun ada 
indikasi sistim minyakbumi ataupun metalogeni yang muncul dari data-data 
eksplorasi baru itu, tentu saja pihak-pihak tersebut akan lebih mudah 
menegosiasikannya ke kita. Siapa yang menguasai informasi, dia menguasai meja!

Jadi, marilah kita membaca bumi kita sendiri, bukan hanya yang kasat mata, tapi 
juga yang tidak terlihat di bawah sana.  Bumi Indonesia telah bicara bahwa ada 
86 cekungan migas di pangkuannya yang 18 diantaranya sudah terbukti 
menghasilkan, sementara sisanya masih jauh dari kita mengerti karena hampir2 
kita tidak punya nyali untuk eksplorasi. Belum lagi pada versi resmi pemerintah 
ada 128 cekungan itu di Indonesia. Nah, apakah kita mau membaca tanda-tanda itu 
seterusnya? Atau kita hanya berpuas diri di 18 cekungan saja? Tentu saja mereka 
yang kurang kuat visinya untuk melihat ke dalam dan ke depan akan selalu 
bilang: hei, minyak kita habis, migas kita makin menipis, ayo berhemat dan 
segera berganti model penggunaan energi. Ungkapan-ungkapan yang sangat bagus 
dipakai untuk membangkitkan semangat diversifikasi, mengurangi –menghapus 
subsidi, dan menumbuhkan persaingan kemajuan energi-energi alternative 
terbarukan dan sejenisnya di negeri ini. Tapi sayang ungkapan-ungkapan itu 
tidak diarahkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menggalakkan 
eksplorasi! eksplorasi! eksplorasi! : mencari! mencari! mencari!

Kalaupun krisis energi kita ini dipakai untuk menstimulasi eksplorasi, 
rangkaian panjangnya seringkali dilupakan, yaitu harus dibangun dulu tradisi 
dan kebiasaan dan dididik pendekar-pendekar eksplorasinya. Coba kita tengok 
kuil-kuil perguruan tinggi kita, apakah mereka menghasilkan pendekar-pendekar 
eksplorasi? Nope! Yang kita lihat mereka malahan banyak memasok industri dengan 
tenaga-tenaga baut dan sekrup untuk mengoperasikan program-software dan 
kerjaan-kerjaan rutin yang nir-kreativiti! Bagaimana pusat-pusat riset 
Perguruan Tinggi? Setali tiga uang: di urusan sumberdaya kebumian ini, lebih 
banyak mereka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang non-riset terobosan, tapi 
lebih ke pesanan pekerjaan rutin industri yang coba diserap oleh Perguran 
Tinggi. Tentu saja menguntungkan kedua belah pihak, karena harganya murah bagi 
industri tapi tetap merupakan pendapatan berarti bagi perguran tinggi yang 
disuruh pemerintah untuk berbisnis menghidupi diri sendiri. O, gusti, mau 
kemana kita ini?

Kalau tidak salah dengar pesan paling baru dari pimpinan negeri ini adalah: 
eksplorasi! Kita semua berdebar-debar kegirangan mendengarnya. Mudah-mudahan 
implikasinyapun dia mengerti. Termasuk tidak begitu mudah menyerahkan 
pengelolaan asset-asset cadangan mineral dan migas yang habis kontrak begitu 
saja ke orang-orang asing hanya karena mau bargaining sesuatu yang lain atau 
malah lebih parah lagi: karena takut bangsa sendiri tidak mampu mengurusi. Lho? 
Apa hubungan eksplorasi dengan habisnya kontrak-kontrak blok migas utama dan 
juga renegosiasi kontrak-kontrak pertambangan kita? Kalaupun toh harus 
bertawar-tawaran, kita minta saja mereka yang masih ingin mengangkangi 
operasional kekayaan kita itu dengan iming-iming masih boleh cawe-cawe 
–tentunya tidak sebagai operator lagi- tapi dengan syarat keluarkan duit – 
tenaga – teknologi dan sejenisnya yang terkait resiko-resiko tinggi untuk bantu 
kita eksplorasi, tanpa embel-embel apa-apa lagi. Bantu saja. Nyumbang. Tidak 
boleh lebih.

(bersambung ke bag kedua)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kirim email ke