Hore,
Hari Baru!
Teman-teman.
 
Anda orang yang sukses? Jika ya. Berarti anda banyak uang. 
Setidaknya, begitulah yang ada dalam benak begitu banyak orang. 
Seseorang layak disebut sebagai orang sukses jika memiliki banyak 
uang. Jika uang yang dimilikinya tidak banyak, rasanya janggal 
mengait-ngaitkan orang itu dengan sebuah kesuksesan. Sewaktu saya 
masih kecil, guru ngaji saya mengatakan bahwa; "orang kaya itu 
sungguh beruntung," katanya. "Karena, dengan kekayaannya, dia bisa 
menjadi manusia yang banyak memiliki pahala. Sebab," lanjut 
beliau. "Dengan kekayaannya itu, dia bisa berbuat begitu banyak 
kebajikan." Kekayaan bisa membantu manusia menuju tempat terhormat 
disamping singasana Tuhan, kelak ketika mereka kembali kepada jati 
diri sesunggunya sesudah mati. Dengan kata lain; orang kaya itu enak 
didunia dan enak juga diakhirat. Tetapi, benarkah selalu demikian?

Dalam pelajaran hari selanjutnya, pak guru mengatakan bahwa: "orang 
kaya itu sungguh merugi," katanya. "Karena, dengan kekayaannya dia 
bisa menjadi manusia yang banyak memiliki dosa. Sebab," lanjut 
beliau. "Dengan kekayaannya itu, dia bisa berbuat begitu banyak 
kesalahan." Jadi, menjadi kaya itu sebenarnya baik apa buruk? Beliau 
bilang; 'menjadi kaya dengan cara yang baik adalah baik, sedangkan 
menjadi kaya dengan cara yang buruk adalah buruk'. Oh, jadi kaya 
bukanlah ukuran baik atau buruk, melainkan; bagaimana cara dia 
menjadi kayalah penentunya. 

Seseorang yang memandang kekayaan semata sebagai ukuran sebuah 
keberhasilan mempunyai peluang untuk terjerumus kepada konsepsi yang 
salah. Bahwa hidup ini is all about being rich. Sedangkan 'bagaimana 
caranya' seringkali terabaikan. Oleh karena itu; tidaklah 
mengherankan jika begitu banyak orang yang silau dengan kekayaan 
seseorang, tanpa mempedulikan 'bagaimana' orang itu sampai kepada 
pencapaian material itu. Sehingga, manusia-manusia yang melakukan 
segala cara untuk mendapatkannya tetaplah dianggap manusia 
bermartabat dan terhormat. Repotnya lagi, lingkungan kita yang 
terlanjur hedonis ini seringkali mencibiri orang-orang yang memiliki 
uang pas-pasan, meski mereka senantiasa menjaga dirinya dari 
tindakan-tindakan tak terpuji. Kadang-kadang mereka dianggap manusia 
terbodoh didunia. "Memiliki kesempatan kok tidak dimanfaatkan," 
begitu kita seringa berkata. Itulah sebabnya, banyak orang baik 
terseret oleh arus sesat seperti itu. Sebab, kekayaan memberikan 
banyak kenyamanan. Siapa sih yang tidak ingin hidup nyaman?

Dihari lain guru mengaji saya bilang bahwa:"orang kaya itu paling 
cepat menjalani pemeriksaan diakhirat," katanya. "Karena, buku 
penilaian malaikat dipenuhi laporan daftar kebajikan yang pernah 
diperbuatnya semasa hidup. Sehingga," lanjut beliau. "Dengan 
sejumlah kebajikan itu, mereka layak mendapatkan tempat disorga 
Tuhan." Lagipula, mengapa Tuhan harus membiarkan orang-orang baik 
terlalu lama menunggu untuk itu? 

Dihari lain guru mengaji saya bilang bahwa:"orang kaya itu paling 
lambat menjalani pemeriksaan diakhirat," katanya. "Karena, dalam 
pemeriksaan itu; Tuhan mempertanyakan setiap jenis kekayaan yang 
dimilikinya. Semakin banyak kekayaannya, semakin panjang daftar 
periksa dan pertanyaan yang Tuhan ajukan.  Sehingga," lanjut 
beliau. "Orang yang paling kaya, paling lama diperiksa." Konon 
pertanyaan Tuhan tentang kekayaan seseorang hanya dua macam. Yaitu, 
pertama; bagaimana caranya dahulu kamu mendapatkan kekayaanmu itu? 
Dan kedua, bagaimana caranya kamu membelanjakan kekayaanmu itu? 

Untuk pertanyaan pertama, Tuhan hanya mengharapkan sebuah jawaban 
yang menegaskan bahwa seseorang mendapatkan kekayaannya dengan cara 
yang benar. Bukan dengan mengambil hak orang lain. Atau merugikan 
pihak lain. Atau menindas. Menipu. Memanipulasi. Atau mengemplang 
hutang sambil berfoya-foya. Jadi, orang-orang yang sengaja berutang 
kemudian berpura-pura bangkrut padahal rekening kekayaannya ada 
dimana-mana tentu sulit untuk membohongi Tuhan. Dan orang-orang yang 
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekayaan tentu akan 
kebingungan ketika harus berhadapan dengan Tuhan. Sedangkan, untuk 
pertanyaan kedua Tuhan hanya mengharapkan sebuah jawaban yang 
menegaskan bahwa seseorang menggunakan kekayaannya untuk berbuat 
kebajikan. Bukan menindas dan memperbudak orang lain. Atau 
memperalat. Atau menjajah manusia lain.  

Selintas, pelajaran-pelajaran ini seolah agak saling bertolak 
belakang. Namun, jika semuanya dikombinasikan ternyata menjadi 
sebuah pelajaran yang sederhana. Dan pelajaran itu 
berbunyi; "Kekayaan yang didapatkan dengan cara yang baik, dan 
dibelanjakan dijalan yang baik akan menjadikan hari esok seseorang 
lebih baik. Sedangkan, kekayaan yang didapatkan dengan cara yang 
buruk atau dibelanjakan untuk hal-hal yang buruk; pasti menjadikan 
hari esok seseorang sangat buruk." 

Oleh karena itu, kesuksesan seseorang lebih banyak ditentukan oleh 
bagaimana cara dia menjalani kehidupannya; bukan kekayaannya. Sebab, 
orang-orang yang menghabiskan umurnya untuk menemukan restu Tuhan, 
tentulah orang-orang yang sukses itu. Meskipun orang itu tidak kaya. 
Karena Tuhan pastilah tidak mata duitan. Jadi, meskipun jumlah uang 
orang itu tidak melimpah ruah; Tuhan pasti suka kepadanya. 
Sedangkan, orang-orang yang dalam hidupnya memancing-mancing 
kemarahan Tuhan, tentulah bukan orang-orang yang sukses itu. 
Meskipun orang itu kaya. Sebab, Tuhan tidak selalu melihat hasil 
akhir, melainkan proses perjalanan orang itu untuk mencapai akhir 
hidupnya. Jadi, meskipun jumlah uang orang itu melimpah ruah; Tuhan 
belum tentu suka kepadanya. Sebab, jika uang itu didapatkan, dan 
dibelanjakan dengan cara yang tidak disukai Tuhan; pastilah tidak 
ada nilainya dimata Tuhan.

Kekayaan bukanlah satu-satunya ukuran kesuksesan. Sebab, 
menghubungkan kesuksesan seseorang dengan jumlah uang yang 
dimilikinya; sama saja dengan merendahkan martabat orang itu. Itu 
berarti bahwa kita lebih menghargai uangnya dari pada nilai 
kemanusiaannya. Karena, jika kita mengukur keberhasilan seseorang 
dari uangnya, maka kekaguman kita terhadap orang itu akan dengan 
serta merta luntur tepat disaat kita mengetahui bahwa 'ternyata, 
orang itu tidak sekaya yang kita kira....' 

Lebih berbahaya lagi jika cara berpikir seperti itu akhirnya 
mendorong orang untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji. Hanya 
gara-gara kita menganggap mereka banyak uang, lalu mereka berusaha  
untuk membenarkan dugaan kita dengan cara yang salah. Saya pernah 
membaca dikoran, seorang manusia terhormat berkata; "Bagaimana saya 
tidak berusaha keras mencari uang? Wong setiap organisasi masa yang 
datang ke rumah saya selalu meminta sumbangan. Mereka pikir saya 
punya banyak uang. Mana percaya mereka, kalau saya katakan tidak 
punya uang? Jadi, saya kasihlah mereka itu uang." Mengenaskan, 
bukan? 

Mari kita berhenti untuk menjadikan jumlah uang dan kekayaan sebagai 
ukuran keberhasilan. Sehingga kita bisa lebih berfokus kepada 
tindakan-tindakan yang positif. Dan terhindar dari menghalalkan 
segala cara untuk sekedar mendapatkan uang yang banyak. Jika anda 
terpilih menjadi karyawan teladan di perusahaan. Meskipun pendapatan 
anda pas-pasan; jangan ragu untuk menyebut diri anda orang sukses. 
Dan percayalah, tidak ada gunung yang terbentuk begitu saja. Dia 
tumbuh dari anak gunung menjadi gunung besar yang menjulang. Begitu 
pula dengan kesuksesan. Sekecil apapun, itu akan menjadi bibit bagi 
kesuksesan besar anda dimasa mendatang. Itu jika anda tidak 
tersilaukan oleh uang. Sebab, jika uang menjadi segala ukuran 
kesuksesan anda; maka anda tidak akan segan untuk melakukan cara 
apapun agar bisa mendapatkannya. Kita tidak usah malu untuk mengakui 
bahwa uang kita tidak banyak. Jika kita bisa mandiri. Tidak menjadi 
benalu bagi orang lain. Maka nilai kesuksesan kita sama sekali tidak 
berkurang. 

Hore, 
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://dkadarusman.blogspot.com/
http://www.dadangkadarusman.com/ 

Catatan kaki:
Jika kita menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang; sekalipun 
uang kita menjadi banyak, rasanya kita tidak layak untuk disebut 
sebagai orang sukses.


Kirim email ke