Opera Batak Riwayatmu Dulu <http://nainggolan.net/index2.php?option=com_content&task=view&id=21&pop=1&p age=0&Itemid=28> Print
<http://nainggolan.net/index2.php?option=com_content&task=emailform&id=21&it emid=28> E-mail Saturday, 24 November 2007 Pernah dengar Opera batak?Jenis kesenian teater rakyat itu ternyata sempat merajai dunia hiburan di Sumatera Utara. Hingga dekade 1980-an, opera Batak merupakan tontonan menarik meski diadakan di lapangan terbuka dengan resiko misbar(gerimis bubar).Pada masa jayanya, group opera jumlahnya mencapai 30-an. Diantaranya Serindo, Serada, Rompemas, Seribudi, Roos, Ropeda, Serbungas, Roserda, Sermindo dan lain-lain.Opera menyajikan cerita sandiwara yang diselingi lagu-lagu, tari-tarian dan lawak. Musik pengiringnya uning-uningan atau seperangkat alat musik tradisional batak yang terdiri dari serunai, kecapi, seruling, garantung, odap dan hesek. Panggungnya sederhana namun cukup unik. Bentuknya menyerupai rumah adat Batak dan diberi hiasan gorga (ukiran khas batak) serta nama operanya. Panggung sengaja diberi lukisan atau property sebagaimana tuntutan cerita. Sebuah tirai penutup menjadi alat penghubung pergantian adegan atau bila acara berganti ke selingan lagu, tari atau lawak. Makanya, opera batak sama durasinya dengan film India. Apalagi kalau sang primadona mampu menghipnotis penonton hingga saweran banyak mengalir, tak jarang sebuah lagu dilama-lamain. Penonton puas meski pertunjukan usai dini hari. Tak peduli pulang menembus kegelapan malam. Maklum saja, tidak seperti sekarang ini alat penerangan listrik pada masa itu belum menjangkau pelosok pedesaan di Sumatera Utara. Nah, suasana panggung opera hanya diterangi lampu petromak yang lazim disebut lampu gas, yang terkadang mesti diturunkan untuk menambah angin atau karena kehabisan minyak. Mirip ludruk atau wayang wong dipulau Jawa, opera Batak biasanya berkeliling dari desa ke desa. Sasarannya tentu desa yang baru selesai panen dengan tujuan agar peluang menyedot penonton lebih terbuka. Lama pementasan di sebuah desa tergantung dari kondisi namun biasanya tidak sampai sebulan. Mengingat dunia hiburan jaman dulu terbilang langka tidak heran bila kehadiran opera selalu ditunggu-tuggu masyarakat.Karena berlokasi di alam terbuka maka bukan suatu kejanggalan bila penontonnya duduk margobar atau mengenakan sarung atau selimut untuk melawan dinginnya angin malam. Yang unik, bila tidak ada uang, tiket bisa digantikan beras atau hasil sawah lading asal sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Tilhang Gultom Membicarakan dunia opera Batak tentu tidak lepas dari nama tokoh Tilhang Gultom. Pria kelahiran Desa Sitamiang, Pulau Samosir ini pantas disebut maestro dan pelopor opera Batak. Tak hanya sekedar pelopor, lewat karya-karyanya lahir ratusan cerita sandiwara, tari-tari dan juga lagu yang menjadi trade mark dalam setiap pementasan opera yang ada di Sumatera Utara, yang bahkan sampai sekarang lagu-lagunya masih akrab di telinga kita. Sejak usia muda, Tilhang telah mengabdikan dirinya pada dunia seni. Tahun 1925, untuk pertama kalinya ia membentuk group trio yang diberi nama Tilhang Parhasapi yang berarti 'Tilhang Sang Pemetik Kecapi'. Rekannya adalah Pipin Butar-butar (peniup Serunai) dan Adat Raja Gultom (kecapi rythem). Meski belum disebut opera, group inilah yang menjadi cikal-bakal terbentuknya group opera yang pertama : Opera Serindo, Grup yang paling popular hingga teater rakyat itu akhirnya tinggal kenangan. Tak bisa dipungkiri, lahirnya opera batak tidak lepas dari jenis opera yang mulai berkembang sebelumnya di timur jauh, misalnya grup Dardanella dan Miss Tjitjih. Tilhang pun terinspirasi sehingga menambah anggotanya dan mulai menyuguhkan sandiwara, lagu dan tari. Tiga tahun berikutnya grup Tilhang maju pesat bahkan memiliki anggota 50 orang. Surat kabar Pertjatoeran, edisi 15 agustus 1928 menyebutkan, pada bulan tersebut, opera Tilhang telah bermain di pasar malam Balige dan Siborong-borong. Sebagai catatan, pada masa itu pemain opera hanya terdiri dari kaum pria. Kondisi zaman agaknya masih tabu bagi kaum wanita untuk melakoni kehidupan opera. Dasar Tilhang, laki-laki pun dimakeupnya menjadi wanita sehingga penonton sering terkecoh. Tokoh wanita yang cukup popular pada masa itu adalah Johanis Situmorang, yang sering mendapat surat ungkapan rasa cinta dari para penggemarnya. Bahkan di barak mereka Johanis sering pula terpaksa minggat, menghindari fansnya yang ingin ketemu. Setahun kemudian, Tilhang mengganti nama operanya menjadi Batak Sitamiang. Kemudian ganti lagi menjadi Tilhang Opera Batak (TOB).Hebatnya tahun 1933, TOB sudah merambah semenanjung Malaka dan tampil di Penang dan Singapura. Tahun 1936 TOB berganti nama lagi menjadi Tilhang Batak Hindia Toneel (TBHT), kenapa berbau irlandeer, ini akibat instruksi pihak penjajah Belanda. Pada periode tersebut pemainnya mencapai 60 orang. Grup Tilhang agaknya sudah ditakdirkan berganti-ganti nama. Tahun itu juga TBHT berganti nama menjadi Tilhang Toneel Gezalschap (TTG). Dan sejak Jepang menjajah Indonesia TTG berganti menjadi sandiwara Asia Timur Raya. Tilhang tak kuasa membendung intervensi Gun Seikanbu atau Pemerintah Jepang. Faktor ini pula yang membuat Tilhang memilih operanya mati suri daripada menjadi alat propaganda Jepang.(sumber: hariara.wordpress.com)