From: Anna McArthur
[mailto:[EMAIL PROTECTED]]
Sent: Monday, September 12, 2005 8:21 AM
Subject: Mendidik Manusia atau anjing ? - Ratna
Megawangi
Dear Ida,
Menarik sekali tulisan nya. Kebetulan kami (my husband & I) sepaham dengan
cara berpikir penulis.
Anak pertama kami (15th) sejak kecil selalu duduk dalam top 5. Kegiatannya
lebih focus ke pelajaran (kutu buku) dan sosialnya kurang. Kebanyakan orang tua
"happy" sekali lihat anaknya selalu nangkring di top 5. Tidak
demikian dengan kami (kata teman teman kita ini Ortu aneh).
Pada saat anak kami berumur 8 th kami memutuskan untuk mengirimnya ke boarding
school di Phuket. tentu saja setelah melalui pertimbangan yg matang. Sekolah
tersebut merupakan cabang atau satu group dari sekolah di UK yang cukup
terkenal dengan metode bagus dan juga disiplin bagus (Dulwich International
College). Anak kami tinggal di Surin house bersama sekitar 50 anak lainnya. Semester
pertama perubahan mulai terlihat, anak kami mulai bergabung dengan club renang.
Nilai akademik tetap menonjol dan tetap tidak bergeming dari top 5. semester
berikutnya nilai akademik turun walaupun tetap dalam top 10 tetapi anak kami
memimpin group renang dan keluar sebagai pemenang. Selama 3 th berada di
boarding school, anak kami menempuh perjalanan pp Phuket-Jkt setiap 5 minggu
(status UM) dan mulai terlihat keberanian dalam bersuara. Ketegasannya dalam
memutuskan suatu pendapat di dapat dari kehidupan asrama yg notabene
membutuhkan kerjasama yg baik dan juga berkat system di asrama tersebut yang
mengajarkan agar setiap student dapat secara bergilir memikul tanggung jawab
sebagai pemimpin.
Sejak th 2003 kami hijrah ke NZ dan system pendidikan disini yang lumayan unik
membuat kami semakin betah. Anak pertama kami masuk di High school 2 th lalu
dan karena nilai akademiknya yg tetap menonjol maka pihak sekolah memasukkan
anak kami dalam kelas rangking 1. di High School terdapat sekitar 15 kelas untuk
umur yg sama dan setiap kelas memiliki nilai akademik yg berbeda. artinya anak
yg akademiknya kurang baik tidak akan dicampur dan diharuskan bersaing dengan
anak yg akademiknya tinggi. Paham yang di anut adalah, setiap anak mempunyai
keistimewaan masing masing dan anak yg matematiknya misalnya selalu merah tidak
akan dipaksa bersaing dengan yg matematik nya 9. begitu juga untuk non
akademik, yg hebat di sport tidak akan dipaksa menghafal rumus matematika
justru di dorong untuk terus berpacu dengan sport dan ikut kompetisi national
or international.
Minggu lalu anak kami baru saja menjalani interview yg di sebut "focus
career and understanding our dream" setiap anak yg duduk di kelas 10
semester akhir disarankan untuk membuat appointment dengan "career centre"
dan dibantu oleh mereka si anak dibimbing untuk memahami apa yang mereka
inginkan dan apakah keinginan tersebut akan dapat dicapai atau "will be
just a dream". Interview ini tidak wajib dan tidak setiap anak menggunakan
kesempatan tersebut. kembali kepada ortu dirumah ada yg cuek bebek ada yg care.
(Kami termasuk yg care dan mendorong anak kami menggunakan fasilitas tersebut).
Anak kami selalu memfocuskan impian menjadi pilot fighter (hhhmmmm....) setelah
melalui discusi yg panjang antara kami (ortu), pihak sekolah (career centre dan
class teacher) serta kemampuan si anak, akhirnya anak kami (semoga) dapat
melihat bahwa memfocuskan diri menjadi seorang pilot fighter adalah langkah yg
terlalu cepat dan kurang wise. Kemampuan akademik yg tinggi dan ditunjang
kegemarannya akan technology (computer, robot etc) akan lebih bermanfaat jika
anak kami memfocuskan diri menjadi seorang engineering dalam hal ini bergabung
dengan airforce sebagai ground support dan memfocuskan diri untuk mempelajari
serta menciptakan technology pesawat yang terbaru. Sebagai seorang yg
menciptakan pesawat, otomatis kalau ingin menggeserkan career sebagai seorang
pilot fighter tidak akan terlalu sulit. gak susah kan nyopirin produk sendiri
(he he he.....)
Anak ke 2 kami sangat bertolak belakang dengan yg pertama. kemampuan akademik
boleh dibilang "biasa" saja. tetapi kemampuan sosialnya sangat luar
biasa. Jika ke 2 anak tersebut kami ajak ke suatu acara yg notabene tidak ada
yg mereka kenal, dalam 5 menit anak ke 2 kami telah mendapatkan teman bermain
dan pada saat acara selesai tidak akan heran jika anak ke 2 kami telah
mengantongi nama & alamat beberapa kenalan baru. bagaimana dengan anak 1
kami? sampai acara selesai belum tentu anak 1 kami mengenal nama orang yg
berdiri disebelahnya.
Jika anak pertama kami focus ke akademik dan "kuliah mendapat degree"
adalah wajib (menurut dia lho..) lain halnya dengan anak ke 2 kami, sejak
beberapa tahun terakhir urusan "kuliah" buat dia adalah membuang
waktu dan dana. Jika kami mendiskusikan masalah sekolah setelah tamat SMA, (ini
menyangkut budget dan persiapan dana bagi kami sebagai ortu) maka si kecil
dengan tegasnya mengatakan bahwa dia tidak akan menghabiskan waktu dan dana
duduk di university hanya untuk mendapat gelar. Si kecil merasa bahwa university
bukanlah tempat ideal buat dia. Cita cita nya setelah tamat SMA dia akan
merintis career sebagai singer atau bermain film dengan cara bergabung dengan
agen atau sekolah acting atau singing. hhhmmmmm.........
Anak ke 2 juga merasakan system sekolah yg bagus, beruntung bagi kami mempunyai
kesempatan mengirim anak ke international school sejak mereka kecil. Di NZ anak
ke 2 mulai dengan year 4. System disini setiap tahun anak akan pindah ke kelas
berikutnya (tidak ada yang tidak naik kelas). Apakah setiap anak sama? Tidak.
Dalam kelas anak saya (year 5), umur setiap anak setara tetapi kemampuan tiap
anak berbeda dan dalam kelas terdapat kelompok yang dibedakan berdasarkan
kemampuan individual dan setiap kelompok mempelajari materi yang berbeda. Bagaimana
dengan "Rapor?" setiap awal tahun kami (ortu) diberi kesempatan untuk
membuat temu janji dengan class teacher dan akan mendapat penjelasan sejauh apa
kemampuan anak kita dan apakah target kita sebagai ortu dan target teacher itu
seimbang? lalu si anak akan dipanggil dan kami, teacher + si anak akan duduk
bersama dan mendiskusikan apa harapan si anak dan target apa yg akan dicapai?
Disini antara ortu, guru & anak dapat menyeragamkan pendapat apa yang akan
di dorong, difokuskan dalam 1 th kedepan. Akhir tahun kami kembali duduk
bersama dan mendiskusikan sejauh apa target terpenuhi dan apakah target
tersebut tidak menyimpang dari kemampuan si anak?
lalu apa yg tertulis dalam "rapor"? penjelasan sejauh apa tingkat
akademik atau non akademik si anak. Contohnya anak kami yg walaupun tergolong
"rata rata" ternyata kemampuan akademik nya setara dengan anak yg
berumur 13th (anak ke 2 kami umurnya 10th), kemampuan non akademik dlm bidang
sport setara dng umur 9th (terlalu kecil untuk umurnya) dan kemampuan seni menonjol
dan dapat dikategorikan sebagai junior advance.
Intinya, kami menegaskan kepada anak anak, apapun career yang akan mereka tuju
asal dilakukan dan dijalani dengan sungguh sungguh akan menjadi suatu career
yang membanggakan. Plan the future sedini mungkin dan ingat kemampuan dan
kondisi. Jangan mimpi kuliah di Oxford
kalo otak nggak sanggup dan dana pas pas-an atau jangan mimpi jadi
"Madonna" kalo nyanyi di kamar mandi aja nggak becus. dan yang
penting jangan memilih career karena "si pujaan hati" ada disana atau
karena career tersebut lagi ngetren. Lihat kemampuan, kesempatan dan focus.
take care,
Anna
On Sep 12, 2005, at 12:18 AM, Ida arimurti wrote:
Mendidik
Manusia atau anjing ? - Ratna Megawangi/x-tad-bigger>/fontfamily>
Perjalanan anak-anak kami
masih panjang, sehingga kami belum tahu/x-tad-bigger>/fontfamily>
apakah mereka berhasil
nantinya. Namun paling tidak, kami telah/x-tad-bigger>/fontfamily>
berusaha untuk mempersiapkan
mereka untuk menjadi manusia yang/x-tad-bigger>/fontfamily>
berpikir kritis dan mandiri,
tidak mudah percaya dan diprovokasi,/x-tad-bigger>/fontfamily>
bisa mencari informasi dan
mengolahnya sendiri, sehingga nantinya/x-tad-bigger>/fontfamily>
bisa mencari solusi terhadap
berbagai masalah dalam hidupnya, serta/x-tad-bigger>/fontfamily>
mudah beradaptasi dengan
lingkungan yang cepat berubah./x-tad-bigger>/fontfamily>
Tentunya juga dengan
membekali mereka tentang prinsip-prinsip nilai/x-tad-bigger>/fontfamily>
dan etika. Terus terang, kami
memang "melarang" anak-anak kami untuk/x-tad-bigger>/fontfamily>
mendapatkan ranking, karena
sistem ini akan membuat seseorang/x-tad-bigger>/fontfamily>
terperangkap untuk
mempertahankannya, sehingga mereka hanya mampu/x-tad-bigger>/fontfamily>
berpikir dangkal, pragmatis,
dan tidak kritis, akibat terbiasa/x-tad-bigger>/fontfamily>
menghafal dan mengerjakan
soal yang jawabannya sudah baku sesuai/x-tad-bigger>/fontfamily>
dengan rumus./x-tad-bigger>/fontfamily>
Menurut Albert Einstein,
dengan hanya mengajarkan anak menghafal/x-tad-bigger>/fontfamily>
mata pelajaran, tidak ada
bedanya dengan melatih seekor anjing./x-tad-bigger>/fontfamily>
Menurut Einstein, "With
his specialized knowledge-more closely/x-tad-bigger>/fontfamily>
resembles a well-trained dog
than a harmoniously developed person."/x-tad-bigger>/fontfamily>
(Ternyata benar, dengan cara
mengulang berkali-kali, anak kami sudah/x-tad-bigger>/fontfamily>
dapat melatih anjingnya yang
berusia 4 bulan untuk duduk, loncat,/x-tad-bigger>/fontfamily>
dan salaman). Bukan berarti
metode menghafal dan drilling tidak/x-tad-bigger>/fontfamily>
perlu (kognitif), tetapi
dimensi lainnya juga harus dikembangkan/x-tad-bigger>/fontfamily>
(sosial, emosi, motorik,
spiritual, dan kreativitas), sehingga/x-tad-bigger>/fontfamily>
seluruh dimensi manusia dapat
berkembang secara seimbang (harmonis)./x-tad-bigger>/fontfamily>
Namun, semua metode pelajaran
di sekolah hanya diarahkan agar anak-/x-tad-bigger>/fontfamily>
anak dapat menjawab ujian,
yang bentuknya memang hafalan, sehingga/x-tad-bigger>/fontfamily>
potensi-potensi lainnya tidak
berkembang secara harmonis./x-tad-bigger>/fontfamily>
Albert Einstein sudah
memberikan warning akan bahayanya sistem/x-tad-bigger>/fontfamily>
pendidikan yang terlalu
menjejalkan anak dengan banyak mata/x-tad-bigger>/fontfamily>
pelajaran, yang menurutnya
dapat membuat anak berpikir dangkal,/x-tad-bigger>/fontfamily>
bukan seorang yang
independent critical thinker (New York Times,October 5, 1952)./x-tad-bigger>/fontfamily>
Menurutnya, "It is also
vital to a valuable education that/x-tad-bigger>/fontfamily>
independent critical thinking
be developed in the young human being,/x-tad-bigger>/fontfamily>
a development that is greatly
jeopardized by overburdening him with/x-tad-bigger>/fontfamily>
too much and with too varied
subject (point system). Overburdening/x-tad-bigger>/fontfamily>
necessarily leads to
superficiality. Teaching should be such that/x-tad-bigger>/fontfamily>
what is offered is perceived
as a valuable gift and not as a hard duty."/x-tad-bigger>/fontfamily>
Kalau kita melatih seseorang
untuk mempunyai fisik kuat, baik dengan/x-tad-bigger>/fontfamily>
olahraga atau berjalan kaki,
maka dengan kekuatan fisiknya ia akan/x-tad-bigger>/fontfamily>
fit bekerja di mana saja yang
memerlukan kekuatan fisik. Begitu/x-tad-bigger>/fontfamily>
pula, apabila kita
mempersiapkan seorang anak untuk dapat berpikir/x-tad-bigger>/fontfamily>
kritis, selalu ingin tahu,
dan mampu mengolah informasi, maka ia/x-tad-bigger>/fontfamily>
akan berhasil dalam pekerjaan
apa saja yang memerlukan orang berpikir./x-tad-bigger>/fontfamily>
Apalagi di masa depan apabila
semakin banyak orang yang mempunyai/x-tad-bigger>/fontfamily>
akses terhadap internet (lima
tahun yang lalu mungkin kita tidak/x-tad-bigger>/fontfamily>
membayangkan kalau hand phone
bisa dipakai secara massal sampai ke/x-tad-bigger>/fontfamily>
desa-desa. Hal yang sama
sangat mungkin terjadi dengan internet,/x-tad-bigger>/fontfamily>
seperti yang sudah terjadi di
Korea)./x-tad-bigger>/fontfamily>
Artinya, tanpa menghafal pun,
segala informasi dengan mudah dapat diakses./x-tad-bigger>/fontfamily>
Mungkin ilmu yang didapat di
sekolah banyak yang tidak terpakai/x-tad-bigger>/fontfamily>
dalam kehidupan anak kita
nanti. Apalagi jaman akan terus berubah/x-tad-bigger>/fontfamily>
dengan cepat, sehingga apa
yang dipelajari sekarang ini, mungkin/x-tad-bigger>/fontfamily>
saja tidak terpakai dalam
kehidupannya di masa depan nanti. Padahal/x-tad-bigger>/fontfamily>
sudah dipelajari dan
dihafalkan mati-matian, sampai banyak yang/x-tad-bigger>/fontfamily>
stres dan mengalami masalah
kejiwaan./x-tad-bigger>/fontfamily>
Menurut Peter Senge,
sekolah-sekolah yang mendidik siswanya untuk/x-tad-bigger>/fontfamily>
patuh begitu saja kepada
pihak otoritas dan mengikuti peraturan/x-tad-bigger>/fontfamily>
tanpa mempertanyakannya -
tidak bersikap kritis - akan gagal/x-tad-bigger>/fontfamily>
menyiapkan para siswanya
untuk menghadapi dunia tempat tinggal/x-tad-bigger>/fontfamily>
mereka yang kerap berubah./x-tad-bigger>/fontfamily>
Jadi, kalau kita mau
menyiapkan anak-anak kita untuk cakap hidup di/x-tad-bigger>/fontfamily>
zamannya kelak, jangan
biarkan mereka terperangkap dengan cara yang/x-tad-bigger>/fontfamily>
hanya bisa berpikir sesuai
dengan yang telah diprogram (hafalan dan/x-tad-bigger>/fontfamily>
drilling), yaitu tidak
kreatif, tidak kritis, tidak berani mengambil/x-tad-bigger>/fontfamily>
risiko, tidak proaktif, dan
apatis./x-tad-bigger>/fontfamily>
Kasihan mereka, karena mereka
harus hidup di masa depan yang begitu/x-tad-bigger>/fontfamily>
cepat berubah, sangat
kompleks, serta penuh tantangan dan beban./x-tad-bigger>/fontfamily>
Seperti kata Einstein, mereka
adalah manusia, bukan well-trained dog. */x-tad-bigger>/fontfamily>
Penulis
adalah pemerhati masalah sosial pendidikan/x-tad-bigger>/fontfamily>