ada sebuah masalah bila pola pikir itu berbeda, karena bahasa 
merupakan cerminan pola pikir atau pola nalar pengguna bahasa asli 
yang bersangkutan.
pola baku dalam bahasa indonesia adalah dm (diterangkan 
menerangkan), sedangkan pola pikir bahasa inggris adalah md 
(menerangkan diterangkan).
ada sebuah contoh dalam jenis olah raga yang terkait dengan bola, 
yaitu bola voli, bola basket, bola sodok, dst.
namun ada sebuah nama yang menyimpang, yaitu bola sepak yang 
dibakukan dengan sepak bola.
akibatnya?
setiap ada pagelaran sepak bola selalu terjadi tawuran, karena 
perhatian utama para pemain, wasit, dan penonton pada subyek sepak, 
sehingga siapa saja boleh sepak dengan apa saja (clurit, kaki, batu, 
panahan, mercon, dsb), sedangkan obyeknya tidak hanya bola, boleh 
apa saja (kepala, pundak, perut, pungung, lutut, kaki, dsb, baik 
milik dan oleh pemain, wasit, penonton, polisi, dsb).
adakah silangsengkarutnya kondisi bangsa ini karena jungkirbaliknya 
pola nalar para sarjana kita yang mengelola negara ini dari hasil 
didikan dengan bahasa inggris atau bahasa asing lainnya?
beranikah kita mengembalikan sepak bola pada pola baku bahasa 
indonesia menjadi bola sepak?

--- In idakrisnashow@yahoogroups.com, "Ida arimurti" <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
Ada anggapan, semakin muda usia semakin mudah anak belajar bahasa
daripada orang dewasa. Ada pula yang berpendapat, belajar bahasa 
asing sejak dini bukan jaminan. Sementara yang lain bilang, 
keberhasilan belajar bahasa asing sangat ditentukan oleh motif atau 
kebutuhan berkomunikasi dalam lingkungannya. Mana yang benar? E. 
Kosasih, mahasiswa Pengajaran Bahasa pada Program Pascasarjana IKIP 
Bandung, dan wartawan Intisari A. Hery Suyono menuturkannya berikut 
ini.
Belakangan ini aneka kursus bahasa asing, terutama Inggris, kian
semarak. Tidak hanya untuk orang dewasa, tetapi juga anak-anak. 
Lembaga persekolahan pun tak mau ketinggalan zaman. Pengajaran 
bahasa Inggris yang semula hanya dikenal di tingkat SMTP, kini 
diberikan kepada siswa SD, bahkan murid Sekolah Taman Kanak-Kanak.
Fenomena seperti itu antara lain terpacu oleh obsesi orang tua yang
menghendaki anaknya cepat bisa berbahasa asing. Mereka berpandangan,
semakin dini anak belajar bahasa asing, semakin mudah ia menguasai
bahasa itu.
Lalu, bagaimana pendapat para pakar bahasa?
Masa emas belajar bahasa
Beberapa pakar bahasa mendukung pandangan "semakin dini anak belajar
bahasa asing, semakin mudah anak menguasai bahasa itu". Misalnya,
McLaughlin dan Genesee menyatakan bahwa anak-anak lebih cepat 
memperoleh bahasa tanpa banyak kesukaran dibandingkan dengan orang 
dewasa.
Demikian pula Eric H. Lennenberg, ahli neurologi, berpendapat bahwa
sebelum masa pubertas, daya pikir (otak) anak lebih lentur. Makanya, 
ia lebih mudah belajar bahasa. Sedangkan sesudahnya akan makin 
berkurang dan pencapaiannya pun tidak maksimal.
Dr. Bambang Kaswanti Purwo, ketua Program Studi Linguistik Terapan
Bahasa Inggris, Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, dalam 
tulisannya Pangajaran Bahasa Inggris di SD dan SMTP, menyebut bahwa 
usia 6 - 12 tahun, merupakan masa emas atau paling ideal untuk 
belajar bahasa selain bahasa ibu (bahasa pertama). Alasannya, otak 
anak masih plastis dan lentur, sehingga proses penyerapan bahasa 
lebih mulus.
Lagi pula daya penyerapan bahasa pada anak berfungsi secara otomatis.
Cukup dengan pemajanan diri (self-exposure) pada bahasa tertentu,
misalnya ia tinggal di suatu lingkungan yang berbahasa lain dari 
bahasa ibunya, dengan mudah anak akan dapat menguasai bahasa itu. 
Masa emas itu sudah tidak dimiliki oleh orang dewasa.
Namun, bukan berarti orang dewasa tidak mampu menguasai bahasa kedua
(bahasa asing). Lenneberg mengemukakan, orang dewasa dengan 
inteligensia rata-rata pun mampu mempelajari bahasa kedua selewat 
usia 20 tahun.
Bahkan ada yang mampu belajar berkomunikasi bahasa asing pada usia 40
tahun.
Kenyataan itu tidaklah bertentangan dengan hipotesis mengenai batasan
usia untuk penguasaan bahasa karena penataan bahasa pada otak sudah
terbentuk pada masa kanak-kanak. Hanya saja lewat masa pubertas 
terjadi "hambatan pembelajaran bahasa" (language learning 
blocks). "Jadi, maklum bila belajar bahasa selewat masa pubertas, 
justru lebih repot daripada ketika usia lima belas atau lima tahun," 
ujar Bambang.
Pada penguasaan bahasa pertama dikenal istilah "masa kritis" 
(critical period). Pada penguasaan bahasa kedua (bahasa asing) 
terdapat istilah "masa peka" (sensitive period). Berdasarkan 
penelitian Patkowski, masa peka penguasaan sintaksis bahasa asing 
adalah masa sampai usia 15 tahun.
Anak yang dihadapkan pada bahasa asing sebelum usia 15 tahun mampu
menguasai sintaksis bahasa asing seperti penutur asli. Sebaliknya, 
pada orang dewasa hampir tak mungkin aksen bahasa asing dapat 
dikuasai.
Lebih detail dipaparkan oleh peneliti lain. Penelitian Fathman 
terhadap 200 anak berusia 6 - 15 tahun yang belajar bahasa Inggris 
sebagai bahasa kedua di sekolah di AS, menunjukkan bahwa anak yang 
lebih muda (usia 6 - 10 tahun) lebih berhasil pada penguasaan 
fonologi (tata bunyi) bahasa Inggris. Sedangkan pada anak lebih tua 
(11 - 15 tahun) lebih berhasil pada penguasaan morfologi (satuan 
bentuk bahasa terkecil) dan sintaksisnya (susunan kata dan kalimat).
Masih tentang penguasaan aspek tertentu dari bahasa asing dalam
kaitannya dengan faktor usia, Scovel menyebutkan, kemampuan untuk
menguasai aksen bahasa asing berakhir sekitar usia 10 tahun. 
Sedangkan penguasaan kosa kata dan sintaksis, menurut catatannya, 
tidak mengenal batasan usia.
Pro-kontra periode kritis Masa ideal anak belajar bahasa bertolak 
dari apa yang disebut periode kritis bagi penguasaan bahasa ibu. 
Periode kritis sebenarnya masih  berupa hipotesis bahwa dalam 
perjalanan hidup manusia terdapat jadwal biologis yang menentukan 
masa-masa kegiatan seseorang (Brown, 1994).
Periode kritis sering dihubung-hubungkan dengan proses pembelahan 
antara otak kiri dengan otak kanan. Hasil penelitian neurologis 
menyebutkan, pada usia menjelang dewasa, fungsi-fungsi kemanusiaan 
terbagi atas dua bagian. Fungsi intelektual, logika, analisis, dan 
kemampuan berbahasa berada pada otak bagian kiri. Sedangkan fungsi 
yang berhubungan dengan emosi dan fungsi lain yang bersifat sosial 
dikendalikan oleh belahan otak kanan. Ketika memasuki proses 
pembelahan otak itulah, menurut para pakar anatomi bahasa, masa peka 
bahasa itu berlangsung.
Setelah proses "penyebelahan" (lateralization) otak selesai, menurut
hipotesis Lenneberg, perkembangan bahasa cenderung menjadi "beku".
Keterampilan dasar yang belum dapat dicapai pada masa itu (kecuali 
untuk artikulasi) biasanya akan tetap tidak sempurna.
Kapan tepatnya proses terjadinya masa pembelahan otak, masih terdapat
ketidaksepakatan di antara para ahli. Pandangan-pandangan yang
berseberangan antara lain dikemukakan oleh Sorenson dan Jane Hill.
Menurut penelitian Sorenson terhadap suku Tukaro di Amerika Selatan,
menjelang usia dewasa masyarakat Tukaro paling tidak sudah menguasai 
dua atau tiga dari 24 bahasa yang biasanya mereka pergunakan. Yang 
lebih mengherankan lagi, jumlah penguasaan bahasa itu malahan 
semakin banyak dan lebih sempurna ketika mereka menjelang usia tua.
Bukti lain. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya terhadap 
masyarakat Barat, Jane Hill berkesimpulan bahwa dalam perkembangan 
normal seseorang dapat mempelajari bahasa asing dengan sempurna, 
terlepas dari apakah ia berusia muda atau tua.
Proses pembelahan otak, menurut Eric Lenneberg, terjadi sejak anak
berusia dua tahun dan berakhir menjelang pubertas. Sedangkan Norwan
Geshwind berpendapat, pembelahan otak (periode kritis) usai jauh 
sebelum masa pubertas. Lebih ekstrem lagi pendapat Stephen Krashen, 
yakni proses pembelahan itu berakhir sewaktu anak berusia lima tahun.
Dengan demikian, jelas bahwa hipotesis periode kritis tidak bisa
dijadikan kriteria keberhasilan pengajaran bahasa kedua atau bahasa
asing. Keberhasilan seseorang belajar bahasa asing, menurut Gardner 
dan Lambert, tidak tergantung pada kemampuan intelektual atau 
kecakapan bawaan berbahasa, tetapi sangat ditentukan oleh motif atau 
kebutuhan berkomunikasi dalam lingkungannya.
Bukan jaminan 
Sejak masuk SD bahkan TK, anak sudah "dituntut" menguasai lebih dari
satu bahasa; bahasa daerah dan Indonesia. Keduanya dipakai sebagai
bahasa pengantar dalam proses belajar-mengajar.
Betapa beratnya beban mereka, bila kemudian masih ditambah lagi 
belajar bahasa Inggris. Empat bahasa harus mereka kuasai dalam satu 
periode, misalnya.
Kenyataan itu bukannya menambah cepat anak menguasai bahasa asing. Di
samping akan menimbulkan beban psikologis, tak tertutup kemungkinan 
laju perkembangan bahasa daerah dan nasional anak pun malahan 
terhambat, atau justru merusak sistem-sistem bahasa yang terlebih 
dahulu dia kuasai.
Hal seperti itu tidak jauh berbeda dengan anak yang sedang belajar 
bola tangan. Sebelum ia mahir bermain bola tangan, lalu ditimpa lagi 
dengan permainan bola basket dan sepak bola. Pelatih tidak perlu 
heran apabila kemudian si anak memasukkan bola dengan tangan ketika 
bertanding sepak bola, atau menyundul dan menendang bola ketika anak 
bermain bola basket.
Jeperson jauh-jauh sebelumnya memperingatkan bahwa anak yang 
mempelajari dua bahasa tidak akan dapat menguasai kedua bahasa itu 
dengan sama baiknya. Juga tak akan sebaik mempelajari satu bahasa. 
Kerja otak untuk menguasai dua bahasa akan menghambat anak untuk 
mempelajari hal lain yang harus dia kuasai. Perkembangan bahasa anak 
terganggu, baik dalam penggunaan kosa kata, struktur tata bahasa, 
bentuk kata, dan beberapa penyimpangan bahasa lainnya.
Tidak terelakkan, dalam era global penguasaan bahasa Inggris hukumnya
wajib. Siapa yang ingin luas pergaulan, sukses berbisnis, maupun
menguasai ilmu pengetahuan mau tidak mau harus menguasai bahasa yang
satu ini. Namun, dalam penanaman kita dituntut sikap bijak dan tidak
tergesa-gesa.
Di samping perlu mempertimbangkan kemampuan anak, para orang tua
hendaknya memperhatikan pula kepentingan anak akan penguasaan bahasa
daerah dan nasional. Kedua bahasa itu tidak bisa dilepaskan begitu 
saja dari fungsi keseharian dan tanggung jawab sosial anak. Sebab 
itu, akan lebih baik bila bahasa Inggris atau bahasa asing lain 
diberikan setelah bahasa daerah dan bahasa nasional terkuasai secara 
mantap. Pengajaran bahasa asing dalam usia dini toh bukan jaminan 
mutlak keberhasilan berbahasa pada anak.





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Music that listens to you.
LAUNCHcast. What's in your mix?
http://us.click.yahoo.com/8mKGzA/FARHAA/kkyPAA/iPMolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida & Krisna

Jangan lupa untuk selalu menyimak Ida Krisna Show di 99.1 DeltaFM
Senin - Jumat, pukul 06.00 - 10.00 WIB
SMS di 0818-333582
=================================================================
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/idakrisnashow/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke