LATAH: Budaya Miskin Kreativitas
LATAH. Sebuah peniruan spontan yang dilakukan oleh seseorang
akibat terkejut. Dr RinRin Khaltarina mengungkapkan bahwa latah memiliki
dimensi gangguan fungsi pusat syaraf, psi-kologis, dan sosial. Ada empat macam
latah yang bisa dilihat berdasarkan gejala-gejala tersebut, yaitu ekolalia
(mengulangi perkataan orang lain), ekopraksia (meniru gerakan orang lain),
koprolalia (mengucapkan kata-kata yang dianggap tabu/kotor), automatic
obedience (melaksanakan perintah secara spontan pada saat terkejut).
Berdasarkan fakta yang ada, gangguan latah biasanya tumbuh dalam masyarakat
terbelakang yang menerapkan budaya otoriter. Hasil kajian yang dilakukan,
mereka bersependapat untuk mengkelaskan latah sebagai satu sindrom budaya masyarakat
setempat.
Terlepas dari sebuah popularitas ke-latah-an, sebuah dimensi lain dari latah
adalah sebuah peniruan terhadap aktivitas ataupun produk yang telah dilakukan
oleh pihak lain atau yang dalam bahasa keseharian di kalangan masyarakat Banjar
diungkapkan sebagai sulur (ikut-ikutan). Di dunia industri hiburan (terutama
televisi), latah telah berkembang menjadi unit produksi tersendiri, dimulai
dengan tema sinetron, bentuk acara (diantaranya program reality show), hingga
model-model pemberitaan. Sangat sukar sekali saat ini untuk menemukan ciri khas
sebuah stasiun televisi.
Di luar itu, ada sebuah sindrom latah yang sedang dialami oleh para pegiat
pelestari lingkungan (khususnya conservationist). Penggejalaan ini mulai tampak
sejak bendera reformasi dikibarkan. Dimulai dengan penggunaan kata
'partisipasi', 'demokratisasi', hingga 'multi-pihak'. Dalam setiap aktivitas
yang dilakukan, ketiga kata tersebut tak pernah lepas dari tampilan. Dalam hal
ini, tak akan ada yang disalahkan, bila saja pemahaman utuh atas ketiga kata
tersebut dapat diwujudkan. Hanya terkadang, kata-kata tersebut benar-benar tak
diwujudkan, sehingga hanya menjadi sebuah slogan.
Misalnya saja dalam sebuah aktivitas konsultasi publik. Kata 'partisipasi
masyarakat' selalu diungkapkan, demikian juga kata 'multi-pihak'. Namun dalam
kenyataannya keterwakilan pihak dalam aktivitas konsultasi publik sangat
diragukan. Akhirnya konsultasi publik menjadi sebuah ruang sempit pemaknaan
kata 'partisipasi' 'publik'.
Latah kedua adalah dengan semakin rajinnya pembentukan forum ataupun kelompok
kerja. Dalam catatan terakhir, tak kurang dari tujuh (7) forum ataupun kelompok
kerja yang telah terbentuk dari hasil workshop ataupun lokakarya di Kaltim.
Dalam setiap kali lokakarya ataupun workshop, sangat hina bila tidak berhasil
membentuk forum ataupun kelompok kerja. Akhirnya sangat dimaklumi bila kelompok
kerja hanya akan ada disaat lokakarya, setelah lokakarya berakhir, maka
berakhir pulalah kelompok kerjanya. Dan yang lebih beruntung, akan tetap berjalan
selama masih ada lembaga donor ataupun lembaga berlabel internasional yang
memberikan dukungan, baik fasilitas maupun pendanaan.
Latah ketiga di aktivitas pelestarian lingkungan hidup adalah pembentukan badan
pengelola untuk sebuah kawasan, baik untuk kawasan hutan maupun kawasan teluk.
Tak kurang dari dua badan pengelola hutan lindung dan satu badan pengelola
teluk yang telah dibentuk di Kaltim, dan akan lagi dibentuk beberapa badan
pengelola hutan lindung di berbagai wilayah di Kaltim. Tak ada proses bercermin
setelah lembaga ini dibentuk, yang menyebabkan badan ini seperti menjadi milik
'pemberi uang' saja, bukan menjadi badan 'multi-pihak' sebagaimana tujuan
pendirian badan pengelola tersebut.
Latah keempat adalah upaya untuk mewujudkan kabupaten konservasi, dengan sebuah
'promosi' mimpi yang sangat gencar, sehingga sebuah kabupaten sangat
berkeinginan untuk mewujudkannya. Kecenderungan yang dipromosikan adalah
kemungkinan untuk imbal jasa lingkungan, baik hilir-hulu maupun imbal jasa dari
perdagangan karbon yang hingga saat ini masih sangat 'miskin' harapan untuk
meraihnya, selain hanya akan diraih oleh lembaga 'broker' berlabel konservasi.
Latah kelima, yang juga berkaitan, adalah imbal jasa lingkungan. Yang sangat
intens di'promosi'kan adalah pedagangan karbon dan pertukaran antara utang dan
upaya perbaikan lingkungan hidup (debt swap for nature). Dalam berbagai
pengalaman di negara lain, masyarakat tak pernah memperoleh manfaat dari proses
yang dilakukan ini (lihat pengalaman Brazil dan Philipina). Yang akan
memperoleh keuntungan adalah lembaga 'broker' berlabel konservasi, dengan dalih
sebagai jasa yang mereka telah berikan.
Dari kelima latah yang telah terjadi saat ini, memang tidak pernah salah untuk
tetap dilakukan, sejauh pemahaman atas latah yang dilakukan telah disadari
dengan utuh, termasuk terhadap dampak yang akan ditimbulkan.
Ketika proses multi-pihak digulirkan di saat kondisi ketidakseimbangan
pengetahuan dan informasi yang dimiliki oleh masyarakat, telah menjadikan
sebuah proses multi-pihak menjadi proses yang pincang. Ruang komunikasi akan
dikuasai oleh pemilik alat kekuasaan, pemilik modal dan pemilik pengetahuan.
Posisi masyarakat cenderung sangat digunakan sebagai pemenuhan syarat semata.
Ketika forum dan kelompok kerja dibentuk, sebenarnya telah melemahkan tanggung
jawab pemerintah sebagai pelayan masyarakat. Kelembagaan pemerintah sedang
dihancurkan secara perlahan. Ditambah dengan dibangunnya badan pengelola sebuah
kawasan yang akhirnya hanya menjadi tempat penampungan dan alat legitimasi yang
menyumbat ruang aspirasi masyarakat.
Hal ini semakin diperparah dengan latahnya pegiat lingkungan (terutama yang
mengatakan dirinya conservationist) yang mengedepankan skema baru yang masih
sangat tidak jelas mewujudkannya, akhirnya menjadikan kata 'konservasi' seolah
kehilangan roh.
Dari kelatahan yang terjadi saat ini, sebenarnya tak lebih dari akibat
miskinnya kreativitas yang dimiliki, serta ditambah dengan tingginya budaya
otoriter, terutama akibat penguasaan oleh pemilik uang. Kecenderungan ini
sangat jelas terlihat disaat pemilik uang didorongkan untuk melakukan aktivitas
lain yang mungkin akan lebih bermakna dibanding sebuah lokakarya, akan
mengatakan bahwa ini adalah program yang telah disusun dan indikator keberhasilannya
adalah hal tersebut. Tak ada sebuah proses partisipasi didalamnya. Hasil sebuah
perencanaan strategis sangat bisa dibaca jauh hari sebelum proses tersebut
dilaksanakan. Ketika ada pendapat berbeda, dipandang sebagai pihak yang akan
menghancurkan.
Tak kurang dari lima belas (15) lembaga berlabel internasional beraktivitas di
Kaltim. Kesemuanya membawa kata 'partisipasi', 'demokrasi', 'multi-pihak' dan
beberapa menambahkan kata 'keberlanjutan'. Namun hingga hari ini, carut-marut
pengurusan sumberdaya alam di Kaltim belum terselesaikan. Telah begitu banyak
catatan sebuah pertemuan yang dibuat, yang hanya jadi pajangan di lemari
ataupun dibaca saat menulis makalah. Tak pernah ia menjadi sebuah dokumen
berharga yang dihasilkan dari sebuah kumpulan pemikiran yang warna-warni,
dengan tidak mungkin ada sebuah gagasan kreatif di dalamnya.
Sudah selayaknya diberikan cermin kepada para pihak yang beraktivitas di Kaltim
untuk melihat apakah saat ini rakyat semakin gemuk ataukah malah semakin kurus.
Dan pemerintah pun harus bercermin untuk melihat apakah benar hingga hari ini
masyarakat-lah yang ingin dikuatkan ataukah hanya sekelompok kalangan oportunis
yang semakin digemukkan atas begitu banyaknya aliran dana di Kaltim. Termasuk
sudah saatnya untuk melakukan re-inventarisasi kekayaan alam Kaltim dan
membangun sistem pengurusan kekayaan alam secara mandiri, tidak oleh para
investor yang jelas-jelas hingga hari ini hanya menguras habis kekayaan dan
tidak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat Kaltim.