Dimana Karakter Diri Kita?!

 

Cukup heran saya melihat sebuah pemandangan di depan mata saya pagi itu. Saya melihat seorang tuan rumah kira-kira seumuran saya berdiri di sisi dalam pagar rumahnya, sebuah pagar besi terali ornamen, setinggi kira-kira dua setengah meter. Sementara saat itu dia sebenarnya sedang asyik bercakap-cakap dengan seseorang yang berdiri di luar pagar yang tampaknya adalah tetangganya sendiri. Heran saya dibuatnya, karena menurut saya memang cukup aneh, seseorang bercakap-cakap akrab, satu di dalam pagar, satunya di luar pagar, bahkan pintu pagar pun terlihat masih tergembok rapat!

 

Hari itu adalah hari Minggu pagi kira-kira beberapa minggu yang lalu, dimana saat itu saya tengah mengajak anak saya untuk sekedar putar-putar mengendarai sepeda motor, mengitari kompleks perumahan tetangga yang berada tak jauh dari kompleks perumahan tempat saya tinggal. Perumahan itu memang agak beda dengan perumahan tempat saya tinggal, dimana kesan mewah dan individual jauh lebih terasa dibanding lingkungan sekitar rumah saya. Tapi

se-`individual-

individual'-nya perilaku orang-orang di kompleks tersebut, saya pikir tetaplah janggal potret kejadian yang saya lihat pagi itu.

 

Sejak kecil saya selalu diajarkan untuk selalu bersikap baik pada setiap orang. Sampai sekarang pun saya tetap melihat hal itu sebagai sebuah sikap etika mendasar yang seharusnya menjadi sikap semua orang di muka bumi ini. Bahkan ketika kita hidup di jaman sekarang pun, dimana kita hidup di jaman yang tidak mudah kita begitu saja percaya kepada setiap orang, tetap saya selalu berusaha untuk berprasangka baik kepada setiap orang yang saya temui, bahkan kepada orang yang belum saya kenal sekalipun. Paling tidak kepadanya tetap kita tebarkan senyum, dan menghormati dia sebagai sesama manusia, walaupun untuk kondisi tertentu tetap harus waspada dengan segala kemungkinan.

 

Tapi mungkin juga, potret yang saya lihat pada minggu pagi itu adalah potret sebuah hidup bertetangga yang saking akrabnya sehingga batas-batas etika tidak perlu dipikirkan. Sang tuan rumah tidak perlu mempersilahkan sang tetangga masuk, dan sang tetangga di luar pagar pun maklum adanya, karena dia mungkin juga akan bersikap sama bila ada tetangga yang sekedar berkunjung menyapa ke rumahnya, ..entahlah, mungkin juga..?!

 

Saya hanya khawatir, apa yang saya lihat di atas adalah salah satu indikasi akan ungkapan `Tujuh Dosa' yang pernah disampaikan oleh Mahatma Gandhi, yaitu salah satunya terdefinisi sebagai `Pengetahuan tanpa karakter'…. Dan itu sedang menjangkiti bangsa kita!

 

Melihat strata ekonomi kompleks perumahan yang saya lewati pagi itu, jelas para penghuninya adalah termasuk kelas ekonomi menengah ke atas. Artinya sangat dimungkinkan mereka adalah orang-orang berpendidikan. Walaupun ada ungkapan orang kaya belum tentu orang pintar, tapi paling tidak sebagian besar penghuni perumahan tersebut bisa jadi seorang pengusaha, para manager perusahaan, dokter mungkin, insinyur, atau dosen, pengacara. Dan semua predikat yang saya sebutkan tadi, pastilah orang-orang yang mengenyam pendidikan -sehingga memiliki pengetahuan-.

 

Hanya saja, seperti yang diungkapkan Gandhi, bahwa orang yang berpengetahuan bisa jadi sedikit –atau bahkan tidak- memiliki karakter. Sehingga dia menganggapnya menjadi dosa ketika ada orang yang berpengetahuan justru tidak memiliki karakter.

 

Dan salah satu pembeda antara orang yang memiliki karakter dan tidak adalah pada kemampuan orang yang secara jelas dapat `melihat' apa misi-nya hidup di dunia ini (seperti istilah `hasil akhir' dari sebuah tindakan yang pernah saya ungkapkan pada artikel sebelumnya), dan sadar apakah misi-nya tersebut sejalan dengan nilai-nilai universal sebagai hakekat hidup manusia di dunia ini.

 

Ada sebuah pengertian dimana sebuah tindakan atau penciptaan sebaiknyalah terjadi melalui dua tahap. Yang pertama adalah Mental Creation, yang arti sederhananya adalah sebuah rencana, dari sebuah rencana yang sederhana sekedar diangan-angan -seperti misal jalan mana yang harus ditempuh ketika akan pergi ke suatu kota-, sampai sebuah rencana kompleks yang harus dibantu dengan diwujudkan secara tertulis, gambar, model, prototype. Yang kedua disebut sebagai Phisical Creation, yaitu dengan melakukan apa yang sudah direncanakan. Dan salah satu langkah yang harus dilalui pada proses berencana (mental creation), adalah menerawang, mencoba mendefinisikan secara jelah `hasil akhir' yang seharusnya terjadi dari tindakan atau penciptaan yang akan dilakukan.

 

Secara `makro', yang terjadi secara kolektif pada bangsa kita bisa kita rasakan kondisi `perilaku' pengetahuan tanpa karakter ini. Begitu mengakarnya perilaku korupsi, sedikitnya kepekaan empati antar sesama manusia terutama pada saudara-saudara kita yang hidup di kota-kota besar, tingkat sopan-santun pengendara kendaraan di jalanan yang menurut saya cukup menyedihkan.

 

Sampai hal-hal `mikro', bila kita melihat sambil berkaca pada diri dan keluarga kita, seperti kemauan kita untuk selalu mempertanyakan misi kita alias `hasil akhir' yang kita inginkan pada setiap keputusan tindakan kita, kemauan kita untuk selalu belajar dan berubah dalam rangka perbaikan diri dan keluarga. Kemauan kita menjadi panutan bagi orang-orang disekitar kita terutama bagi anak-anak kita untuk menjadi contoh yang baik.

 

Kekhawatiran saya Minggu pagi itu terhadap apa yang saya lihat bisa jadi memang bukanlah apa-apa, sesuatu yang mungkin saya terlalu berlebihan dalam memikirkannya. Tapi dilain pihak, bisa jadi pemandangan tersebut adalah sebuah fenomena dimana seolah saat ini orang `hanya' menjalani hidup di dunia ini, bekerja, mencari uang, menghidupi keluarga, membesarkan anak, tanpa `penglihatan' yang cukup tajam terhadap apa `hasil akhir' yang ingin dicapai dari semua ini, yang dapat menuntun setiap langkah tindakan dan pengambilan keputusan yang memiliki nilai-nilai yang jelas dan konsisten.

 

Karena bagaimana pun juga masih sulit bagi saya menemukan nilai-nilai yang dapat diambil dari sebuah pemandangan tentang dua orang yang berbincang berakrab-akrab, sambil secara fisik keduanya dipisahkan oleh terali pagar besi menjulang!

 

Dan apa yang saya lihat tersebut membuat saya kembali berkaca kepada diri, dimana lagi terdapat `kejanggalan-kejanggalan' dalam kita memimpin diri dan orang-orang disekitar kita untuk menjalani hidup selalu menjadi lebih baik. `Kejanggalan' yang mungkin tanpa kita sadar ditengah rutinitas keseharian kita, terlalu sibuk untuk selalu menanyakan `Mission Statement' kita masing-masing, sehingga kita biarkan hal itu ada, tetap selalu kita lakukan, sehingga lama kelamaan tanpa sadar mem-faith a compli `kejanggalan'. Membiarkannya dan menganggapnya sehingga seolah bukan lagi menjadi sesuatu yang `janggal'.

 

Dan cermin yang saya lihat ternyata memperlihatkan begitu banyak perilaku `janggal' kita yang sudah menjadi hal yang biasa. Ketika lampu traffic-light kuning menjelang merah, di depan anak-anak kita justru kita memperlihatkan perilaku tancap gas, dan kita anggap itu sebagi hal biasa. Hanya karena kesalah-pahaman kecil dengan seseorang, secara sengaja kita justru seolah memperlihatkan ego kita dengan memperlihatkan perilaku marah di depan banyak orang. Bersikap semena-mena dengan pembantu rumah tangga kita di rumah. Ketika suatu saat kita sadar bahwa kita melakukan kesalahan terhadap anak kecil, begitu berat kata maaf itu diucapkan. Termasuk diantaranya menganggap biasa `menjamu' tetangga kita sendiri…diluar pagar!

 

Karakter memang tidak bisa dibangun dalam semalam, terlebih bagi diantara kita yang kurang begitu peka dan merasa bahwa dirinya sudah cukup memiliki karakter.

 

Kita bisa jadi mulai merasakan memiliki pengetahuan yang cukup sehingga bisa membuat hidup ini menjadi lebih mudah. Tapi tanpa ketajaman `penglihatan' kita akan `hasil akhir' yang ingin kita capai dari setiap sendi kehidupan kita sehingga menjadikan hidup lebih terarah, saya khawatir apa yang disindirkan Gandhi dengan manusia berpengetahuan tanpa karakter kita biarkan tumbuh pada setiap individu bangsa ini.

 

Nah, ketika anda melihat beberapa `kejanggalan' yang saya paparkan di atas, dan sependapat dengan saya bahwa hal itu memanglah sebuah `kejanggalan', apa yang masih kita tunggu untuk sekedar merenung `hasil akhir' apa yang ingin kita capai ? Sehingga generasi anak-anak kita cukup memiliki karakter untuk bisa melihat `kejanggalan' dalam kehidupannya adalah memang sebuah `kejanggalan'…

 

Sumber: Dimana Karakter Diri Kita…?! oleh Pitoyo Amrih

 



=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida & Krisna

Jangan lupa untuk selalu menyimak Ida Krisna Show di 99.1 DeltaFM
Senin - Jumat, pukul 06.00 - 10.00 WIB
SMS di 0818-333582
=================================================================




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke