Memperlakukan Modal Asing
Pelajaran dari Cina dan India

Oleh :
Mohamad Sohibul Iman
Pejabat Rektor Universitas Paramadina

Pertumbuhan ekonomi yang spektakuler dan tumpah ruahnya penanaman modal asing (foreign direct investment, FDI) ke Cina, pernah membuat kagum Wakil Rektor Universitas PBB di Tokyo, Ramesh Thakur. Thakur memandang Cina telah jauh melejit seolah tidak akan terkejar oleh India (The Japan Times, 27 Januari 2003). Namun, selang delapan bulan, Thakur meralat kekagumannya. Dia mengatakan terlalu cepat untuk membuat konklusi semacam itu (ibid, 8 September 2003).

Mulanya, Thakur lebih mendasarkan konklusinya pada melimpahnya FDI ke Cina, lebih dari 10 kali lipat yang masuk ke India. Baginya, itu pertanda Cina memiliki keunggulan dan optimisme yang jauh lebih baik dibanding India. Baru kemudian Thakur menyadari bahwa itu terburu-buru, terutama setelah membaca analisis Khanna dan Huang (keduanya dari Sloan School of Management, MIT) pada Foreign Policy edisi Juli-
Agustus 2003. Setelah menganalisis secara detail struktur FDI dan dinamika tingkat mikro keduanya, justru memberikan optimisme pada masa depan India dibanding Cina.

Indonesia, sejak pertengahan tahun 80-an, menerapkan kebijakan liberalisasi terhadap FDI. Bahkan kini makin gencar karena pemerintah berkepentingan menyerap pengangguran. Penting mengevaluasi secara kritis peran FDI tersebut bagi eberlanjutan industrialisasi kita. Tidak dapat dipungkiri banyak negara berkembang yang menerapkan suatu kebijakan karena meniru kesuksesan beberapa negara (demonstration effect) sambil mengabaikan kenyataan banyaknya yang gagal.

Penafsiran
Di era di mana batas-batas wilayah menjadi kurang bermakna bagi pergerakan manusia, barang, dan modal, maka pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dapat berpindah-pindah ke tempat yang memiliki keunggulan lokasi (L-advantage), terutama murahnya faktor produksi dan adanya berbagai insentif fiskal. Yang menjadi lokomotif adalah FDI yang umumnya perusahaan multinasional (MNC). MNC menjadi daya tarik karena membawa modal dan teknologi serta manajemen sekaligus, yang mana ketiganya sangat dibutuhkan terutama oleh negara berkembang.

MNC datang ke suatu negara bila keunggulan-keunggulannya tadi
(disebut Ownership and Internalization advantages) bersinergi dengan L-advantage negara berkembang. Diasumsikan akan terjadi simbiosis mutualisme di mana MNC mendapat manfaat dari eksploitasi L-advantage, dan negara berkembang dari tumpahan (spillover) OI-advantages.

Tidak heran ketika MNC melimpah datang ke suatu negara, seperti kasus Cina, sering ditafsirkan sebagai optimisme bagi masa depan perekonomian negara tersebut. Penafsiran semacam itu tentu saja tidak sepenuhnya salah. Tetapi kekaguman berlebihan dan menganggap FDI satu-satunya cara menuju kemajuan ekonomi tentu bermasalah.

Dibanding Cina yang lebih banyak mengundang MNC masuk ke negaranya, India justru menggunakan arm's length strategy. Dengan strategi ini, India tidak terlalu dominan mengundang masuk MNC ke negaranya, tapi menjadikannya mitra yang tetap berada di luar negeri bagi perusahaan lokal melalui skema OEM (Original Equipment Manufacture) atau ODM (Own Design Manufacture).

Strategi India memungkinkan sejak awal tumbuhnya perusahaan lokal yang kelak menjadi pemain global dengan merek sendiri (Own Brand Manufacture, OBM). Terlebih India memiliki SDM berkualitas tinggi, terutama di bidang software ada sekitar 350 ribu, sepuluh kali dari Cina yang hanya 30-35 ribu (tahun 2003). Sementara Cina, ketika L-advantage melemah, maka MNC akan hengkang. Bila itu terjadi di saat Cina belum mampu menumbuhkan perusahaan lokal yang tangguh, keberlanjutan prestasi ekonominya menjadi dipertanyakan.

Pilihan strategi
Hobday (2000) membuat analisis sistematis tentang perbedaan antara negara yang dikendalikan FDI (Singapura dan Malaysia) dengan yang memakai pola arm's length (Korea dan Taiwan). Korea dan Taiwan jelas menghasilkan perusahaan-perusahaan lokal berkelas internasional.
Bedanya, Korea memiliki banyak chaebol, sementara Taiwan didominasi perusahaan kecil dan menengah. Kini, siapapun tahu keduanya merupakan negara dengan fondasi ekonomi yang tangguh.

Di sisi lain, Singapure dan Malaysia --dilihat dari ekspor produk manufakturnya terutama yang berkandungan teknologi tinggi-- ternyata masih didominasi perusahaan asing. Bahkan Singapura menerapakan strategi lanjutan agar MNC tidak hengkang, bahkan merangsang MNC meningkatkan peran strategisnya dari sekadar manufacturing base menjadi business headquarter bagi Asia Tenggara, bahkan Asia dan dunia.

Selain insentif fiskal berupa kemudahan-kemudahan fasilitas dan pajak, Singapura terutama menyediakan insentif non-fiskal berupa penyediaan SDM berkualitas tinggi (dari shop floor sampai top management) dan pusat-pusat R&D spesialis (Mani, 2000). Tetapi kekhawatiran MNC akan hengkang tetap ada, karenanya Singapura mulai menumbuhkan wirausahawan dan perusahaan lokal.

Sementara Malaysia, saat ini masih dominan pada insentif fiskal. Ini dapat dimengerti, karena Malaysia relatif belakangan dibanding Singapura dalam menarik FDI. Strategi lanjutan Malaysia masih perlu pembuktian. India lebih mirip Korea dan Taiwan, sementara Cina mirip Singapure dan Malaysia. Angka-angka statistik, yang umumnya terkait kondisi makro ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, GDP, dan jumlah
FDI, menunjukan superioritas Cina dibanding India. Namun di tingkat mikro, justru India lebih dinamis dan efisien serta lebih mampu melahirkan perusahaan lokal berkelas internasional.

Dalam ranking perusahaan kecil terbaik dunia versi The Forbes 200, India mencatatkan 13 perusahaan, sementara Cina hanya empat (tahun 2002). Tumbuhnya perusahaan lokal berkelas global memberi harapan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi India. Sementara Cina yang saat ini masih belum setaraf Malaysia, apalagi Singapura, tentu masih harus ditunggu strategi lanjutannya.

Pelajaran
Meskipun tidak sebebas Singapura dan Malaysia, negara kita tergolong bebas terhadap FDI, terutama dibanding Korea dan Taiwan. Ada dua tonggak liberalisasi di Indonesia. Tonggak pertama, pada pertengahan tahun 80-an ketika pemerintah mengubah positive list investasi menjadi negative list yang makin memperluas sektor-sektor yang terbuka bagi FDI. Tonggak kedua, pada paruh pertama tahun 90-an ketika pemerintah mengizinkan kepemilikan 100 persen FDI.

Bersamaan dengan itu, pemerintah terus menggalakkan berbagai
kemudahan bagi FDI, khususnya melalui insentif fiskal. Dan saat ini, usaha itu makin gencar dilakukan mengingat kita butuh lapangan kerja baru untuk mengatasi meningkatnya pengangguran.

Di tengah makin terbukanya terhadap FDI, ternyata Indonesia tidak memiliki strategi yang baik dalam memanfaatkan FDI (Lall, 1998). Kita terus terjebak pada pemanfaatan FDI untuk kepentingan jangka pendek terutama menciptakan lapangan kerja. Sementara kepentingan jangka panjang berupa penumbuhan perusahaan lokal berkelas global melalui pemanfaatan tumpahan OI-advantages masih terabaikan.

Krisis ekonomi mengajarkan betapa ketika L-advantages Indonesia makin bersaing dengan negara lain seperti Cina dan Vietnam, hengkangnya FDI terus mengancam dan pemanfaatan FDI makin sulit dilakukan. Sudah selayaknya kita memikirkan strategi yang lebih jelas.

Pertama, tidak menjadikan FDI sebagai tumpuan utama proses
industrialisasi. Jadikan FDI sebagai pelengkap, sementara yang utama adalah melalui perusahaan lokal. Kedua, serius memikirkan pemanfaatan OI-advantages untuk meningkatkan kemampuan teknologi perusahaan lokal.

Ketiga, galakkan insentif non-fiskal seperti penyediaan SDM
berkualitas dan fasilitas R&D spesialis. Insentif non-fiskal ini juga sangat dibutuhkan untuk mencapai langkah kedua, sebab pemanfaatan OI-advantages mensyaratkan absorptive capacity yang memadai.

Kelompok Alumni & Civitas Academica ITS


Yahoo! Photos
Ring in the New Year with Photo Calendars. Add photos, events, holidays, whatever.

=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida & Krisna

Jangan lupa untuk selalu menyimak Ida Krisna Show di 99.1 DeltaFM
Senin - Jumat, pukul 06.00 - 10.00 WIB
SMS di 0818-333582
=================================================================




SPONSORED LINKS
Radio stations Fm radio Station


YAHOO! GROUPS LINKS




--- Begin Message --- Memperlakukan Modal Asing
Pelajaran dari Cina dan India

Oleh :
Mohamad Sohibul Iman
Pejabat Rektor Universitas Paramadina

Pertumbuhan ekonomi yang spektakuler dan tumpah ruahnya penanaman
modal asing (foreign direct investment, FDI) ke Cina, pernah membuat
kagum Wakil Rektor Universitas PBB di Tokyo, Ramesh Thakur. Thakur
memandang Cina telah jauh melejit seolah tidak akan terkejar oleh
India (The Japan Times, 27 Januari 2003). Namun, selang delapan
bulan, Thakur meralat kekagumannya. Dia mengatakan terlalu cepat
untuk membuat konklusi semacam itu (ibid, 8 September 2003).

Mulanya, Thakur lebih mendasarkan konklusinya pada melimpahnya FDI
ke Cina, lebih dari 10 kali lipat yang masuk ke India. Baginya, itu
pertanda Cina memiliki keunggulan dan optimisme yang jauh lebih baik
dibanding India. Baru kemudian Thakur menyadari bahwa itu terburu-
buru, terutama setelah membaca analisis Khanna dan Huang (keduanya
dari Sloan School of Management, MIT) pada Foreign Policy edisi Juli-
Agustus 2003. Setelah menganalisis secara detail struktur FDI dan
dinamika tingkat mikro keduanya, justru memberikan optimisme pada
masa depan India dibanding Cina.

Indonesia, sejak pertengahan tahun 80-an, menerapkan kebijakan
liberalisasi terhadap FDI. Bahkan kini makin gencar karena
pemerintah berkepentingan menyerap pengangguran. Penting
mengevaluasi secara kritis peran FDI tersebut bagi keberlanjutan
industrialisasi kita. Tidak dapat dipungkiri banyak negara
berkembang yang menerapkan suatu kebijakan karena meniru kesuksesan
beberapa negara (demonstration effect) sambil mengabaikan kenyataan
banyaknya yang gagal.

Penafsiran
Di era di mana batas-batas wilayah menjadi kurang bermakna bagi
pergerakan manusia, barang, dan modal, maka pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi dapat berpindah-pindah ke tempat yang memiliki keunggulan
lokasi (L-advantage), terutama murahnya faktor produksi dan adanya
berbagai insentif fiskal. Yang menjadi lokomotif adalah FDI yang
umumnya perusahaan multinasional (MNC). MNC menjadi daya tarik
karena membawa modal dan teknologi serta manajemen sekaligus, yang
mana ketiganya sangat dibutuhkan terutama oleh negara berkembang.

MNC datang ke suatu negara bila keunggulan-keunggulannya tadi
(disebut Ownership and Internalization advantages) bersinergi dengan
L-advantage negara berkembang. Diasumsikan akan terjadi simbiosis
mutualisme di mana MNC mendapat manfaat dari eksploitasi L-
advantage, dan negara berkembang dari tumpahan (spillover) OI-
advantages.

Tidak heran ketika MNC melimpah datang ke suatu negara, seperti
kasus Cina, sering ditafsirkan sebagai optimisme bagi masa depan
perekonomian negara tersebut. Penafsiran semacam itu tentu saja
tidak sepenuhnya salah. Tetapi kekaguman berlebihan dan menganggap
FDI satu-satunya cara menuju kemajuan ekonomi tentu bermasalah.

Dibanding Cina yang lebih banyak mengundang MNC masuk ke negaranya,
India justru menggunakan arm's length strategy. Dengan strategi ini,
India tidak terlalu dominan mengundang masuk MNC ke negaranya, tapi
menjadikannya mitra yang tetap berada di luar negeri bagi perusahaan
lokal melalui skema OEM (Original Equipment Manufacture) atau ODM
(Own Design Manufacture).

Strategi India memungkinkan sejak awal tumbuhnya perusahaan lokal
yang kelak menjadi pemain global dengan merek sendiri (Own Brand
Manufacture, OBM). Terlebih India memiliki SDM berkualitas tinggi,
terutama di bidang software ada sekitar 350 ribu, sepuluh kali dari
Cina yang hanya 30-35 ribu (tahun 2003). Sementara Cina, ketika L-
advantage melemah, maka MNC akan hengkang. Bila itu terjadi di saat
Cina belum mampu menumbuhkan perusahaan lokal yang tangguh,
keberlanjutan prestasi ekonominya menjadi dipertanyakan.

Pilihan strategi
Hobday (2000) membuat analisis sistematis tentang perbedaan antara
negara yang dikendalikan FDI (Singapura dan Malaysia) dengan yang
memakai pola arm's length (Korea dan Taiwan). Korea dan Taiwan jelas
menghasilkan perusahaan-perusahaan lokal berkelas internasional.
Bedanya, Korea memiliki banyak chaebol, sementara Taiwan didominasi
perusahaan kecil dan menengah. Kini, siapapun tahu keduanya
merupakan negara dengan fondasi ekonomi yang tangguh.

Di sisi lain, Singapure dan Malaysia --dilihat dari ekspor produk
manufakturnya terutama yang berkandungan teknologi tinggi-- ternyata
masih didominasi perusahaan asing. Bahkan Singapura menerapakan
strategi lanjutan agar MNC tidak hengkang, bahkan merangsang MNC
meningkatkan peran strategisnya dari sekadar manufacturing base
menjadi business headquarter bagi Asia Tenggara, bahkan Asia dan
dunia.

Selain insentif fiskal berupa kemudahan-kemudahan fasilitas dan
pajak, Singapura terutama menyediakan insentif non-fiskal berupa
penyediaan SDM berkualitas tinggi (dari shop floor sampai top
management) dan pusat-pusat R&D spesialis (Mani, 2000). Tetapi
kekhawatiran MNC akan hengkang tetap ada, karenanya Singapura mulai
menumbuhkan wirausahawan dan perusahaan lokal.

Sementara Malaysia, saat ini masih dominan pada insentif fiskal. Ini
dapat dimengerti, karena Malaysia relatif belakangan dibanding
Singapura dalam menarik FDI. Strategi lanjutan Malaysia masih perlu
pembuktian. India lebih mirip Korea dan Taiwan, sementara Cina mirip
Singapure dan Malaysia. Angka-angka statistik, yang umumnya terkait
kondisi makro ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, GDP, dan jumlah
FDI, menunjukan superioritas Cina dibanding India. Namun di tingkat
mikro, justru India lebih dinamis dan efisien serta lebih mampu
melahirkan perusahaan lokal berkelas internasional.

Dalam ranking perusahaan kecil terbaik dunia versi The Forbes 200,
India mencatatkan 13 perusahaan, sementara Cina hanya empat (tahun
2002). Tumbuhnya perusahaan lokal berkelas global memberi harapan
keberlanjutan pertumbuhan ekonomi India. Sementara Cina yang saat
ini masih belum setaraf Malaysia, apalagi Singapura, tentu masih
harus ditunggu strategi lanjutannya.

Pelajaran
Meskipun tidak sebebas Singapura dan Malaysia, negara kita tergolong
bebas terhadap FDI, terutama dibanding Korea dan Taiwan. Ada dua
tonggak liberalisasi di Indonesia. Tonggak pertama, pada pertengahan
tahun 80-an ketika pemerintah mengubah positive list investasi
menjadi negative list yang makin memperluas sektor-sektor yang
terbuka bagi FDI. Tonggak kedua, pada paruh pertama tahun 90-an
ketika pemerintah mengizinkan kepemilikan 100 persen FDI.

Bersamaan dengan itu, pemerintah terus menggalakkan berbagai
kemudahan bagi FDI, khususnya melalui insentif fiskal. Dan saat ini,
usaha itu makin gencar dilakukan mengingat kita butuh lapangan kerja
baru untuk mengatasi meningkatnya pengangguran.

Di tengah makin terbukanya terhadap FDI, ternyata Indonesia tidak
memiliki strategi yang baik dalam memanfaatkan FDI (Lall, 1998).
Kita terus terjebak pada pemanfaatan FDI untuk kepentingan jangka
pendek terutama menciptakan lapangan kerja. Sementara kepentingan
jangka panjang berupa penumbuhan perusahaan lokal berkelas global
melalui pemanfaatan tumpahan OI-advantages masih terabaikan.

Krisis ekonomi mengajarkan betapa ketika L-advantages Indonesia
makin bersaing dengan negara lain seperti Cina dan Vietnam,
hengkangnya FDI terus mengancam dan pemanfaatan FDI makin sulit
dilakukan. Sudah selayaknya kita memikirkan strategi yang lebih
jelas.

Pertama, tidak menjadikan FDI sebagai tumpuan utama proses
industrialisasi. Jadikan FDI sebagai pelengkap, sementara yang utama
adalah melalui perusahaan lokal. Kedua, serius memikirkan
pemanfaatan OI-advantages untuk meningkatkan kemampuan teknologi
perusahaan lokal.

Ketiga, galakkan insentif non-fiskal seperti penyediaan SDM
berkualitas dan fasilitas R&D spesialis. Insentif non-fiskal ini
juga sangat dibutuhkan untuk mencapai langkah kedua, sebab
pemanfaatan OI-advantages mensyaratkan absorptive capacity yang
memadai.





--- End Message ---

Kirim email ke