Hore! Ditemukan Pengganti Formalin
MULAI BAWANG PUTIH, CHITOSAN, SAMPAI ASAP CAIR

Bahaya formalin rupanya sudah banyak diantisipasi para ilmuwan. Para pakar ini sudah jauh hari menemukan cairan pengganti formalin. Yang pasti lebih aman untuk kesehatan. Sayang penemuan ini baru mengemuka setelah heboh formalin.

DR. NL. Ida Soeid, MS,
AIR KI BIKIN MI AWET

Merebaknya kasus formalin dan bahan pengawet pada berbagai makanan juga mengundang keprihatinan DR. NL. Ida Soeid, MS, dari jurusan kimia FMIPA Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya. Pakar biokimia gizi dan makanan yang baru saja menyelesaikan gelar doktornya dari Institut Pertanian Bogor (IPB) ini memberikan berbagai resep agar berbagai bahan makanan bisa lebih awet tanpa menggunakan fomalin.

Yang istimewa, bahan pengawet tersebut tak perlu dibeli di toko, tapi
cukup diambil dari bumbu dapur. "Sebagian bumbu yang ada di dapur kita itu bisa dimanfaatkan sebagai bahan pengawet yang higienis," kata Ida.

Dalam pandangan Ida, tak hanya produsen yang perlu dididik untuk mengawetkan makanan secara higienis. Masyarakat umum sebagai konsumen juga harus dibekali pengetahuan ini. "Kalau ibu-ibu tahu ada beberapa makanan yang tidak tahan lama, sebaiknya diawetkan sendiri. Jadi, tidak usah menunggu produsen atau penjual yang memberi bahan pengawet," tambah Ida.

Ida lalu memberi memberi resep cara mengawetkna beberapa makanan. Antara lain tahu putih dan kuning, mi basah dan ikan segar. Untuk tahu putih dan kuning, sebaiknya diawetkan dengan bawang putih. "Caranya, ambil beberapa siung bawang putih, kemudian digerus. Setelah lembut, kemudian diberi air dan disaring," jelas Ida.

Air dari bawang putih ini kemudian dituangkan ke dalam air yang dibuat untuk merendam tahu. Bawang putih yang mengandung anstiseptik itu mampu menjadikan tahu bertahan hingga dua hari. "Selain awet, tahu akan semakin sedap dengan rendaman bawang putih itu," ujar wanita yang hobi memasak itu.

Untuk tahu kuning, Ida menyarankan agar pewarnanya menggunakan air kunyit dan tidak menggunakan bahan pewarna kimia. "Kalau memang harus menggunakan pewarna kimia, sebaiknya memakai asam sitrat atau yang lebih dikenal dengan istilan sitrun. Dengan pemberian sitrun, selain menjadi kuning, tahu akan jadi tambah kenyal. Cuma harus terukur. Kalau kebanyakan bukan soal bahaya, tapi nanti tahunya malah jadi mahal," terang Ida.

Membuat pengawet sehat untuk ikan segar pun tidak begitu susah. "Nelayan pun tidak perlu menggunakan menggunakan formalin atau es batu berlebihan. Ada cara yang lebih murah dan sehat untuk mengawetkan ikan. Salah satu caranya, ikan hasil tangkapan tersebut direndam air yang dicampur dengan asam laktat."

Asam laktat itu tidak perlu dibeli di toko bahan kimia dengan harga mahal . Anda pun bisa membuatnya sendiri. "Bahan yang dibutuhkan
cukup sayur kubis yang dirajang halus, kemudian disimpan dalam wadah dan ditaburi garam dapur. Ukurannya, dalam 100 gram kubis ditaburi satu sendok makan garam," ujarnya.

Setelah didiamkan sekitar dua hari, di bawah kubis yang membusuk tadi terdapat cairan dari proses pembusukan. Cairan inilah yang disebut dengan asam laktat. Selanjutnya asam laktat ini dicampur dengan air yang akan digunakan untuk merendam ikan. "Dengan cara ini, ikan akan bisa tetap bertahan sampai 12 jam," jelas Ida seraya mengatakan, akan semakin baik lagi jika ikan diberi sedikit es batu. "Tidak usah banyak-banyak, hanya dipinggir-pionggir wadah ikan."

Kubis yang digunakan, menurut Ida, tidak perlu yang baik dan segar. "Cukup dengan sisa kubis yang berserakan di pasar, yang memang dibuang oleh penjual. Kalau kubis yang baik, tentu harganya akan jauh lebih mahal."

Tak ketinggalan, Ida juga memberikan resep pengawetan pada mi basah. Seperti resep sebelumnya, bahan yang digunakan ada di sekitar kita. Agar mi basah tahan lama, pada saat proses pembuatan adonan, sebaiknya tepung diberi air ki selain diberi air biasa. Air ki juga bisa dibuat sendiri."

"Caranya, jerami dibakar hingga jadi abu. Lalu abu jerami ini dimasukkan ke dalam wadah yang sudah diberi air dan rendam sekitar 1 sampai 2 jam. Selanjutnya saring sehingga sisa bakaran jerami tidak bercampur dengan air. Air sisa bakaran jerami inilah yang disebut denga air ki yang dijadikan campuran adonan mi."

Menurut Ida, air ki mengandung antiseptik yang dapat membunuh kuman. Dengan pemberian air ki, mi basah mampu bertahan sampai dua hari. 

Linawati Hardjito, PhD
CHITOSAN LEBIH AWET & AMAN

Dari IPB, formula pengganti formalin ini disebut chitosan. Seperti juga hasil temuan Bambang, penelitian untuk pengawetan ikan asin ini sudah dilakukan sejak tahun 1992/ Demikian dikatakan Linawati Hardjito, PhD, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.

"Hasil penelitian ini kami sosialisasi dan uji coba lapangan di Muara Angke tahun 2003. Jadi, dari dulu kita sebetulnya sudah melakukan sosialisasi dan teriak-teriak, tapi tidak ada yang membeli. Yang beli, paling untuk riset, belum komersial," ujar Linawati saat ditemui di lokasi pembuatan chitosan di kawasan Dadap, Tangerang.

IPB, lanjut Lina, sudah lama melakukan penelitian-penelitian bahan alam, khususnya untuk menggantikan produk yang berbahaya. "Jadi, bukan cuma formalin. Kita punya produk pengganti sianida untuk fishing, produk pengganti klorin untuk pencucian uang, dan sebegainya. Chitosan hanya salah satunya," ujar peraih Doktor Bioteknologi dari Queensland University, Australia.

Dari rumput laut, Linawati dan sejawatnya di IPB juga berhasil membuat produk pengganti boraks, yang sering digunakan sebagai pengenyal bakso. "Namanya karagenan. Tadinya juga bukan untuk bakso, tapi untuk saus, susu kental manis, dan es krim. Tapi, karena sekarang boraks mulai ramai, ya sudah, kita aplikasikan ke situ."

Hasilnya, ternyata sangat efektif dan murah. Hanya dibutuhkan ongkos sekitar Rp 1000-1500 per kilogram pembuatan bakso. "Bakso benar-benar kenyal, tapi safe, karena banyak kandungan mineralnya. Juga lebih sehat, karena dibuat dari rumput laut yang kaya kandungan serat."

Formalin sendiri, jelas Linawati, sebetulnya tidak boleh digunakan secara bebas. "Meski tidak menyebabkan kematian mendadak, justru bahayanya itu yang kumulatif. Di luar negeri, formalin sama sekali tak boleh digunakan untuk makanan. Formalin hanya digunakan untuk riset dan pengawet mayat (medis). Di Indonesia saja yang aneh-aneh."

MULTI FUNGSI
Linawati menjelaskan, chitosan dibuat dari limbah industri pengolahan udang dan rajungan. "Kita ambil kulit, kepala, dan ekor yang tidak terpakai." Bahan-bahan tadi kemudian dihilangkan mineralnya (de-mineralisasi) dengan cara dimasak pada PH asam. "Organisme laut itu, kan, kaya mineral. Setelah dihilangkan mineralnya, lalu dihilangkan proteinnya (de-proteinasi) dengan dimasak pada tempat yang sama pada PH basa (9-10). Hasilnya, diperoleh bahan yang disebut chitin."

Proses berikutnya (terakhir) adalah de-asetilasi. "Di dalam struktur chitin, terdapat gugus asetil. Gugus ini dibuang dan digantikan dengan gugus NH2, juga pada proses basa, tapi jauh lebih kuat dari basa pada proses penghilangan protein. Setelah de-asetilasi, jadilah chitosan dalam bentuk bubur. Bubur ini tinggal dicuci dan dikeringkan," kata sarjana Teknologi Industri Pertanian IPB ini.

Setelah itu, chitosan dikemas dalam bentuk cairan siap pakai. "Kalau dalam bentuk bubuk, takutnya dosisnya tidak terkontrol ketika berada di pengguna," kata Linawati seraya melanjutkan masih mencari harga yang sesuai. "Soalnya, chitosan ini punya kelebihan dan tingkat keamanan lebih dibandingkan formalin."

Untuk menghasilkan chitosan, dibutuhkan waktu pembuatan sekitar 3-4 jam. "Proses de-mineralisasi dan de-proteinasi masing-masing sejam. Sementara proses de-asetilasi tergantung kemurnian yang diinginkan. Semakin murni, tentu semakin lama. Persyaratan chitosan adalah gugus asetil yang terganti minimal harus 80 persen. Ini biasanya butuh waktu 1-2 jam," kata peraih Master untuk Teknik dan Manajemen Industri dari ITB tahun 1987.

Berapa jumlah chitosan yang dibutuhkan untuk pengawetan makanan? Prinsipnya, kata Linawati, konsentrasinya sekitar 1,5 persen. Artinya, dalam satu liter air, dibutuhkan chitosan sekitar 15 gram. "Air larutan chitosan ini masih bisa dipakai sampai habis."

Tentu saja ini beda dengan formalin. "Selama ini, tahu misalnya, harus terus direndam dalam formalin, karena dikhawatirkan pecah ketika pengangkutan. Nah, dengan chitosan, tak perlu terus direndam. Cukup dicelup (dip) selama 5-10 menit dalam larutan chitosan, lalu dipindah ke rendaman air biasa saat pengangkutan. Jadi, sisa air chitosan rendaman masih bisa dipakai. Ini kelebihan chitosan. Usia keawetannya sama dengan formalin."

Pemanfaatan chitosan sendiri ternyata banyak (multipel). "Padahal, tadinya tidak untuk pengawetan makanan. Tapi karena ada demand, kita diversi
fikasi produk. Kita gunakan juga untuk pengolahan limbah untuk penyerapan warna pada industri tekstil, juga untuk menyerap logam berat."

Karena memiliki gugus aktif yang akan berikatan dengan mikroba, maka chitosan juga mampu menghambat pertumbuhan mikroba. "Seperti halnya formalin." Fungsi lain adalah melapisi (coating). "Dengan adanya coating, kandungan bahan yang diawetkan tidak keluar. Kalau dilihat, tahu yang di-formalin dan tahu yang di-chitosan, khususnya tahu kuning, warnanya jauh lebih bagus yang di-chitosan, lebih natural," lanjut Linawati. Fungsi ketiga, chitosan punya pori-pori, sehingga berfungsi menyerap lemak (fat absorber). "Jadi, bisa untuk pelangsing."

Satu hal yang melegakan, chitosan sama sekali tidak berefek buruk. "Parameternya, konsentrasi dosis (little dosage concentration) chitosan untuk tikus adalah 16 gram per kg berat per hari. Kalau dikonversi ke manusia, tinggal dibagi 12. Sementara jumlah yang dikonsumsi (allowable daily intake) manusia jauh di bawah itu. Jadi, sangat-sangat aman," kata Linawati meyakinkan.

Dr AH Bambang Setiadji MSc, PHd
DIAKUI DI LUAR NEGERI

Sudah sejak 20 tahun lalu Dr. AH Bambang Setiadji MSc, PHd meneliti buah kelapa. Dari buah kelapa ini, dosen yang hidupnya sederhana ini memperoleh virgin natural yang menghasilkan minyak kelapa murni. Dari temuan ini, muncul produk-produk yang dikenal di pasaran seperti sabun natural, hand & body lotion, sabun christal, liguid soap, dan face oil.

Dari pencapaian Virgin Coconut Oil itu, menurut Bambang, masih banyak limbah dari buah kelapa yang terbuang. Jika tidak diproses secara baik, akan menjadi kendala tersendiri. Limbah yang disebut tempurung kelapa ini diteliti Bambang tahun 1992. Ia mempelajari ide pengasapan yang dilakukan orang kampung untuk mengawetkan makanan.

"Ada dua cara agar makanan awet. Pertama cara pengasapan. Cara ini sudah mentradisional di wilayah Indonesia, khususnya bagi mereka yang hidupnya di perkampungan. Kalau mereka ingin mengawetkan bawang merah, jagung, atau ikan dan lain sebagainya, biasanya di taruh di atas perapian tempat mereka memasak. Jadi yang digunakan untuk pengawetan itu, sebenarnya ya, asap,'' jelas Bambang.

Cara kedua adalah pembekuan dengan menggunakan balok es. "Ikan dan sejenisnya dapat tahan lama jika disimpan menggunakan batu es," lanjut bapak dua anak kelahiran 3 Mei 1947 ini ketika ditemui di rumahnya, kawasan Condong Catur, Yogyakarta.

Nah, saat meneliti Bambang berpikir, "Sekarang ini teknologinya harus diubah. Jadi, jangan menggunakan asap langsung untuk mengawetkan makanan. Sebab, kalau asap langsung, itu akan mengganggu lingkungan. Asap ini mesti dicairkan," tutur dosen Fakultas Kimia MIPA, Universitas Gadjah Mada ini.

EKSPOR KE KANADA
Gambaran teknisnya, sekitar 100 - 150 kg tempurung kelapa dimasukan ke tungku perolis (terbuat dari stainless) lantas di tutup rapat-rapat tanpa ada udara yang ke luar. "Lalu, dipanaskan dengan menggunakan model kompor bertekanan tinggi. Kira-kira setengah jam kemudian, dari dalam tungku tersebut akan keluar asap yang dialirkan lewat satu pipa" jelas Bambang.

Pada tahap pertama, asap tersebut, akan mengeluarkan zat, semacam ter, yang bermanfaat untuk pengawet kayu. Asap yang tak menetes dalam bentuk ter, disalurkan dalam suling pipa tersebut kemudian masuk ke kumparan. Dalam kumparan tersebut, sudah disediakan tungku ke dua dalam bentuk drum yang sudah diisi air.

"Otomatis uap asap yang mengalir tersebut mendingin dan menjadi cair, lalu disalurkan ke dalam tungku ke tiga. Karena uap cair ini masih belum bening dan juga masih mengandung zat berbahaya, dalam proses ini uap cair diuapkan lagi, istilahnya distilasi. Setelah melalui proses dua kali distilasi, uap cair itu akan menjadi bening warnanya. Tak keruh atau cokelat lagi. Itulah yang disebut uap asap atau liquid smoke," terang Bambang.

Menurut Bambang, dalam 100 g tempurung, akan menghasilkan 25 liter asap cair. Ongkos produksinya hanya sekitar Rp 50 ribu. Itu sebabnya, menurut Bambang, harga jual asal cair ini relatif murah yakni Rp 6 ribu per liter. Bambang pun sudah memproduksi temuannya. "Harganya baik di Yogya maupun di luar Jawa sama saja," ungkap Bambang seraya mengatakan tahun 1992 itu, temuannya sudah dikenal di kalangan terbatas.

Bambang mengungkapkan, temuannya ini tak berbahaya bagi kesehatan. Bahkan Oktober lalu, pengasapan cair karya Bambang ini sudah diakui kelayakannya di Kanada. "Ya, semacam BPOM nya di Indonesia. Dari sana, saya sudah mendapatkan sertifikat daftar sehat. Padahal, untuk mendapatkan daftar sehat itu jelas, persyaratanya ketat sekali. Kanada termasuk negara yang sangat teliti terhadap kesehatan untuk rakyatnya," ujar Bambang yang sudah mengirim 3 kontainer asap cair ke Kanada.

Sampai saat ini lanjut Bambang, "Mereka menggunakan asap cair ini untuk pengawetan. Tidak seperti negara kita yang menggunakan formalin. Padahal, jelas-jelas berbahaya untuk kesehatan."

Makanya Bambang mengaku trekejut ketika pihak terkait kembali mengeluarkan pernyataan bahwa formalin sangat berbahaya bagi kesehatan. "Padahal, isu itu sudah ada sejak dari dulu. Hilang-tumbuh-hilang tumbuh."

DIAJARKAN KE MASYARAKAT
Dikatakan Bambang, Senin (16/1) Menteri Kesehatan akan memberikan rekomendasi bahwa hasil penemuan ilmiahnya boleh dipakai dan digunakan oleh masyarakat luas. Sebelumnya, ia memang sudah menghadap Menteri Kesehatan dan Dirjen BPOM dalam kapasitasnya sebagai peneliti. "Saya sudah mempresentasikan hasil temuan itu di depan Menkes dan jajarannya," ungkap Bambang yang sudah mempatentan temuannya itu.

Untuk ke depan, ujar Bambang, ia tak ingin hasil temuannya itu tidak menjadi industri besar. Namun, ia memilih untuk diproduksi massal. Cara yang dilakukan adalah menyosialisasikan hasil temuannya ke pejabat daerah di seluruh Tanah Air. Dari sana, Pemda setempat menjadi mitra untuk membeli teknologi penyulingan asap tersebut dengan harga kisaran Rp 50 juta per buah.

Sebenarnya, bisa dengan cara lebih sederhana. "Bisa kok dengan drum saja untuk pembakaran tempurung kelapa. Kompornya menggunakan kompor yang biasa dipakai untuk bikin maratabak. Namun, tong atau drum itu mudah rusak, tak kuat menahan panas sekian derajat itu. Makanya alat ini menggunakan stainless yang memang dirancang untuk pengelolaan kelapa terpadu."

Bambang menyadari, dengan harga yang mahal, alat ini hanya bisa dibeli orang-orang tertentu. "Makanya kami menjalin kerja sama dengan Pemda. Nah, dengan cara ini sudah ada 12 provinsi yang menggunakan hasil temuan saya. Mulai Lombok, Lampung, Gorontali, hingga Bali. Prinsipnya, Pemda membeli alat ini untuk kesejahteraan petani."

Sekian tahun terjun langsung ke masyarakat, Bambang yang pernah menjadi anggota DPRD paham betul, betapa para petani kelapa hidupnya miskin. Padahal mereka memiliki ladang dan pohon kelapa. "Makanya ilmu yang saya tekuni ini saya ajarkan kepada masyarakat banyak.

Kalau ilmu ini diambil konglomerat, sudah pasti petani kelapa selamanya akan melarat terus."
Setiap provinsi yang telah menjalin kerjasama, tak dibiarkan kerja sendiri dalam mengelola kelapa terpadu. Kualitas kontrol tetap berada di tangan Bambang dan orang-orang yang telah dia percaya. "Yang meninjau langsung ke tempat-tempat tersebut adalah para sarjana muda yang punya interes tinggi terhadap keilmuan."

RASA TAK BERUBAH
Bambang juga menjelaskan penggunakan asap cair itu. Agar efisien, dalam satu liter asap cair itu diberikan air tiga liter. Jadi, air akan berjumlah empat liter. "Dari jumlah ini dapat digunakan untuk mengawetkan ikan bandeng atau sejenisnya sebanyak 1.000 ekor. Dalam waktu 25 hari tidak akan busuk. Bandeng tersebut masih fresh dan laik makan," jelasnya.

Untuk mi dan tahu, perbandingan asap cair dengan air, hanya 5 persen. "Artinya dalam setiap 5 liter asap cair, harus ditambahkan air 95 liter. Sedangkan untuk bakso, perbandingannya 10 persen saja," tegasnya.

Apakah mi atau bakso itu akan berubah warna setelah diberi asap cair itu? Bambang menjamin, warna dan rasa tidak akan berubah. Begitu pula dengan tahu. "Perubahan rasa itu kecil sekali. Rasanya relatif tak berubah."

Imbas dari merebaknya bahaya formalin, temuan Bambang jadi naik daun. Ia pun bak selebritis yang dicari wartawan untuk diwawancarai. Waktunya juga tersita untuk melayani pertemuan dan pertemuan dengan sejumlah pejabat daerah di beberapa provinsi.

Di sela-sela wawancara dengan NOVA di hari yang sudah larut malam itu, Bambang masih menerima banyak telepon dari berbagai media. Ia sendiri tak mengira hasil penemuannya itu akan boming tahun ini. "Alhamdulillah, saya diberikan satu mementum yang sangat bagus untuk promosi."

 

nova

 



=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida & Krisna

Jangan lupa untuk selalu menyimak Ida Krisna Show di 99.1 DeltaFM
Senin - Jumat, pukul 06.00 - 10.00 WIB
SMS di 0818-333582
=================================================================




SPONSORED LINKS
Radio stations Fm radio Station


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke