Karena aku Empu, maka aku Melawan! 
Oleh: Dewi Candraningrum Soekirno

Perempuan sebagai Empu. 
Identitas seseorang dapat ditilik dari jenis kelamin, ras, etnik,
bahasa, bangsa, agama, dan bahkan dari cara dia berpakaian. Identitas
bisa disimpulkan secara sederhana sebagai sebuah kumpulan sifat-sifat
yang menentukan bagaimana seseorang “ingin meng/di-identifikasi-kan”.
Identitas berasal dari bahasa Latin identitas kemudian diadopsi oleh
bahasa Perancis menjadi identité. Kata ini dipengaruhi oleh kata lain
dari Latin essentia, dari esse yang bermakna to be. Dipengaruhi juga
oleh bahasa Yunani, dari kata ousa, bentuk feminine dari kata to be.
Identitas atau Esensi atau das Sein atau menjadi. Menjadi Perempuan
adalah menjadi Empu bagi diri-nya sendiri. Konsep bahasa Melayu yang
diadopsi menjadi bahasa Indonesia ini bersifat lebih “member-Daya-kan”
apabila dibandingkan dengan penyebutan Wanita dari bahasa Jawa yang
lebih bersifat menjadikan wanita sebagai yang di-tata, di-atur,
di-obyek-kan. Tidak heran jika Damardjati Supadjar membuat sebuah parodi
antara Per-Empu-an dan Per-Empuk-an. Jadi jika pilihan para aktivis
perempuan Indonesia yang lebih suka menyebut asosiasinya dengan kata
Perempuan, merupakan bukti penegasan terhadap Empu. Dengan kata
Perempuan, mereka memilih untuk Ber-Daya. Di dalam negara demokrasi,
konsep ini telah menjadikan Perempuan sebagai Warga Negara yang memiliki
agensi secara utuh sebagai individu baik untuk menerima atau menolak
kebijakan yang nantinya akan merugikan Perempuan. 

Sejarah Perempuan Indonesia tidak terlepas dari sejarah agama yang ada
di Indonesia. Dari kelima agama besar di Indonesia (Hindu, Budha,
Katolik, Kristen, dan Islam), tidak ada satu pun dari mereka yang
berasal dan lahir di Indonesia. Sebagai sebuah entitas, identitas mereka
tidak murni. Konon Hindu Budha dibawa oleh orang India. Islam dibawa ke
Indonesia oleh pedagang Pasai India. Sedang Katolik dan Kristen oleh
Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Agama-agama tersebut hadir di
Indonesia melalui perjalanan ruang waktu dan tempat yang panjang,
kompleks, dan plural. Agama-agama tersebut telah mengalami proses
interpretasi kompleks sebelum menuju Indonesia. 

Mereka berjumpa satu sama lain. Dan perjumpaan itu menghadirkan
identitas agama yang tidak murni seperti dari asalnya. Dan ketika
teks-teks mereka berbicara “tentang” Perempuan, maka identitas Perempuan
yang hadir bukan makna lama atau makna murni. Tapi makna baru hasil dari
perjumpaan-perjumpaan itu. Perjumpaan ini semakin intensif dengan adanya
daya global. Dengan daya global ini, perjumpaan mereka menjadi lebih
kompleks. Ada yang kemudian takut dan menentang mati-matian dengan
menjadi sempit rasa nasionalisme dan interpretasi ke-agama-annya tanpa
mengindahkan proses perjumpaan-perjumpaan itu. Ada juga yang menerima
semuanya tanpa menyaring sesuai dengan identitas sebelumnya. Lalu
lahirlah oposisi biner antara yang konservatif dan liberal. Pertikaian
dua golongan ini dalam skala lebih besar telah melahirkan kontroversi.
Perdebatan yang tak kunjung habis. 

Menuju Dialog: Berangkat dari Identitas Hibrid Perempuan Indonesia
Nietzsche dalam Beyond Good and Evil dan On the Genealogy of Morals
memunculkan oposisi biner ini antara semangat baik dan jahat. Nietzsche
memakai terma demolition dan Heidegger dengan Destruktion dan Abbau.
Derrida kemudian meneruskan konsep itu dalam opus-nya, Of Grammatology,
konsep déconstruction. Dalam konsep ini dijelaskan bahwa oposisi biner
itu tidak terpisah satu sama lain, bahkan saling menjelaskan dan juga
bersifat relatif tergantung dimana dan kapan dia berada. 

Secara sederhana konsep ini adalah pembukaan terhadap teks, terhadap
makna plural, terhadap interpretasi multivocal, yang kemudian “oposisi
biner” itu akan ditemukan (antara baik/jahat, laki-laki/perempuan),
dengan menekankan bahwa entitas kedua esensi tersebut tidak-lah terpisah
tetapi cair/fluid. Seperti bahwa sesuatu disebut sebagai baik karena ada
sifat jahat dan seseorang disifat-kan sebagai perempuan karena ada
laki-laki. Bisa dibayangkan kalau bumi hanya dihuni perempuan, maka
tidak ada kata perempuan atau laki-laki. Konsep-konsep ini dapat
diterapkan pada entitas biner lain seperti air/api, kanan/kiri,
atas/bawah, barat/timur, liberal/konservatif, mayoritas/minoritas, dan
lain-lain. 

Konsep fluiditiy/ke-cair-an ini dapat menjadi titik tolak berbagai
kelompok yang saling bersiteru untuk saling ber-dialog. Konsep dialog
ini bukan pemaksaan satu esensi kepada esensi yang lain. Karena hal ini
hanya akan melahirkan kekerasan epistemik. Kekerasan epistemik ini dapat
dihilangkan apabila konsep différance, perbedaan, dapat dihayati.
Indonesia sebagai Bhineka Tunggal Ika adalah mengacu pada konsep
penemuan terhadap esensi yang berbeda tetapi tetap satu jua. Demikian
juga identitas perempuan Indonesia di-ejawantahkan. 

Konsep-konsep dasar itu kemudian dikembangkan oleh Gayatri Spivak dalam
essay-nya Can the Subaltern Speak? Dengan Subaltern-itas-nya yang
mengacu pada kelompok yang dianggap minor, marjinal, atau dianggap
bersifat negatif. Lebih jauh dia merujuk konsep Gramsci ini kepada
kelompok “yang tidak bisa bicara”. Rujukan ini juga didukung oleh Freire
sebagai the-silenced-group (kelompok yang di-diam-kan). Elaborasi lain
juga dilakukan oleh Homi Bhabha dengan konsep hybridity dan interstice
(dunia antara). Hibriditas berasal dari bahasa Latin hybrida, terma yang
mengacu pada percampuran-perkawinan dua esensi atau lebih. Konsep
hibriditas lahir dari perjumpaan antar ras, bangsa, dan agama dalam daya
global. Konsep ini melahirkan kesadaran multikultur, kesadaran
pluralisme, karena adanya kesadaran bahwa semangat pemurnian, semangat
esensialisme sendiri sudah tidak stabil dengan eksistensi hibriditas
sebuah entitas. Hibriditas adalah efek tidak terelakkan dari globalisasi
dimana bekas suatu budaya terdapat dalam budaya lain. Hibridisasi jilbab
a la Indonesia bisa dilihat dari perpaduan antara kerudung pendek (kalau
a la Arab panjang), kadang-kadang bercelana jeans (celana panjang adalah
pengaruh dari penolakan feminis Barat pada rok yang dianggap
memperlambat gerak mereka), jilbab warna-warni (kalau a la Arab atau
Pakistan bisa hanya hitam saja. Warna-warna ini adalah pengaruh dari
dunia mode global). Dengan melihat cara Perempuan Muslim Indonesia
berpakaian, dapat dilihat perjumpaan/pertemuan antara berbagai nilai.
Jilbab a la Indonesia adalah salah satu bentuk hibridisasi perjumpaan
nilai-nilai Indonesia, Islam, Barat, dan Global. Sebelum 1980 bahkan
banyak perempuan Islam Indonesia yang tidak memakai jilbab. Tetapi
apakah mereka yang tidak memakai jilbab dianggap sebagai tidak baik
menurut Islam? Ini adalah sebuah pertanyaan yang mengundang ribuan
jawaban bergantung dimana lokasi interpretasi berada. 

Aku melawan karena aku Empu
Spirit zaman, Zeitgeist, dunia global sekarang telah melahirkan semangat
baru, semangat semacam Demokrasi, Pengentasan Kemiskinan, Perlindungan
Lingkungan dan Keadilan Jender yang telah menjadi inspirasi bagi para
pembaharu sebelumnya. Jutaan tahun sebelumnya sebelum era ini lahir,
Budha, Yesus, Muhammad melawan dengan semangat kerakyatan, demokrasi,
pembebasan budak, pengangkatan harkat perempuan, pembelaan terhadap yang
miskin-papa. Dengan fakta itu, tentu saja tidak ada alasan untuk tidak
melawan bila terjadi peniadaan hak-hak perempuan. Tidak ada alasan untuk
tidak membela Perempuan. Perempuan yang menjadi Obyek dan korban baik
oleh praktek-praktek di dalam maupun di luar agama. 

Konsep-konsep dan praktek-praktek agama yang meniadakan suara perempuan
atau menjadikan perempuan hanya sebagai obyek adalah fakta pelanggaran
HAM. Fakta satu: penerapan hukum Sharia di Langsa Aceh telah menunjukkan
konsep ketidakadilan hukum. Mengambil korban seorang Perempuan di Langsa
karena kedapatan berjudi mendapat hukuman cambuk. Sedang Bandar judi-nya
tidak mendapatkan hukuman. Dalam proses eksekusi ini banyak rakyat Aceh
yang sangat kecewa karena sang Bandar judi tidak mendapatkan hukuman.
Dari fakta satu terlihat bahwa formulasi, ratifikasi, dan penerapan
Sharia telah didominasi oleh elit politik. Eksekusi ini telah mengambil
wajah dalam bentuk Perempuan. Elit-elit ini tentu saja tidak akan mau
memasukkan “hukum cambuk” untuk koruptor besar yang notabene lebih
banyak melahirkan kemiskinan dan menimbulkan kerusakan di bumi pertiwi. 

Fakta dua: penerapan Perda Tangerang telah mengambil beberapa korban.
Kesemuanya adalah Perempuan. Salah satunya seorang istri guru SD yang
miskin yang ditangkap dan dituduh sebagai pelacur padahal bukan. Mengapa
Perda Tangerang No. 8/2005 yang melarang pelacuran hanya mengambil
wajah-wajah kami sebagai korban kriminal? Kenapa tidak mencari para
broker penjual perempuan yang notabene telah melanggar HAM? Kenapa hanya
wajah kami, wajah perempuan, yang ditaruh di atas truk kemudian
dinistakan dan dipermalukan? 

Selain kedua fakta yang cukup tragis dan jelas-jelas melanggar HAM
tersebut, masih banyak fakta-fakta lain yang telah menjadikan banyak
perempuan berderet di ruang tunggu untuk di-eksekusi di depan RUU
Antipornografi dan Pornoaksi; Perda Tangerang No. 8/2005 Pelarangan
Pelacuran; dan Perda-Perda Sharia lain yang formulasi, ratifikasi, dan
penerapannya sebagian terbukti mengambil wajah perempuan sebagai korban.
Sementara penjahat HAM dan koruptor kelas kakap bebas berkeliaran. Elit
penguasa sendiri tampaknya kurang tertarik dengan korban-korban seperti
kami, Perempuan. 

Dalam UU No. 7 Tahun 1984 Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW
yang menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Ratifikasi
ini bersifat semu ketika dalam prakteknya justru produk-produk hukum
dibawahnya telah secara eksplisit mendiskreditkan tubuh perempuan.
Pasal-pasal dalam Perda Tangerang dan RUU AP & P telah menjadikan
perempuan sebagai “the real Subaltern”. Meminjam kalimat yang cukup
terkenal yang telah ditulis oleh Spivak “Can the Subaltern Speak?”
Dapatkah (kami, Perempuan, sebagai ) Subaltern, berbicara? Spivak di
akhir tulisan itu menyimpulkan, no, tidak. Karena kami, Perempuan, tidak
dilibatkan dalam formulasi, ratifikasi, dan penerapan RUU dan Perda itu.
Dalam RUU dan Perda itu, suara kami tidak ada. Di dalamnya, kami hanya
ditulis sebagai obyek. Didalamnya kami tidak mendapatkan hak kami
sebagai Warga Negara Indonesia yang memiliki individual-agency. Di
dalamnya kami berubah menjadi korban, dan bukan lagi WNI yang punya hak
bersuara, memilih, dan menolak. Di dalamnya terkandung sifat-sifat
elitis dan eksklusif dari kalangan tertentu yang telah dengan
semena-mena memaksakan interpretasi terhadap kami, Perempuan. Di
dalamnya hanya “sibuk” mencari-cari kesalahan kami, sebagai Perempuan .
Di dalamnya telah ada penggerusan dari dalam terhadap nilai-nilai
demokrasi. 

Berangkat dari fakta sebagai Perempuan di negeri Bhineka Tunggal Ika.
Berangkat dari kenyataan persinggungan daya global dan daya lokal.
Berangkat dari fakta bahwa RUU AP & P, Perda Tangerang No. 8/2005, dan
Penerapan Sharia di beberapa daerah yang secara sepihak tanpa melibatkan
partisipasi perempuan telah banyak mengambil korban perempuan. Berangkat
dari fakta bahwa produk-produk hukum itu telah gender-insensitive and
gender-injustice. “Maka aku melawan. Karena aku Per-Empu-an”. 

Dewi Candraningrum Soekirno adalah pengajar di UMS (Univ. Muhammadiyah
Surakarta) sedang menempuh studi doktoral di Univ. Muenster Jerman. 




[Non-text portions of this message have been removed]






------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Music that listens to you.
LAUNCHcast. What's in your mix?
http://us.click.yahoo.com/8mKGzA/FARHAA/kkyPAA/iPMolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida Arimurti

Jangan lupa simak IDA KRISNA SHOW SENIN HINGGA JUMAT di 99,1 DELTA FM
Jam 4 sore hingga 8 malam dan kirim sms di 0818 333 582.

=================================================================
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/idakrisnashow/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke