On 4/18/06, Ida arimurti <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> PESAN DI DALAM DIAM
>
> Tahun 2002 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor.
> Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu
> itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah.
>
> Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang
> duduk di kelas unggulan, justru tercatat sebagai anak yang
> bermasalah.Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala
> sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak
> tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar
> di kelas hanya untuk melamun. Prestasinya kian lama kian merosot.
>
> Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika "Apa yang kamu
> inginkan ?" Dika hanya menggeleng."Kamu ingin ibu bersikap seperti
> apa ?" tanya saya"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.Beberapa kali
> saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk mencari
> pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya
> kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.
>
> Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah
> untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan
> soal demi soal dalam hitungan menit.
>
> Beberapa saat kemudian, psikolog yang tampil bersahaja namun penuh
> keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya.
> Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (sangat cerdas)
> dimana skor untuk aspek-aspek kemapuan pemahaman ruang,
> abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan
> berkisar pada angka 140 - 160. Ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk
> kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (rata-rata cerdas).
>
> Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah
> yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut.
> Oleh sebab itu psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk
> mengantar
> Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi.
> Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian.
>
> Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti
> serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang
> dilakukan, setidaknya psikolog itu telah menarik benang merah yang
> menurutnya menjadi salah satu atau beberapa factor penghambat kemampuan
> verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika.
>
> Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya
> berkaca diri,
> melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.Ketika psikolog itu
> menuliskan
> pertanyaan "Aku ingin ibuku ...."Dika pun menjawab : "membiarkan aku
> bermain sesuka hatiku, sebentar saja"Dengan beberapa pertanyaan
> pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan
> kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu saya berpikir bahwa banyak
> ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa perlu
> menjawalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle,
> kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita,
> kapan waktunya main game di komputer dan sebagainya.
>
> Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika
> perlu
> menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu
> luangnya yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah
> dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar
> sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang
> begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana, diberi
> kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak- kanaknya.
>
> Ketika psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin
> Ayahku ..." Dikapun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun
> kira-kira artinya "Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia
> menuntutku melakukan sesuatu"Melalui beberapa pertanyaan pendalaman,
> terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi
> diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat
> ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang
> diperintahkan kepada Dika.
>
> Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat
> tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain,
> menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya
> dan tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu
> justru
> sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.
>
> Ketika psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ..."
> Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya" Dalam
> banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja
> keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya
> inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana.
>
> Hampir- hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya.
> Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak
> sebagai
> foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang
> dewasa dalam bentuk sachet kecil.
>
> Ketika psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak...."
> Dika pun menjawab "Tidak mempersalahkan aku di depan orang lain.
> Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah
> dosa.
> "Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap
> dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya
> untuk berbuat kesalahan.
>
> Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus
> diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk berbohong dan
> tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur.
>
> Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa
> yang
> telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami
> lakukan untuk mencegah atau menghentikannya.
>
> Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan
> untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya.
> Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa
> menjadi
> pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat
> kesalahan
> yang serupa.
>
> Ketika psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang....."
> Dika pun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja".
> Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan
> yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang
>
> menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan
>
> gurunya. Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah
> sesuatu yang penting untuk anak saya.
>
> Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu saya dingatkan bahwa
> kecerdasan
> tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan.
> Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan.
> Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang ....."
> Dika pun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang
> kesalahan-kesalahannya.
> Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak
> pernah
> berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf
> kepadaku".
>
> Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai manusia,
>
> orang tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana,
>
> yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau
> perlu
> meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua
> kepadanya.
> Ketika psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari...."
> Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar.
> "Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan
> memeluk adikku.
>
> "Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya
> sudah
> tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya
> salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan
> supaya hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari
> bahwa
> perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak- anaknya seringkali
> oleh anak-anak
> diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.
>
> Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap
> hari....."
> Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata
> "tersenyum"
> Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan
> senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya
> senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan
> wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-
> anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari
> ayahnya setiap hari.Ketika psikolog memberikan kertas yang
> bertuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku...."
>
> Dika pun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang
> bagus."
> Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama
> yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan.
>
> Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan
> Nang atau Le. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang" yang
> berarti laki-laki. Sedangkan Le dari kata "Tole", kependekan dari
> kata "Kontole" yang berarti alat kelamin laki-laki. Waktu itu saya
> merasa bahwa panggilan tersebut wajar-wajar saja, karena hal itu
> merupakan sesuatu yang lumrah di kalangan masyarakat Jawa.
>
> Ketika psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku
> memanggilku...." Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama
> Asli". Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan
> sebutan "Paijo" karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa
> Indonesia atau Bahasa Sunda dengan logat Jawa medok. "Persis Paijo,
> tukang sayur keliling" kata suami saya.Atas jawaban-jawaban Dika yang
> polos dan jujur itu, saya menjadi malu karena selama ini saya bekerja
> disebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan hak-hak anak.
>
> Kepada banyak orang saya kampanyekan pentingnya penghormatan hak-hak
> anak
> sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai
> saya bagikan poster bertuliskan "To Respect Child Rights is an
> Obligation, not a Choise" sebuah seruan yang mengingatkan bahwa
> "Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan".
>
> Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah
> memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat.Dalam
> diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah
> anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-
> kadang jengkel, ternyata ada banyak "Pesan yang tak terucapkan".
>
> Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak
> ada satupun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak
> memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para
> ayah (orang tua) tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-
> anaknya.
> Para ayah harus mendidik anaknya di dalam ajaran dan nasehat Tuhan.
>
> (Sumber: Ditulis oleh Lesminingtyas)
>
> Copyright @ 2004 SUARA MERDEKA (artikel di RESONANSI)
>
>
>
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>
>
>
>
>
>
> =================================================================
> "Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
> It has silent message saying that I remember you when I wake up.
> Wish you have a Great Day!" -- Ida Arimurti
>
> Jangan lupa simak IDA KRISNA SHOW SENIN HINGGA JUMAT di 99,1 DELTA FM
> Jam 4 sore hingga 8 malam dan kirim sms di 0818 333 582.
>
> =================================================================
>
> Yahoo! Groups Links
>
>
>
>
>
>
>


[Non-text portions of this message have been removed]





=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida Arimurti

Jangan lupa simak IDA KRISNA SHOW SENIN HINGGA JUMAT di 99,1 DELTA FM
Jam 4 sore hingga 8 malam dan kirim sms di 0818 333 582.

=================================================================




YAHOO! GROUPS LINKS




Reply via email to