Kolusi Dokter & Pabrik Obat (1)
  Ketika Pasien Jadi Lahan Subur
  Sirojul Muttaqien - detikcom
  
 
  Jakarta, Pada suatu saat, Tono (34) merasa dadanya sedikit sesak.
  Biasanya hanya dengan mengoleskan obat gosok ke dadanya, gejala tersebut hilang. Tetapi kali ini tidak, napasnya justru bertambah berat. Ayah dua anak ini juga mengaku cepat lelah jika beraktivitas dan mudah marah. Tidak mau ambil risiko, dia pun memeriksakan diri ke sebuah klinik jantung di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta.
 
  Dokter mengatakan, ada gejala penyumbatan pembuluh darah di jantung dan menyarankan agar Tono melakukan rawat inap. Selama dalam perawatan di RS tersebut, dirinya diberikan berbagai jenis obat. Lebih dari 6 jenis obat beraneka warna yang harus ditenggaknya setiap hari. Setelah seminggu dirawat, Tono akhirnya diperbolehkan pulang. Namun demikian, dia harus rutin memeriksakan diri setiap dua minggu sekali.
 
  Perintah dokter itu dijalankan oleh Tono dengan sungguh-sungguh. Setiap dua minggu sekali dia balik ke RS untuk memeriksakan kesehatan. Setiap kali kontrol, sang dokter selalu memberinya resep yang harus ditebusnya dengan harga ratusan ribu rupiah. Paling tidak setiap kali datang, sedikitnya dia harus merogoh Rp 500 ribu dari koceknya. Resep itu biasanya terdiri dari berbagai macam obat.
 
  Namun lama kelamaan Tono mulai bosan berobat. Selain mahal, dokter yang menanganinya juga sering bergonta-ganti obat. Misalnya pertemuan pertama untuk gejala pusing dia diberi obat A, tetapi pada pertemua selanjutnya untuk keluhan yang sama dia diberi obat B. Belum lagi dengan keluhan-keluhan lainnya. Semakin dia banyak mengeluh, semakin bermacam-macam obat yang diberikan.
 
  "Yang saya kesal, ada salah satu jenis obat yang diresepkan berulangkali.
  Padahal saya sudah mengatakan sering gatal-gatal sehabis mengkonsumsinya. Saya sempat tanyakan kepada teman yang mengerti farmasi, ternyata obat itu hanya suplemen belaka. Padahal harganya cukup lumayan, sekitar Rp 200 ribu per-botolnya," ujar Tono.
 
  Melinda juga memiliki pengalaman serupa. Suatu hari ibu muda ini harus masuk ke RS karena sudah seminggu, setiap pulang kerja, kepalanya terasa pusing. Dokter di RS tempatnya dirawat awalnya mendiagnosis Melinda terkena demam berdarah. Dokter kemudian memberi Melinda antibiotik. Tapi setelah diberikan obat keadaan Melinda justru lebih buruk. Dia merasa mual, diare, pendarahan dalam, mimisan, dan sakit kepala. Setiap pukul 11 malam Melinda mengaku tubuhnya selalu menggigil.
 
  "Saya juga merasa aneh, setiap ngeluh sakit kepala saya dikasih obat sakit kepala, ngeluh mual dikasih obat maag padahal saya ngga maag. Sampai empat macam lagi obat maagnya. Untuk pendarahan saya disuntik vitamin K, dan jika badan saya panas juga langsung disuntik, kan aneh. Selama seminggu dirawat saya habis Rp 10 juta," kata Melinda saat berbincang-bincang dengan detikcom di lounge Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Sabtu (22/4/2006).
 
  Walhasil, hampir setiap hari selama seminggu bermacam-macam obat masuk ke dalam perut Melinda. Kondisi itu baru berakhir setelah Melinda dijenguk oleh dokter pribadi keluarganya. Melihat kondisi Melinda, dokter keluarga itu marah. Berbagai macam obat yang diberikan dokter sebelumnya dibuang ke lantai begitu saja. Padahal obat-obatan itu dibeli Melinda dengan harga yang mahal.
 
  "Dokter keluarga saya itu bilang, semua obat yang saya konsumsi itu salah.
  Akhirnya saya hanya diberi satu jenis obat antibiotik untuk lima hari dan disuruh banyak makan daging," ungkap Melinda.
 
  Jika benar, dua pengalaman mengenai pelayanan kesehatan yang disampaikan oleh Tono dan Melinda di atas sungguh memprihatinkan. Di Indonesia pasien memang sering bersikap pasif dan menerima begitu saja resep yang diberikan seorang dokter. Padahal kenyataanya, tidak semua obat yang diberikan berkhasiat langsung dengan penyakit yang dideritanya. Bisa jadi, sebagian besar dari obat-obat itu tersebut hanya berupa suplemen atau vitamin saja.
 
  Pasien juga kerap 'dijejali' obat-obatan mahal, padahal untuk jenis penyakit yang sama ada obat yang lebih murah. Dokter lebih melihat merek dari pada khasiat obat tersebut terhadap diri pasien. Kalau sudah begini, obat tidak hanya terasa pahit di mulut tetapi juga di kantong pasien.
 
  Tidak ada asap kalau tidak ada api. Begitu juga dengan perbuatan oknum-oknum dokter tersebut. Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), dr Marius Widjajarta mengatakan, perbuatan itu dilakukan untuk mengejar keuntungan materi. Ada 'hubungan terlarang' yang dilakukan banyak dokter dengan sejumlah perusahaan farmasi.
 
  Modus operandi yang biasa terjadi adalah, perusahaan farmasi melalui tenaga medical refresentatif mendekati sejumlah dokter. Sasaran utamanya adalah para dokter dengan pasien yang cukup banyak. Mereka menjanjikan prosentase keuntungan penjualan suatu produk obat yang menggiurkan kepada para dokter.
  Tidak sedikit dokter-dokter yang kemudian tergoda dan mewujudkan kesepakatannya pada lembaran-lembaran resep yang diberikan kepada pasien.
 
  Seorang dokter bisa saja membuat kesepakatan dengan banyak perusahaan farmasi. Jika itu yang terjadi bakal semakin banyak deretan nama obat yang ditulis dalam resepnya. Gawatnya, praktik patgulipat macam ini ternyata sudah berlangsung cukup lama. "Hanya saja sekarang ini semakin menggila," tukas Marius.
 
  Guru Besar Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Iwan Darmansjah mengatakan, perselingkuhan antara dokter dan perusahaan pasien menimbulkan banyak kerugian kepada pasien. Pertama, membuat para dokter menjejali pasiennya dengan banyak obat. Kedua, harga obat sendiri menjadi mahal. Hal ini disebabkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan pabrik obat dalam memberikan kompensasi kepada pihak lain (dokter).
 
  Sebagai contoh Iwan menyebutkan obat antibiotik jenis amoxcillin. Harga obat ini sebenarnya hanya sekitar Rp 300 sampai Rp 400. Namun kenyataannya obat dijual ke pasien dengan harga Rp 2.800. Dengan produksi sebanyak 800 juta butir per tahun, keuntungan yang diperoleh pabrik obat bisa mencapai Rp 2 triliun.
 
  "Keuntungan itu sebagian besar digunakan untuk memberikan kompensasi kepada pihak lain. Memang ini politik dagang, tapi kalau diterapkan pada perdagangan obat, saya menolak. Ini tidak boleh. Hancur...! Banyak dokter melakukan hal ini," ungkap Iwan dengan nada tinggi. Astaga!
  
  =========================================================================================================
  24/04/2006 11:50
  Kolusi Dokter & Pabrik Obat (2)
  Upeti-upeti di Balik Resep
  Sirojul Muttaqien - detikcom
  
 
  Jakarta, Banyak perusahaan farmasi berlomba memberikan upeti kepada para dokter untuk mendongkrak penjualan produk mereka. Baik berupa uang, barang, paket liburan, hingga sponsor perjalanan ke luar negeri.
 
  Pena di tangan seorang dokter memiliki kedudukan tersendiri bagi perusahaan farmasi atau pabrik obat. Sebab, lewat pena itu pula tangan sang dokter akan mengguratkan jenis atau merek obat pada resep yang akan diberikan kepada pasien. Semakin banyak nama obat dari suatu pabrik ditulis, berarti semakin besar pula rupiah diraih pabrik tersebut. Karena itu, bagi perusahaan farmasi, menjalin hubungan baik dengan dokter adalah sebuah keharusan.
 
  Tidak mudah bagi perusahaan farmasi untuk membina hubungan baik dengan seorang dokter. Pasalnya selain kesibukan sang dokter, persaingan di dunia farmasi juga cukup ketat. Jadi selain harus bertindak cermat dan cepat, sebuah perusahaan farmasi juga harus punya jurus jitu untuk mengikat hati si dokter.
  Salah satu jurus jitu itu adalah menjanjikan upeti yang menggiurkan bagi sang dokter jika mau bekerja sama.
 
  Bertindak sebagai ujung tombang gerakan pedekate kepada dokter-dokter adalah mereka yang biasa disebut detailman atau medical refresentatif (medref).
  Tentunya tidak semua dokter yang ada di negeri ini menjadi sasaran orang-orang dari perusahaan farmasi. Biasanya target utama mereka adalah dokter-dokter yang memiliki jumlah pasien cukup banyak.
 
  Siang malam para medref ini siap menjalankan tugasnya. Mereka rela menunggu berjam-jam di depan ruang praktik, hanya sekadar bisa bertemu dengan seorang dokter. Jika anda tidak percaya, tengok saja tempat-tempat praktik dokter baik di klinik kesehatan atau di Rumah Sakit (RS). Mereka mudah dibedakan dengan pasien karena penampilan mereka yang selalu rapi. Untuk RS, mereka sering duduk berkelompok dengan sesama medref.
 
  "Mendekati dokter itu susah-susah gampang, sebab ada dokter yang gampang diminta waktunya ada juga yang jaim (jaga image). Dan setiap medref yang sudah lama, biasanya sudah memiliki data tentang dokter mana saja yang harus didatangi," kata seorang medref yang enggan disebutkan namanya kepada detikcom.
 
  Seorang medref harus ulet dan tidak mudah kenal putus asa. Dia juga harus memilki banyak akal untuk meluluhkan hati seorang dokter. Misalnya mendatangi seorang dokter hingga ratusan kali agar bisa berkenalan. Agar namanya diingat banyak hal yang bisa dilakukan seorang medref, misalnya mengirimkan makanan kesukaan sang dokter. Bisa juga mengirimkan bunga jika si dokter atau keluarganya ada yang berulang tahun. Karena itu seorang medref dituntut juga menggali sebanyak mungkin informasi yang berhubungan dengan target.
 
  Jika perlu, dia juga harus siap melaksanakan perintah seorang dokter yang sama sekali tidak ada hubunganya dengan profesi medref. Contohnya mengantar anak atau anggota keluarga dokter yang lainnya ke sekolah dan tempat-tempat lainnya. "Pokoknya yang penting kita bisa menjalin hubungan baik dulu,"
  tuturnya.
 
  Setelah hubungan baik tercipta, barulah jurus-jurus pemikat lainnya dilancarkan. Salah satu yang paling ampuh adalah menawarkan kompensasi yang cukup menarik. Kompensasi itu bisa berupa uang, seperti prosentase dari jumlah obat yang diresepkan oleh dokter tersebut. Bisa juga berupa pembelian barang, paket liburan atau perjalanan ke luar negeri untuk menghadiri berbagai seminar. Semakin banyak dokter tersebut meresepkan, semakin besar kompensasi yang diterima. Jika harga cocok, biasanya kedua pihak membuat kesepakatan kerja yang lamanya bisa mencapai 5 tahun.
 
  Pendiri LBH Kesehatan Iskandar Sitorus membenarkan adanya praktik persekongkolan antara dokter dan perusahaan farmasi. Menurut Iskandar, cara-cara tersebut sangat tidak etis dan tidak bisa dibenarkan. Pasalnya, persekongkolan itu membuat para dokter lebih memperhatikan target pejualan dari pada khasiat suatu obat. "Paktik-praktik kongkalikong seperti ini juga membuat harga obat tinggi bahkan tertinggi di dunia," kata Iskandar.
 
  Guru Besar Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Iwan Darmansjah juga mengatakan hal yang sama. Bahkan, kata Iwan, dirinya juga pernah menjadi target pada medref sejumlah perusahaan farmasi itu. "Aku juga pernah digituin sama detailman yang ngga kenal sama aku. Aku ditawarin 15 persen, aku bilang nanti dulu, segitu ngga cukup. Aku minta 25 persen eh dia ngga ngasih. Akhirnya dia tahu siapa saya...saya ngga bisa di beli..he...he..," ungkap Iwan dalam perbincangan dengan detikcom di lounge Hotel Dharmawangsa, Sabtu (22/4/2006).
 
  Iwan menambahkan, praktik persekongkolan ini sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu dan sangat sulit dihapus. Pasalnya selain melibatkan dokter dan perusahaan farmasi, kegiatan tersebut juga melibatkan banyak instansi lainnya.
  Iwan sendiri seolah bingung harus berbuat apa lagi. Sudah 30 tahun dia berjuang namun masih belum berhasil mengatasinya. Hal yang paling disesalkannya adalah praktik ini jelas-jelas menambah penderitaan pasien, tidak hanya fisik tapi juga materi.
 
  "Di Australia, sekali berobat itu paling mendapat satu resep atau maksimal satu setengah resep. Lha di sini bisa empat resep yang jika ditebus itu sekitar 12 sampai 15 jenis obat. Coba obat apa saja itu? Itu sudah tidak bener. Kita harus terus teriak, kasih tahu semua orang," kata Iwan.
 
  Di sisi lain, isu ini ditanggapi dingin oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
  Menurut Wakil Ketua Umum IDI, Fachmi Idris, semua ini baru praduga saja.
  Menurutnya, para dokter bekerja berdasarkan profesionalitas. Dokter mempunyai otonomi dalam keputusan memberikan obat kepada pasien. Demikian pula penggunaan obat bermerk atau generik, tergantung pertimbangan dokter sebab dokterlah yang tahu persis penyakit pasien.
 
  "Praktek kedokteran berdasarkan upaya untuk menyembuhkan, tidak menjanjikan hasil. Nah upaya itu diukur oleh dokter baik atau tidak. Kalau dipandang baik bagi pasien, tentunya dokter kan yang mengenal kondisi si pasien," ungkap Fachmi kepada detikcom.
 
  Namun demikian, sambung Fachmi, IDI tetap membuka diri dan mengharapkan masukan dari masyarakat mengenai masalah ini. Masyarakat diharapkan tidak segan melaporkan kepada IDI jika menemukan bukti-bukti praktik persekongkolan jahat antara dokter dan perusahaan farmasi. "Kalau ada buktinya silakan kirim ke kami, kami akan sangat berterima kasih. Silakan cari buktinya, cari surat kontraknya, kalau memang tidak ada berarti itu cuma rumor saja," tantang Fachmi.
  ===========================================================================
  
  24/04/2006 12:41
  Kolusi Dokter & Pabrik Obat (3)
  Saatnya Pasien Lebih Cerdas
  Sirojul Muttaqien - detikcom
 
  
  Jakarta, Tidak mudah membuktikan persekongkolan antara dokter dan perusahaan farmasi. Agar tidak selalu dirugikan, seorang pasien seharus bisa bersikap kritis.
 
  Bertempat di lounge Hotel Dharmawangsa, Jl. Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Sabtu (22/4/2006) sekitar pukul 15.00 WIB, beberapa orang nampak terlibat obrolan santai. Sesekali obrolan itu diselingi suara tawa orang-orang tersebut. Meski dalam suasana santai, namun bukan berarti masalah yang mereka bicarakan tidak ada artinya. Bahan pembicaraan mereka adalah masalah-masalah kesehatan.
 
  Ya, mereka adalah orang-orang yang peduli akan masalah-masalah kesehatan yang tergabung dalam komunitas Health Talk. Berbagai topik, khususnya mengenai praktik dokter dan industri kesehatan, di bahas secara bergantian. Hari itu mereka membahas mengenai masalah medical check up.
 
  "Forum ini untuk mendidik masyarakat konsumen kesehatan agar lebih cerdas,"
  kata Guru Besar Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Iwan Darmansjah kepada detikcom di tempat tersebut. Iwan memang selalu menghadiri pertemuan forum Health Talk sebagai nara sumber.
 
  Masyarakat konsumen kesehatan Indonesia selama ini memang lebih banyak bersikap pasif. Selain pengetahuan yang minim, mereka juga tidak paham betul akan hak-hak mereka sebagai konsumen kesehatan. Ambil contoh, jarang pasien mau bertanya kepada dokter mengenai obat yang diberikan kepada mereka. Padahal sering kali mereka diberikan obat yang cukup banyak tetapi kurang bermanfaat.
 
  Melinda, salah satu anggota Health Talk mengatakan, dirinya pernah menderita karena terlalu banyak mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan dokter saat di rawat di RS. Saat berkonsultasi dengan dokter keluarganya, ternyata obat-obatan tersebut tidak bermanfaat. Meski ditebus dengan harga yang cukup mahal, akhirnya obat-obatan itu dibuang begitu saja.
 
  Hal yang sama juga dialami oleh Andri (30), anggota Health Talk lainnya.
  Sebelum menjadi anggota forum ini, dirinya selalu pasrah dengan keputusan dokter dalam memberikan obat. Padahal sikap pasif tersebut sangat merugikan dirinya sendiri sebagai pasien.
 
  Iwan Darmansjah menegaskan, kini saatnya semua pasien diberikan pendidikan mengenai haknya sebagai konsumen kesehatan. Hal ini penting agar mereka tidak pasrah terus menerus menjadi korban industri kesehatan. "Nah karena kita sudah tidak bisa mendidik dokternya lagi, dokter sudah keblinger, saya rasa tidak ada jalan lain kecuali pasiennya yang dibikin pinter. Jika dokter dihadapkan sama pasien yang pinter, kewalahan dia," ungkap Iwan.
 
  Pernyataan Iwan ini terkait dengan munculnya fenomena 'hubungan akrab'
  antara dokter dengan perusahaan farmasi. Para dokter itu tergiring menggunakan obat tertentu dari sebuah perusahaan farmasi karena diiming-imingi berbagai kompensasi. Semakin banyak dokter meresepkan obat tersebut untuk pasien, semakin besar kompensasi yang diterimanya. Akibatnya dokter kini melihat pasien tidak sekadar sebagai pihak yang patut diberikan bantuan, tetapi juga sebagai lahan yang harus dijaga kesuburannya.
 
  Anggota Gerakan Nasional Keselamatan Pasien (GNKP), Sissy Khaliq, mengamini pendapat Iwan. Selama ini pasien lebih banyak bersikap nrimo. Tidak hanya dalam hal pemberian obat, untuk tindakan medis seperti operasi pun, keluarga pasien juga lebih sering pasif. Kalau pun bertanya kepada suster, selalu mendapat jawaban yang tidak memuaskan. "Saya juga ada pengalaman buruk dengan rumah sakit. Paman saya sudah tiga hari dirawat masih saja diobservasi tidak ada tindakan," kata Sissy kepada detikcom.
 
  Ke depan, sikap seperti itu tidak boleh ada lagi. Seorang pasien harus berani bersikap kritis atau menanyakan segala sesuatu yang belum jelas. Sikap kritis, kata Sissy, akan menghidarkan pasien dari berbagai tindakan yang merugikan dirinya dari pihak RS.
 
  "Harusnya bawel. Tanyakan ke dokter ini obat apa? Khasiatnya apa? Minta saja obat yang generik toh khasiatnya sama, kualitasnya sama, hanya beda kemasan dan merknya saja. Jika masyarakat meminta obat generik, pasti dikasih kok.
  Kalau tidak minta, ya dokter akan cari 1001 alasan untuk memberikan beragam macam obat yang bermerk," ungkap Sissy.
  

           
---------------------------------
Blab-away for as little as 1ยข/min. Make  PC-to-Phone Calls using Yahoo! Messenger with Voice.

[Non-text portions of this message have been removed]





=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida Arimurti

Jangan lupa simak IDA KRISNA SHOW SENIN HINGGA JUMAT di 99,1 DELTA FM
Jam 4 sore hingga 8 malam dan kirim sms di 0818 333 582.

=================================================================




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke