Catatan Saat-saat Terakhir Pramoedya Ananta Toer: Menjelang Berakhirnya
Pasar Malam

  by Zenrs

  Semalaman, dari jam setengah 10 malam sampai Minggu pagi, saya berada
di kediaman Pram di Utan Kayu. Bersama sejumlah teman, saya mengalami
langsung, menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana Pramoedya
meregang nyawa, melawan maut, dan kemudian menyerah.
  Mengingat kembali proses-proses itu, saya seperti sedang membaca
kembali Bukan Pasar Malam.
  ****
  Saya datang ke rumah Pramoedya sekitar pukul 22.30, Sabtu malam,
bersama Ella Devianti, gadis cantik yang baru saja menelurkan novel
pertamanya, Paradoks Maggy. Sesampainya di sana, saya langsung disuruh
masuk ke halaman rumah Pram. Saya lihat masih banyak orang di sana. Ada
beberapa reporter televisi sedang menenteng kamera. Yang saya lihat
secara jelas hanya reporter SCTV.

  Rumah Pram 2 meter di atas jalan, dan memasuki halamannya berarti kita
mesti menaiki jalan masuk yang menanjak. Di sana saya belum melihat satu
pun orang yang ku kenal. Saya duduk sesaat di tanjakan halaman rumah,
persis di sebelah seorang lelaki paruh baya yang duduk tercenung.

  Saya beranikan diri bertanya: "Bagaimana kabar si Bung?"

  "Saya tak tahu persis. Katanya malah sudah meninggal," jawabnya
pendek. Ia langsung menunduk begitu usai menjawab.

  Saya terhenyak. Saya tak percaya tentu saja. Sebab 15 menit sebelum
sampai, Muhidin M Dahlan, karib dan rekan sekantor, mengabarkan Pram
masih bertahan setelah melewati masa krisis sebanyak tiga kali. Saya
juga tak percaya karena sebelum berangkat saya sempat membuka detik.com,
dan di sana dikabarkan bahwa Pram masih bisa bertahan, dan bahkan minta
sebatang rokok kesayangannya, Djarum Super.

  Seya tengok kanan-kiri. Saya lihat beberapa orang yang ku kenal.
Bersama Ella saya kemudian mendekati mereka yang duduk mengelilingi
sebuah meja kaca, persis di samping kanan rumah. Saya bertanya pada
Muhidin. Dan Chavchay Syaifullah, wartawan Media Indonesia yang baru
saja melaunching bukunya tentang Chairil Anwar, menjawab: "Aman, bung.
Terkendali!"

  Saya lega. Saya hisap sebatang rokok. Dua batang rokok. Tiga batang
rokok. Sembari terus saja bercakap-cakap. Membincangkan apa saja. Selama
proses inilah belasan sms dari karib-karib saya masuk menanyakan
kebenaran kabar wafatnya Pram. Sekitar pukul setengah 12, sms Faiz
Ahsoul masuk, juga menanyakan kabar Pram.

  Saya jawab: "Pram masih bertahan. Dia baru saja melewati krisisnya
yang ketiga. Dan dia malahan meminta rokok."

  Selain kepada Faiz, sms itu juga saya kirim ke Arief Santoso, redaktur
budaya Jawa Pos.

  10 menit kemudian Faiz kembali membalas. "Syukurlah. Saya sedang di
Kaliurang, menyaksikan Merapi yang mulai memanas. Mungkin Pram dan
merapi sudah berjanji saling menunggu."

  Saya diam. Tak ku jawab sms itu.

  Kemudian Susilo Ananta Toer, adik termuda Pramoedya keluar menemui
beberapa wartawan televisi. Susilo bilang bahwa Pram pernah berjanji
untuk bertahan hingga 100 tahun. "Bertahan, Bung. Ini baru 81, belum
seratus!"

  Saya tersenyum. Siapa yang tahu dan siapa yang sebetulnya menentukan
usia?

  Yang saya tahu, Susilo pula yang sempat bersikukuh agar Pram tetap
dirawat di RS Carolus. Susilo tidak ingin kejadian di mana ayah mereka
akhirnya wafat setelah 3 hari dibawa pulang dari rumah sakit. Hal itu
bisa dibaca dalam Bukan Pasar Malam.

  ****

  Di hari Minggu yang masih begitu dini, kurang lebih sekitar jam 2
pagi, Astuti Ananta Toer, putri yang begitu dekat dengan Pram, tiba-tiba
menghambur dari kamar tempat ayahnya dibaringkan. Ia berteriak-teriak:
"Oma. Oma.."

  Waktu itu tamu dan pelayat sudah banyak yang undur. Ointu gerbang
berwarna hiau sudah ditutup. Kami, yang ada di sebelah kanan kediaman
Pram di Utan Kayu, refleks bangkit dari masing-masing duduknya dan
langsung menghambur masuk ke dalam kamar depan tempat Pram dibaringkan.

  Saya dan yang lain hanya diam terpaku, di ruang tamu, dengan mata yang
nanar menatap dari kejauhan, terdengar jelas hentakan nafas satu-satu
yang susah payah dihela Pram. Maestro yang dikagumi ribuan anak muda itu
tampak tergeletak lemah. Ia diselimuti dengan selimut berwarna coklat
bercorak kembang putih-putih. Sepasang lengannya mengenakan sarung
tangan berwarna hitam. Sejumlah selang menancap di pergelangan tangan
dan hidungnya. Infus dan oksigen.

  Saya berada persis di ujung sepasang kaki Pram. Saya lihat sepasang
kakinya keluar dari selimut. Sepasang kaki yang lemah dan tampak letih.
Dibungkus kaus kaki coklat tipis.

  Kembali saya ingat Bukan Pasar Malam. Si tokoh, pada kedatangannya
yang pertama mengunjungi ayahnya yang terbaring sakit, memerikan
bagaimana sepasang kaki ayahnya; sebuah pemeriaan yang secara luarbiasa
akhirnya terulang pada diri Pram sendiri.

  "Kudekati ranjang ayahku, kuraba kakinya yang kering. Hatiku tersayat.
Bukankah kaki itu dulu seperti kakiku juga dan pernah mengembara ke
mana-mana? Dan kaki itu terkapar di atas kasur ranjang rumahsakit. Bukan
kemauannya. Ya, bukan kemauannya. Rupa-rupanya manusia ini tak selamanya
bebas mempergunakan tubuh dan hidupnya. Dan kelak begitu juga halnya
dengan kakiku." (Bukan Pasar Malam, hal. 48).

  Ya.. Seperti juga Pram yang meraba kaki ayahnya, saya menyentuh kaki
Pram yang masih menyisakan sejumput udara hangat. Saya melolosi sepasang
kaus kaki coklat tipis yang membungkus sepasang kaki Pram yang letih dan
berkarat oleh waktu dan sejumlah pengkhianatan.

  Saya ingat Yukio Mishima, sastrawan Jepang yang memilih mengakhiri
hidupnya dengan cara seppuku yang luarbiasa dramatis, sebuah gaya
artisitik memerlakukan kematian tak ubahnya sebuah panggung teater.
Mishima yang bunuh diri pada 1970 itu juga pernah menulis sebuah
novelet, sama seperti Bukan Pasar Malam, judulnya Patriotisme. Di cerpen
itu, Mishima mengisahkan secara detail bagaimana seorang perwira Jepang
melakukan seppuku. Dan sungguh menakjubkan, Mishima juga mati dengan
cara yang sama seperti ia pernah tuliskan sebelumnya dalam novelet
Patriotisme itu.

  Pikiran saya ke mana-mana. Saya berdiri persis di tiang tempat di man
botol infus digantungkan. Saya perhatikan botol infus itu. Saya
perhatikan, tetes-tetes infus begitu lambat menetes. Dan semua orang,
saya kira, juga merasa detik begitu lama beranjak. Lama sekali. Saya
pernah ingat seorang suster yang dulu semasa kecil pernah merawat saya
sewaktu saya diterjang penyakit demam berdarah. Kata dia, kalau infus
cepat habisnya berarti yang dirawat itu ada kemungkinan pulih, sementara
jika infus begitu lama habisnya, itu pertanda buruk.

  Saat itu saya sadar kalau Pram sedang meregang nyawa. Susah betul ia
menarik nafas. Sesekali dagunya terangkat. Mungkin untuk memudahkan
masuknya oksigen. Tangannya lemah terkulai. Mujib menggenggam tangan
kiri, Oma (panggilan untuk istri Pram) bergantian menggenggam tangan
kanan.

  Lagi-lagi entah siapa yang memulai, tampaknya Mbak Titik (panggilan
Astuti), beberapa orang yang hadir mulai menggumamkan do'a. Ada yang
menggumam dalam hati, dan ada yang setengah berteriak. Seisi kamar
seperti bergetar oleh do'a dan himpunan kalimat-kalimat suci.

  Taufik Rahzen memecah suasana sakral dan menyayat itu dengan suara
setengah berteriak: "Bung Pram. Bung Pram..."

  Rahzen mencoba menyadarkan, berupaya agar Pram tak kehilangan
kesadaran.

  Beberapa saat kemudian, Mbak Titik, dengan nada antara kasihan melihat
Pram yang meregang nyawa dan campuran rasa frustasi takut kehilangan,
tiba-tiba berkata dengan keras: "sudahlah. biarkan dia pergi. Kasihan.
Kasihan dia.."

  Seisi kamar terhenyak. "Jangan, Bung! Jangan menyerah, Bung!" batin
saya dalam hati seperti hendak menolak rasa pesimis yang pelahan mulai
merayap.

  Tapi kali ini Pramoedya masih bertahan. Pelan tapi pasti, setelah 45
menit meregang-regang, ia kembali berhasil menguasai kesadarannya.
Nafasnya mulai teratur.

  "Opa. opa.." teriak Mbak Titik.

  Pram menengok ke arah Mbak Titik.
  Seantero kamar menarik nafas lega. Pram sadar kembali.

  ****

  Tetapi itu tak lama. Sekitar pukul 03.15 pagi, Pram kembali diterjang
krisis. Kali ini lebih menyesakkan untuk disaksikan.

  Saya lihat bagaimana orang yang berdiri tegar sendirian bertahun-tahun
lamanya, dipenjara di semua rezim yang pernah berkuasa di sini (di
penjara kolonial Belanda, rezim fasis Jepang, zaman Soekarno juga Orde
Harto), tampak megap-megap. Dagunya sesekali terangkat. Ia berulang kali
mengubah-ubah posisi tangannya. Sekali waktu ia merentangkan sepasang
tangannya, dengan wajah terangkat, seperti hendak menantang duel sang
maut. Kali lain ia meletakkan dua tangannya di atas kepalanya. Tentu
saja masih dengan deru nafas yang makin lemah dan patah-patah.

  Deru do'a makin kencang menghambur dari seantero kamar. Semua-muanya.
Tak terkecuali saya. Dalam hati tentu saja. Saya tak bisa membayangkan
bagaimana sakitnya meregang nyawa, menempuhi sekarat, bertarung dengan
malaikat penjagal nyawa. Saya ingat sebuah do'a Rasulullah yang memohon
kepada Tuhan agar dijauhkan dari sakitnya meregang nyawa, yang kata
Rasul, sakitnya tujuh kali lebih menggidikkan dari sayatan pisau yang
paling tajam.

  Saya bergidik. Begini rupanya meregang nyawa. Hih.. Dan, jujur saja,
baru sekali itulah saya lihat orang sekarat. Dan entah ini anugerah
ataukah kutuk, pengalaman pertama menyaksikan orang sekarat itu justru
ketika Pram, orang yang saya anggap sebagai guru, yang menjadi
"aktornya".

  Berkali-kali, Yudistira dan Astuti memegang lengan kiri ayahnya.
Sesekali mereka mendekatkan kuping ke mulut Pram, berjaga jika
sewaktu-waktu Pram membisikkan pesannya yang terakhir. Yudis sesekali
membacakan kata-kata suci ke telinga ayahnya.

  Saya tak tahu apa yang ada dalam batin Pram ketika di detik-detik
terakhir hidupnya ia dido'akan, dihujani oleh kata-kata yang diyakini
suci. Adakah Pram menolak? Mungkinkah Pram menampik?

  Pelan-pelan saya khawatir, jangan-jangan Pram merentangkan tangan atau
menggeleng-gelengkan kepala sebetulnya sebagai bentuk penolakan Pram
atas cara keluarga, karib dan pengagumnya memerlakukan dirinya. Saya
khawatir, jangan-jangan Pram hanya ingin mati dengan caranya sendiri,
bukan seperti cara orang-orang yang saat itu ada di sampingnya sewaktu
sedang bertarung dengan wabah maut.

  Tapi kita tidak pernah akan tahu apa yang ada di kepalaPram saat itu.
Kita tak akan tahu apakan Pram menolak atau tidak. Dan kita juga tak
akan tahu bagaimana sebetulnya Pram ingin menghadapi maut. Lagipula,
saya dan barangkali semua orang yang hadir yang mendoakan Pram dengan
kata-kata suci yang dalam seumur hidup Pram jarang sekali ia ucapkan,
hanya bergerak mengikuti insting, naluri. Saya, dan barangkali juga yang
lain, tak pernah terlintas pikiran hendak meng-Islam-kan Pram, sebab
saya dan yang lain juga tak tahu apakah Pram muslim atau bukan.

  Saya ingat Pram pernah berkata bahwa orang ateis yang menjadi ateis
karena pilihan sadar biasanya adalah orang yang paling banyak memikiran
Tuhan. "Orang ateis," dalam kata-kata Pram sendiri, "adalah mereka yang
telah melewati banyak 'stasiun' pemberhentian."

  Saya tak tahu Pram sudah melewati berapa stasiun. Yang saya tahu,
Pram, seperti bisa kita baca dalam Bukan Pasar Malam, membisikkan
kata-kata suci yang memuji kebesaran Tuhan ke telinga ayahnya yang baru
saja meninggal dunia, 57 tahun lalu, di pengujung warsa 1949 yang muram.


  Sejarah barangkali adalah sebentuk persilangan dan tumbukan antara
satu pengulangan menuju pengulangan yang lain. Semacam circle. Tak
peduli betapa para sejarawan memeluk teguh doktrin ein malig, sejarah
hanya terjadi sekali.

  Di jam-jam terakhirnya itu, saya, lewat sebuah koinsidensi yang
menakjubkan, bisa berada langsung melihatnya, menjadi penyaksi dari satu
tahap paling genting setiap manusia: mati!

  Pada fase krisisnya yang terakhir, sebelum kemudian ia meninggal pada
jam 9 pagi itu, saya menyaksikan bagaimana Pram terus dikendalikan oleh
hidupnya, kenangannya, dan aktivitas-aktivitas hidupnya.

  Di tengah-tengah badai lara yang makin menyiksa, dengan suara yang
parau dan nafas megap-megap, Pram masih sempat menanyakan kabar apakah
sampah sudah dibakar.

  Pram memang punya hobi aneh: membakar sampah. Jika kita baca Nyanyi
Seorang Bisu, kumpulan surat-surat Pram untuk anak-anaknya yang ditulis
dari Buru, kita akan tahu bahwa membakar sampah adalah salah satu cara
menyibukkan diri seorang Pram selama diburu. Membiarkan diri melamun
kosong di pulau pengasingan yang mengerikan sama saja dengan menyerahkan
jiwa kita pada kegilaan. Membakar sampah adalah cara Pram melawan waktu
yang menggerus, sekaligus sebentuk rsistensi Pram atas pengkondisian
rezim Harto yang memang menginginkan agar dia jatuh bukan oleh
tangan-tangan kasar aparat, melainkan jatuh dalam kegilaan dirinya
sendiri.

  Dan Pram tak hanya ingin membakar sampah. Ia juga ingin jenazahnya
dibakar, dikremasi. Bukan dikubur. Permintaan yang kelak tak dikabulkan
keluarganya.

  Yang membuat saya makin tergetar adalah betapa Pram dalam
perlawanannya yang terakhir terhadap kematian, akhirnya luruh juga dalam
ketakutan. Saya saksikan bagaimana Pram menitikkan air mata.
Berkali-kali. Anaknya Yudistira Ananta Toer, dalam perbincangan beberapa
jam sebelumnya, mengatakan bahwa ia tak pernah melihat Pram menangis,
baik menangis terharu maupun menangis karena sedih, tidak juga ketika
Pram pertama kali kembali ke rumahnya di Utan Kayu setelah sepuluh tahun
lebih diasingkan ke Pulau Buru.

  Tetapi Pram akhirnya masih bisa bertahan juga, seperti memenangkan
sebuah ronde dari serangkaian pertandingan melawan maut. Pukul 4 pagi
Pram kembaali bisa tersadar.

  ****

  Saya dan beberapa teman akhirnya pamit undur dari rumah Pram. Saya
letih. Lelah. Semalaman tak tidur. Tapi yang jauh lebih membikin letih
adalah pengalaman menyaksikan seorang Pram, yang sama-sama kami kagumi
itu, meregang nyawa, menahan sakit, melawan kematian.

  Ya, saya percaya Pram memang melawan sebisanya. Ia masih ingin hidup
hingga 100 tahun. Ia masih ingin bertemu dan berdialog terus menerus
dengan angkatan muda yang ia harapkan bisa mengembalikan laju Indonesia
ke relnya yang benar. Ia juga masih ingin menyelesaikan Ensiklopedi
Citra Kawasan Indonesia yang baru tergarap sebagian, kendati sebagian di
sini artinya bahan-bahan itu telah menumpuk setinggi  3 meter lebih.

  Saya juga yakin Pram akan bertahan. Tidak, Bung Pram pasti bisa
bertahan. Pasti. Begitu saya mencoba meyakinkan diri sendiri.

  Tetapi saya keliru. Ketika sedang berada di bus kota, sekitar pukul 9
pagi, sebuah sms dari Taufik Rahzen, yang isinya pendek sekali, tapi
justru membikin dada seperti runtuh: "Pram baru aja jalan.."

  Semenit kemudian sms Muhidin masuk. Isinya membikin badan meriang:
"Pram telah meninggal dunia. 09.02. Inilah erangannya yang terakhir:
"Saya tak kuat. Bakar saya dalam mati saya."

  Saya menyesal tak ada di sampingnya ketika ia terbang pergi. Saya
menyesal. Sangat.

  Di atas bus kota yang reyot yang membawa saya ke arah Tanjung Duren di
wilayah Jakarta Barat itulah saya terima kabar kematiannya. Saya kirim
sms pendek ke semua teman yang bisa saya hubungi. "Pram wafat. Barusan."

  ****

  Ia tak pernah mau menyerah dan sensitif dengan hal-ihwal lain dan
keasingan yang mengganggu otonomi tubuhnya. Penolakan tubuh dari
kabel-kabel infus atau benda asing apa pun bisa kita baca merupakan
sikap-sikap ideologi dan pikirannya yang konsisten dan individualis.

  Mengenang kembali penolakan Pram atas berselang-selang infus dan
oksigen, saya teringat pada pledoi Soekarno di Landraad Bandung dalam
pengadilan kolonial. dalam pidato yang masyhur dengan judul Indonesia
Menggugat itu, Soekarno menganalogikan penghisapan kolonial-kapitalistik
dengan mencontohkan selang-selang raksasa di pabrik-pabrik kapitalis
yang udaranya menghisap paru-paru kaum buruh.

  Kita juga bisa memandang itu sebagai perlawanan Pram yang tak mau
menyerah hingga akhir-akhir jelang purna tugas meniti hidup. Ia adalah
manusia Indonesia yang bisa menjadi simbol dari konsistensi atas sebuah
pilihan ideologi, sikap, dan penghormatan kepada kebenaran. Ia tak akan
ragu-ragu menolak semua yang bertentangan dengan pandangannya. "Jika
Anda merasa bahwa Anda benar, maka perjuangkan keyakinan itu sampai ia
tuntas dan jangan pernah menyerah."

  Pram memang memiliki daya hidup yang tinggi. Ia tak mau tunduk pada
apa pun; hingga beberapa jam menjelang kematiannya, ia bisikkan sepotong
kalimat bahwa ia sudah tak kuat lagi yang memperkukuh tesis bahwa Pram
hanya bisa kalah oleh dirinya sendiri. Namun ia tetap bertahan di
jam-jam genting akhir pekan itu, karena rumah masih riuh dan pesan belum
disampaikan kepada kerabat dan angkatan muda di selingkungannya.

  Dan kita tahu Pram pada akhirnya memang menyerah. Tapi, ia menyerah
setelah berjuang sebisanya, seperti yang juga pernah dikatakan Ontosoroh
kepada Minke dalam baris terakhir Anak Semua Bangsa, "Kita telah melawan
nak, nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."

  ****

  Pram dimakamkan di Karet, satu pemakaman dengan si binatang jalang
Chairil Anwar. Ia memang diantarkan oleh ribuan pelayat dan anak muda
yang mengaguminya. Ia dimakamkan secara islami, kepergiannya juga
diiringi oleh Internationale dan Darah Juang.

  Tetapi pada akhirnya ia pergi sendiri. Sendirian. Sesuatu yang sudah
dipahami oleh Pram 57 tahun sebelumnya. Dalam paragraf penutup Bukan
Pasar Malam, Pram menulis sesuatu yang akhirnya ia alami juga:

  "Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan
berduyun-duyun pada kembali pulang. seperti dunia dalam pasarmalam.
Seorang-seorang mereka datang. dan pergi. Dan yang belum pergi dengan
cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana."

  Jakarta-Jogja, 5-6 Mei 2006



[Non-text portions of this message have been removed]





=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida Arimurti

Jangan lupa simak IDA KRISNA SHOW SENIN HINGGA JUMAT di 99,1 DELTA FM
Jam 4 sore hingga 8 malam dan kirim sms di 0818 333 582.

=================================================================




SPONSORED LINKS
Station


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke