Anda pasti tahu bagaimana rasanya menerima telepon di tengah
malam. Tapi, malam itu semuanya terasa berbeda. Aku terlonjak
dari tidurku ketika telepon di samping tempat tidur berdering-dering.
Aku berusaha melihat jam beker dalam gelap.
Cahaya illuminasi dari jam itu menunjukkan tepat tengah
malam. Dengan panik aku segera mengangkat gagang telepon.
"Hallo?" dadaku berdegub-degub kencang. Aku memegang gagang telepon
itu
erat-erat. Kini suamiku terbangun dan menatap wajahku lekat-lekat.
"Mama?" terdengar suara di seberang sana.
Aku masih bisa mendengar bisikannya di tengah-tengah dengung
telepon.
Pikiranku langsung tertuju pada anak gadisku. Ketika suara itu
semakin
jelas, aku meraih dan menarik-narik pergelangan tangan suamiku.
"Mama, aku tahu ini sudah larut malam. Tapi jangan... jangan
berkata apa-apa dahulu sampai aku selesai bicara. Dan, sebelum
mama menanyai aku macam-macam, ya aku mengaku ma.
Malam ini aku mabuk. Beberapa hari ini aku lari dari rumah, dan..."
Aku tercekat. Nafasku tersenggal-senggal. Aku lepaskan cengkeraman
pada suamiku dan menekan kepalaku keras-keras. Kantuk masih
mengaburkan pikiranku. Dan, aku berusaha agar tidak panik.
Ada sesuatu yang tidak beres.
"...Dan aku takut sekali. Yang ada dalam pikiranku bagaimana aku
telah melukai hati mama. Aku tak mau mati di sini. Aku ingin pulang.
Aku
tahu tindakanku lari dari rumah adalah salah. Aku tahu mama
benar-benar
cemas dan sedih. Sebenarnya aku bermaksud menelepon mama beberapa hari
yang
lalu,tapi aku takut... takut..."
Ia menangis tersedan-sedan. Sengguknya benar-benar membuat hatiku
iba.
Terbayang aku akan wajah anak gadisku. Pikiranku mulai
jernih,"Begini..."
"Jangan ma, jangan bicara apa-apa. Biarkan aku selesai bicara." ia
meminta. Ia tampak putus asa.
Aku menahan diri dan berpikir apa yang harus aku katakan.
Sebelum aku menemukan kata-kata yang tepat, ia melanjutkan,
"Aku hamil ma. Aku tahu tak semestinya aku mabuk sekarang,tapi aku
takut.
Aku sungguh-sungguh takut!"
Tangis itu memecah lagi. Aku menggigit bibirku dan merasakan pelupuk
mataku
mulai basah. Aku melihat pada suamiku yang bertanya perlahan, "Siapa
itu?"
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Dan ketika aku tidak
menjawab
pertanyaannya, ia meloncat meninggalkan kamar dan segera kembali
sambil
membawa telepon portable. Ia mengangkat telepon portable yang
tersambung pararel dengan teleponku. Terdengar bunyi klik.
Lalu suara tangis suara di seberang sana terhenti dan bertanya,
"Mama, apakah mama masih ada di sana? Jangan tutup teleponnya ma.
Aku benar-benar membutuhkan mama sekarang. Aku merasa kesepian."
Aku menggenggam erat gagang telepon dan menatap
suamiku,meminta
pertimbangannya. "Mama masih ada di sini. Mama tidak akan menutup
telepon,"kataku.
"Semestinya aku sudah bilang pada mama. Tapi bila kita bicara, mama
hanya menyuruhku mendengarkan nasehat mama. Selama ini mamalah
yang
selalu berbicara. Sebenarnya aku ingin bicara pada mama, tetapi
mama
tak mau mendengarkan. Mama tak pernah mau mendengarkan perasaanku.
Mungkin
mama anggap perasaanku tidaklah penting. Atau mungkin mama pikir
mama
punya semua jawaban atas persoalanku. Tapi terkadang aku tak
membutuhkan
nasehat mama. Aku hanya ingin mama mau mendengarkan aku."
Aku menelan ludahku yang tercekat di kerongkongan. Pandanganku tertuju
pada pamflet "Bagaimana Berbicara Pada Anak Anda" yang tergeletak di sis
tempat tidurku.
"Mama mendengarkanmu," aku berbisik.
"Tahukah mama, sekarang aku mulai cemas memikirkan bayi yang ada di
perutku dan bagaimana aku bisa merawatnya. Aku ingin pulang.
Aku sudah panggil taxi. Aku mau pulang sekarang."
"Itu baik sayang," kataku sambil menghembuskan nafas yang
meringankan
dadaku. Suamiku duduk mendekat padaku. Ia meremas jemariku
dengan jemarinya.
"Tapi ma, sebenarnya aku bermaksud pulang dengan menyetir sendiri
mobil sendiri."
"Jangan," cegahku. Ototku mengencang dan aku mengeratkan genggaman
tangan suamiku. "Jangan. Tunggu sampai taxinya datang. Jangan tutup
telepon ini
sampai taxi itu datang."
"Aku hanya ingin pulang ke rumah, mama."
"Mama tahu. Tapi, tunggulah sampai taxi datang. Lakukan itu untuk
mamamu."
Lalu aku mendengar senyap di sana. Ketika aku tak mendenga suaranya,
aku
gigit bibir dan memejamkan mata. Bagaimana pun aku harus
mencegahnya
mengemudikan mobil itu sendiri.
"Nah, itu taxinya datang."
Lalu aku dengar suara taxi berderum di sana. Hatiku terasa lega.
"Aku pulang ma," katanya untuk terakhir kali. Lalu ia tutup
telepon itu. Air mata meleleh dari mataku. Aku berjalan keluar
menuju kamar anak gadisku yang berusia 16 tahun.
Suamiku menyusul dan memelukku dari belakang.
Dagunya ditaruh di atas kepalaku.
Aku menghapus airmata dari pipiku. "Kita harus belajar
mendengarkan,"kataku pada suamiku.
Ia terdiam sejenak, dan bertanya, "Kau pikir, apakah gadis itu sadar
kalau ia telah menelepon nomor yang salah?"
Aku melihat gadisku sedang tertidur nyenyak. Aku berkata pada
suamiku,
"Mungkin itu tadi bukan nomor yang salah."
"Ma? Pa? Apa yang terjadi?," terdengar gadisku menggeliat dari
balik selimutnya.
Aku mendekati gadisku yang kini terduduk dalam gelap, "Kami baru
saja belajar," jawabku.
Belajar apa?" tanyanya. Lalu ia kembali berbaring dan matanya terpejam
lagi.
"Mendengarkan," bisikku sambil mengusap pipinya.
Sumber : Unknown (Tidak Diketahui)
[Non-text portions of this message have been removed]
=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida Arimurti
Jangan lupa simak IDA KRISNA SHOW SENIN HINGGA JUMAT di 99,1 DELTA FM
Jam 4 sore hingga 8 malam dan kirim sms di 0818 333 582.
=================================================================
YAHOO! GROUPS LINKS
- Visit your group "idakrisnashow" on the web.
- To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]
- Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.