RENUNGAN IDA ARIMURTI : BELAJAR MENDENGARKAN

Anda  pasti  tahu bagaimana rasanya menerima telepon di tengah
malam. Tapi, malam  itu  semuanya  terasa  berbeda.  Aku  terlonjak 
dari tidurku ketika telepon  di samping tempat tidur berdering-dering.

Aku berusaha melihat jam beker  dalam gelap.
Cahaya illuminasi dari jam itu menunjukkan tepat tengah
malam. Dengan panik aku segera mengangkat gagang telepon.
"Hallo?"  dadaku  berdegub-degub  kencang.  Aku memegang gagang telepon
itu
erat-erat. Kini suamiku terbangun dan menatap wajahku lekat-lekat.
"Mama?" terdengar suara di seberang sana.
Aku  masih  bisa  mendengar  bisikannya  di  tengah-tengah dengung
telepon.
Pikiranku  langsung  tertuju  pada  anak  gadisku. Ketika suara itu
semakin
jelas, aku meraih dan menarik-narik pergelangan tangan suamiku.

"Mama,  aku  tahu  ini  sudah  larut  malam.  Tapi jangan... jangan
berkata apa-apa  dahulu  sampai  aku selesai bicara. Dan, sebelum
mama menanyai aku macam-macam,  ya aku mengaku ma.
Malam ini aku mabuk. Beberapa hari ini aku lari dari rumah, dan..."

Aku  tercekat.  Nafasku  tersenggal-senggal.  Aku lepaskan cengkeraman
pada suamiku   dan   menekan  kepalaku  keras-keras.  Kantuk  masih
mengaburkan pikiranku.  Dan,  aku  berusaha  agar  tidak  panik.
Ada sesuatu yang tidak beres.

"...Dan  aku  takut  sekali.  Yang  ada dalam pikiranku bagaimana aku
telah melukai  hati  mama.  Aku  tak mau mati di sini. Aku ingin pulang.
Aku
tahu tindakanku  lari  dari  rumah adalah salah. Aku tahu mama
benar-benar
cemas dan sedih. Sebenarnya aku bermaksud menelepon mama beberapa hari
yang
lalu,tapi aku takut... takut..."

Ia  menangis  tersedan-sedan.  Sengguknya  benar-benar  membuat hatiku
iba.
Terbayang aku akan wajah anak gadisku. Pikiranku mulai
jernih,"Begini..."

"Jangan ma, jangan bicara apa-apa. Biarkan aku selesai bicara." ia
meminta. Ia tampak putus asa.
Aku  menahan  diri  dan  berpikir  apa  yang harus aku katakan.
Sebelum aku menemukan kata-kata yang tepat, ia melanjutkan,
"Aku hamil ma. Aku tahu tak semestinya aku mabuk sekarang,tapi aku
takut.
Aku sungguh-sungguh takut!"
Tangis itu memecah lagi. Aku menggigit bibirku dan merasakan pelupuk
mataku
mulai basah. Aku melihat pada suamiku yang bertanya perlahan, "Siapa
itu?"

Aku   menggeleng-gelengkan   kepala.   Dan   ketika   aku   tidak
menjawab
pertanyaannya,  ia  meloncat  meninggalkan  kamar dan segera kembali
sambil
membawa  telepon  portable.  Ia mengangkat telepon portable yang
tersambung pararel dengan teleponku. Terdengar bunyi klik.

Lalu  suara  tangis  suara  di  seberang sana terhenti dan bertanya,
"Mama, apakah  mama masih ada di sana? Jangan tutup teleponnya ma.
Aku benar-benar membutuhkan mama sekarang. Aku merasa kesepian."
Aku   menggenggam   erat   gagang  telepon  dan  menatap
suamiku,meminta
pertimbangannya. "Mama masih ada di sini. Mama tidak akan menutup
telepon,"kataku.
"Semestinya  aku  sudah bilang pada mama. Tapi bila kita bicara, mama
hanya menyuruhku  mendengarkan  nasehat  mama.  Selama  ini  mamalah
yang
selalu berbicara.  Sebenarnya  aku  ingin  bicara  pada  mama, tetapi
mama
tak mau mendengarkan.  Mama  tak  pernah  mau mendengarkan perasaanku.
Mungkin
mama anggap  perasaanku  tidaklah  penting.  Atau  mungkin mama pikir
mama
punya semua  jawaban atas persoalanku. Tapi terkadang aku tak
membutuhkan
nasehat mama. Aku hanya ingin mama mau mendengarkan aku."

Aku menelan ludahku yang tercekat di kerongkongan. Pandanganku tertuju
pada pamflet "Bagaimana Berbicara Pada Anak Anda" yang tergeletak di sis
tempat tidurku.

"Mama mendengarkanmu," aku berbisik.
"Tahukah mama, sekarang aku mulai cemas memikirkan bayi yang ada di
perutku dan  bagaimana  aku  bisa  merawatnya.  Aku ingin pulang.
Aku sudah panggil taxi. Aku mau pulang sekarang."
"Itu  baik  sayang,"  kataku  sambil  menghembuskan  nafas yang
meringankan
dadaku.   Suamiku   duduk  mendekat  padaku.  Ia  meremas  jemariku
dengan jemarinya.

"Tapi  ma,  sebenarnya  aku  bermaksud pulang dengan menyetir sendiri
mobil sendiri."

"Jangan,"  cegahku.  Ototku mengencang dan aku mengeratkan genggaman
tangan suamiku.  "Jangan.  Tunggu  sampai taxinya datang. Jangan tutup
telepon ini
sampai taxi itu datang."
"Aku hanya ingin pulang ke rumah, mama."
"Mama tahu. Tapi, tunggulah sampai taxi datang. Lakukan itu untuk
mamamu."
Lalu  aku  mendengar senyap di sana. Ketika aku tak mendenga suaranya,
aku
gigit  bibir  dan  memejamkan  mata.  Bagaimana  pun  aku harus
mencegahnya
mengemudikan mobil itu sendiri.

"Nah, itu taxinya datang."
Lalu aku dengar suara taxi berderum di sana. Hatiku terasa lega.
"Aku  pulang  ma,"  katanya untuk terakhir kali. Lalu ia tutup
telepon itu. Air mata meleleh dari mataku. Aku berjalan keluar
menuju kamar anak gadisku yang  berusia  16  tahun. 
Suamiku  menyusul  dan  memelukku dari belakang.
Dagunya ditaruh di atas kepalaku.
Aku  menghapus  airmata  dari  pipiku.  "Kita  harus belajar
mendengarkan,"kataku pada suamiku.

Ia  terdiam sejenak, dan bertanya, "Kau pikir, apakah gadis itu sadar
kalau ia telah menelepon nomor yang salah?"
Aku  melihat  gadisku  sedang  tertidur  nyenyak. Aku berkata pada
suamiku,
"Mungkin itu tadi bukan nomor yang salah."
"Ma?  Pa?  Apa  yang  terjadi?,"  terdengar  gadisku  menggeliat dari
balik selimutnya.
Aku  mendekati  gadisku  yang  kini  terduduk  dalam gelap, "Kami baru
saja belajar," jawabku.

Belajar apa?" tanyanya. Lalu ia kembali berbaring dan matanya terpejam
lagi.
"Mendengarkan," bisikku sambil mengusap pipinya.

Sumber : Unknown (Tidak Diketahui)



[Non-text portions of this message have been removed]






=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida Arimurti

Jangan lupa simak IDA KRISNA SHOW SENIN HINGGA JUMAT di 99,1 DELTA FM
Jam 4 sore hingga 8 malam dan kirim sms di 0818 333 582.

=================================================================




YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke