"Tentang Sastra Anak-anak", Oleh: Mula Harahap

Hidup ini, dari mulai lahir hingga mati, adalah sebuah proses belajar.
Kita belajar untuk bisa merangkak, berbicara dan berlari. Kita belajar
untuk bisa memakai celana, mengikat tali sepatu, menguasai aritmatika,
fisika atau bahasa Inggeris. Kita belajar untuk bisa naik sepeda,
mengoperasikan telepon genggam, komputer atau menerbangkan pesawat
terbang F-16. Kita belajar untuk bisa membedakan mana yang baik dan
tidak baik, memahami arti kesetiaan, menghargai kejujuran atau memahami
kehadiran dan kekuasaan Tuhan.

Ada hal-hal tertentu yang proses belajarnya cukup dilakukan hanya dengan
melihat contoh yang diperagakan guru, membaca "manual" yang tersedia
atau mendengarkan uraian instruktur. Tapi ada pula hal-hal yang proses
belajarnya hanya bisa dilakukan dengan menjalani sendiri kehidupan itu.

Kemahiran mengendarai sepeda, menjalankan pesawat terbang, menguasai
akuntansi; semua  itu cukup
dipelajari dengan membaca manual, melihat contoh yang diperagakan dan
mendengar uraian guru. Tapi menghargai
kejujuran, bisa membedakan mana yang baik dan tidak baik, pemahaman akan
kasih Tuhan, solidaritas terhadap
penderitaan orang lain; semua itu tidak cukup dipelajari hanya dari
membaca kitab suci dan mendengar wejangan ulama. Hal-hal
tersebut--terutama yang berkaitan dengan rasa dan nilai-- hanya bisa
diperoleh dari menjalani kehidupan itu sendiri.

Tapi situasi dan kondisi tentu tidak memungkinkan kita untuk selalu bisa
masuk dan menjalani berbagai
pengalaman hidup yang sarat nilai itu. Lagipula, untuk bisa masuk dan
menjalani berbagai pengalaman hidup itu
diperlukan  biaya dan risiko yang tinggi. Untuk memahami penderitaan
seorang wanita korban perkosaan,
tidaklah mungkin kalau kita juga harus mengalami mengalami perkosaan
itu. Untuk memahami kedalaman
persahabatan di bawah ancaman perpisahan maut, yang dialami oleh dua
prajurit muda di bawah bombardemen
meriam; tentu tidaklah mungkin kalau kita juga  harus ikut di sana .

Tapi beruntunglah kita, karena peradaban telah menemukan sebuah wahana
yang memungkinkan kita masuk,
merasakan dan belajar dari kehidupan; tanpa harus menanggung berbagai
risiko biaya dan bahaya. Wahana
itulah yang kita sebut sastra. Di dalam bentuk cerita dan pilihan
kata-kata yang kreatif, berbagai
pengalaman hidup ini disublimasi sedemikian rupa oleh pengarang sehingga
kita boleh mencicipinya. Kita
membaca  sastra seperti seekor anak burung yang menikmati makanan yang
keluar dari tembolok induknya.
Sastra adalah hasil cernaan dan sublimasi kehidupan.
                          ***
Disamping sarana belajar, maka hal penting lainnya yang kita butuhkan di
dalam kehidupan ini adalah
teman. Ada hal-hal yang sukar untuk kita rumuskan dan ungkapkan, tapi
kalau hal-hal tersebut hanya tersimpan
di dalam hati, maka ia acapkali menjadi gangguan dan membuat kita
gelisah. Tapi dengan kehadiran seorang
teman di sisi kita--walau pun hanya sekedar saling
memandang--kegelisahan acapkali bisa terbagi.

Kesepian, kerinduan, cinta, kematian, atau ketakutan adalah beberapa
dari hal tersebut di atas.
Kadang-kadang untuk mengenali hal yang sedang bergejolak itu pun kita
tak mampu. Tapi seringkali,
setelah membaca sebuah karya sastra, kita merasa dibantu untuk
merumuskan dan mengungkapkannya. ("Aha,
inilah juga yang saya rasakan..."). Kita merasa dibebaskan. Sastra juga
adalah reflektor dan sarana pembebasan.
                          ***
Sama halnya seperti orang dewasa, maka anak-anak juga memiliki keinginan
untuk mempelajari berbagai
kebijaksanaan hidup. Anak-anak memiliki ketakutan, kerinduan, kesepian
atau kegelisahannya sendiri; yang
seringkali tak mampu dirumuskan dan diungkapkannya. Tentu saja, dilihat
dari kacamata orang dewasa, apa
yang dirasakan dan dialami oleh anak-anak terkesan sepele dan
mengada-ada. Tapi, sesuai dengan takaran
jiwa anak-anak itu, maka intensitas ketakutan, kerinduan atau kesepian
yang dialaminya sama saja dengan yang dialami oleh orang dewasa. 
Anak-anak memiliki pergumulannya sendiri; yang tak kalah hebatnya dengan
orang dewasa.

Ketika saya masih kecil, misalnya, sepanjang malam saya selalu dihantui
oleh pikiran bahwa ada seorang
asing yang menyelinap di kolong tempat tidur. Karena itu, setiap kali
bangun pagi, saya selalu mengambil
ancang-ancang untuk melompat beberapa langkah dari sisi tempat tidur.
Dengan demikian maka "orang asing"
itu tak akan bisa menangkap kaki saya. Dan barulah setelah mencapai
pintu, saya melongok ke kolong.
(Tidak ada apa-apa di sana . Tapi upacara yang sama akan berlangsung
setiap pagi).

Ketika saya masih kecil, misalnya, tubuh saya kurus-kering dan saya
bukanlah tipikal anak yang senang berkelahi.
Tapi saya adalah anak paling tua dari beberapa bersaudara. Karena itu,
setiap kali harus mengiringi adik-adik pulang dan pergi sekolah,
saya selalu dipenuhi oleh kegelisahan. Saya takut, bagaimana saya harus
membela mereka, kalau kami
diganggu oleh anak-anak di pojok jalan sana yang selalu berteriak, "Hei,
banci, banci....".

Ketika saya masih kecil, misalnya juga, saya selalu bingung kalau malam
sebelum hari penerimaan rapor, ibu
menyuruh saya berdoa agar Tuhan memberi nilai-nilai yang baik. Padahal
saya tahu benar, sejak dua hari yang lalu,
buku rapor tersebut telah diisi oleh ibu guru dan disimpan di dalam
lemari kelas.
(Bagaimana mungkin dan apa perlunya Tuhan repot-repot menyelinap ke
dalam lemari dan mengubah-ubah angka yang telah ada di sana ?).

Dalam aspek sosial anak pun seringkali mengalami kebingungan dan
kegelisahan. Ketika saya masih kecil, misalnya, saya mempunyai teman
sekelas yang bernama Johnny Tjong. Dan saya tidak pernah bisa mengerti,
mengapa bila lepas dari pagar sekolah, Johnny--anak Cina itu--
seolah-olah menjadi sah untuk diperlakukan apa saja oleh anak-anak
lainnya. Bahkan orang dewasa yang melihatnya pun sering tidak mengambil
tindakan apa pun.

Ketika saya masih kecil, misalnya, saya juga pernah ikut berlari-lari di
belakang serombongan pemuda yang sedang melakukan "sweeping" terhadap
orang-orang yang diduga anggota PKI. Saya masih ingat wajah sepasang
suami-isteri yang digelandang pemuda-pemuda itu keluar dari gubuknya dan
dibawa ke balik kerimbunan pohon-pohon pisang di tepi sungai. Ketika
kami anak-anak ingin mengetahui lebih jauh apa yang akan terjadi dengan
suami-isteri itu, salah seorang dari pemuda itu mengacungkan goloknya
sebagai isyarat agar kami pergi. Tentu saja saya berlari
tunggang-langgang.
Setibanya di rumah saya menceritakan apa yang baru saya lihat dan
bertanya, "Apa salahnya orang-orang itu?"
Tapi saya tidak mendapat jawaban apa pun, kecuali tamparan yang keras di
pipi dari ayah.

Dalam kaitan yang sama dengan pengalaman di atas, maka ketika masih
kecil, saya juga mempunyai seorang
sahabat. Suatu hari sahabat saya tidak masuk sekolah untuk waktu yang
cukup lama. Kemudian kami mendengar
kabar bahwa ayahnya ditahan karena diduga terlibat dalam kegiatan PKI.
Ketika ia kembali masuk sekolah,
semua anak menjauhinya, seperti layaknya seorang penderita penyakit
menular yang berbahaya. Dengan alasan yang tidak terlalu jelas, saya
juga ikut-ikutan mengambil jarak dengan sahabat tersebut. Tapi hal itu
saya lakukan dengan penuh pergumulan. Dan sampai sekarang--setelah saya
dewasa--pengalaman tersebut selalu mengganggu hati saya. (Apalagi, di
kemudian hari saya mendengar kabar bahwa sahabat saya tersebut telah
meninggal dunia. Saya tak pernah meminta maaf kepadanya).

Begitulah, banyak hal yang ingin diketahui anak. Banyak ketakutan,
kebingungan, kegelisahan yang dirasakan anak, yang tak mampu dirumuskan
serta diungkapkannya secara jelas. Karena itu anak juga membutuhkan
teman untuk merefleksikan hidup dan sarana untuk pembebasan jiwa. Anak
membutuhkan sastra.
                        ***
Pada tahun 70-an, di Amerika Serikat terbit  sebuah buku cerita
bergambar anak-anak yang berjudul "Where
The Wild Things Are" karya Maurice Sendak. Buku itu bercerita tentang
seorang anak yang di alam mimpinya
bergabung dan bermain dengan monster-monster bertanduk dan berwajah
jelek. Buku yang pernah mendapat
penghargaan sebagai buku cerita bergambar anak-anak terbaik itu,
mendapat sambutan yang hangat dari anak-anak.
Di dalam cerita dan gambar-gambar yang kreatif dari Maurice Sednak,
anak-anak mendapatkan jawaban dan pembebasan atas ketakutannya. Kalau
buku tersebut terbit di Indonesia , maka ia tentu adalah buku yang tepat
bagi seorang anak yang mempunyai phobia bahwa ada orang asing yang
selalu menyelinap di kolong tempat tidurnya.

Pada tahun 40-an, di Amerika Serikat pernah pula terbit buku cerita
bergambar yang berjudul "Ferdinand The Bull" karangan Munro Leaf. Buku
ini bercerita tentang seekor anak banteng yang tidak senang berkelahi.
Hobinya hanya merenung-renung di pinggir kali dan mencium harumnya
bunga-bunga. Beberapa kali dalam setahun, secara teratur, peternakan itu
selalu didatangi oleh para promotor adu banteng. Mereka selalu
mengamat-amati banteng-banteng muda untuk dilatih menjadi banteng aduan.
Bila promotor-promotor ini datang ke peternakan, maka anak-anak banteng
umumnya akan pasang aksi agar terpilih untuk dibawa ke kota dan dilatih
menjadi banteng aduan. Tapi Ferdinand
tak pernah memperdulikan hal itu. Ia asyik saja mencium bunga-bunga.
Begitulah, secara tak sengaja Ferdinand mencium bunga yang berisi lebah
dan lebah itu menyengat hidungnya. Ferdinand kesakitan dan melompat
kian-kemari. Melihat aksi Ferdinand, maka para promotor berkesimpulan
inilah banteng muda yang tepat untuk dilatih (Mereka tidak tahu bahwa
Ferdinand bersikap demikian karena disengat lebah!). Begitulah,
Ferdinand pun dibawa ke kota . Tentu saja ia tidak bahagia. Ketika hari
adu banteng tiba penonton penuh sesak memenuhi stadion. Matador masuk ke
gelanggang
dengan diiringi oleh tepuk tangan penonton. Tapi Ferdinand tak merasa
terangsang untuk berkelahi. Ia justeru sibuk menatap bunga-bunga yang
terpasang di telinga para wanita suporter sang matador. Begitulah,
ketika matador telah mengibaskan bendera merahnya, tiba-tiba ada sekutum
bunga yang dilemparkan dari tribun dan jatuh di dekat kaki Ferdinand.
Alih-alih berlari menabrak sang matador, Ferdinand berbalik dan duduk
mencium bunga. Semua geger. Apa pun yang dilakukan oleh matador,
Ferdinand tak tertarik menanggapinya. Akhirnya dengan kecewa para
promotor
adu banteng mengembalikannya ke peternakan. Ferdinand bahagia. Kini
setiap hari ia boleh duduk-duduk menikmai keindahan.

Kalau "Ferdinand The Bull" diterbitkan di Indonesia, maka ia tentu
adalah sastra untuk anak lelaki yang kurus-kerempeng dan tak pandai
berkelahi.

Buku-buku yang baik untuk anak-anak yang mengalami kebingungan atas
sejarah atau realitas sosial masyarakatnya  juga banyak kita jumpai di
negara-negara maju.
                           ***
Di negara-negara seperti Jepang, Amerika Serikat dan Eropah, para
pustakawan pendidik, psikolog dan ahli sastra telah menyadari benar
tentang pentingnya sastra anak-anak. Cukup banyak buku yang telah
ditulis mengenai sastra anak-anak. Buku yang berisikan ulasan para ahli
tentang buku-buku anak-anak--subyek, sasaran umur dan sasaran
pembacanya--tak kurang pula banyaknya.

Sastra anak-anak telah menjadi bidang kajian dan studi di
fakultas-fakultas ilmu pendidikan, sastra, ilmu perpustakaan atau
psikologi. Bahkan para ahli telah mengembangkan ilmu yang disebut
sebagai "biblio-theraphy", yaitu terapi terhadap gangguan kejiwaan
anak-anak lewat buku-buku.

Organisasi swadaya masyarakat yang mempromosikan sastra anak-anak juga
tak kurang banyaknya. Ada yang
mengkhususkan diri dalam pemberian penghargaan terhadap sastra
anak-anak. Ada yang mengkhususkan diri
menerbitkan daftar buku yang direkomendasikan sebagai buku yang patut
dibaca anak-anak. Ada yang
mengkhususkan diri dalam bengkel latihan kepenulisan.
                     ***

Di Indonesia , bila membicarakan buku dalam kaitan dengan perkembangan
jiwa anak, kita masih memakai
pengertian yang umum yaitu buku anak-anak. Padahal buku anak-anak
mencakup buku fiksi dan non-fiksi. Dan
buku fiksi sendiri masih terbagi dalam dua penggolongan, yaitu fiksi
populer dan sastra.
Pengertian sastra anak-anak belum dikenal luas.

Bila dibandingkan dengan negara-negara Amerika Serikat, Eropa atau
Jepang, perkembangan buku anak-anak kita memang relatif masih
ketinggalan, baik dari segi kwalitas mau pun kwantitas. Tapi harus kita
akui, di antara buku anak-anak yang telah diterbitkan selama 50 tahun
ini, baik karya asli maupun terjemahan,  pasti terdapat sastra
anak-anak. Yang menjadi persoalan ialah, bahwa kita belum memiliki ahli
yang mau meneliti dan menemukan sastra di antara
ribuan judul buku anak-anak yang pernah diterbitkan itu.

Dalam waktu 50 tahun terakhir ini juga cukup banyak cerita pendek untuk
anak-anak yang telah diterbitkan di beberapa majalah anak-anak yang
pernah kita miliki. Di antara cerita-cerita pendek itu,pasti cukup
banyak karya yang layak diangkat dan dipromosikan sebagai sastra
anak-anak. Seperti H.B Jassin dahulu mengumpulkan cerita-cerita pendek
dalam Seri "Gema Tanah Air", maka kita juga menantikan munculnya
kritikus yang mau mengumpulkan cerita-cerita pendek anak yang bernilai
sastra dalam sebuah seri yang khusus.

Telah tiba juga saatnya bagi semua fihak untuk mulai mengadakan
penelitian dan membentuk bidang studi sastra anak-anak di fakultas
sastra, ilmu pendidikan atau psikologi kita.

Selama ini, untuk mengisi kekosongan karya asli, telah cukup banyak
penerbit Indonesia yang menerbitkan karya terjemahan sastra anak-anak
dari Amerika, Jepang atau negara-negara Eropa. Tapi karena kurangnya
promosi, karya sastra terjemahan yang baik ini tenggelam begitu saja dan
penerbit tidak berani meneruskan upayanya menerbitkan lebih banyak lagi
sastra anak-anak terjemahan. Sebagaimana halnya sastra untuk orang
dewasa, maka sastra untuk anak-anak juga tidaklah selalu identik dengan
kepopuleran. Tugas para ahli sastra anak-anaklah yang harus
mempromosikan atau
mempopulerkannya.

Selama ini sastra anak-anak karya pengarang asli Indonesia lebih
didominasi oleh tema-tema kemiskinan atau tema anak yang terpaksa harus
bekerja meringankan beban finansil orangtua. Padahal kegelisahan dan
ketakutan anak Indonesia bukanlah melulu disebabkan oleh faktor ekonomi.
Kegelisahan dan ketakutan anak Indonesia sama saja seperti yang dimiliki
oleh anak-anak dari berbagai bagian dunia lainnya.

Buku-buku yang menjawab ketakutan anak akan hantu, setan, monster atau
orang jahat, misalnya, masih bisa dihitung dengan jari. Demikian juga
dengan buku-buku yang menjawab kebingungan anak akan realitas sosial
seperti kebencian terhadap suatu ras, golongan, agama atau sukubangsa.
Peristiwa pemberontakan G-30-S PKI dan reaksi terhadap peristiwa
tersebut, misalnya, adalah suatu kenyataan dalam perjalanan sejarah
bangsa kita. Ada jutaan anak dari orang tua yang dituduh sebagai anggota
PKI atau terlibat dalam G-30-S, yang harus mengalami kebingungan dan
ketakutan. Tapi tampaknya belum ada satu buku anak-anak pun (sastra
anak-anak) yang bercerita mengenai hal tersebut.
Sementara terhadap politik perbedaan warna kulit seperti di AS, atau
kebencian terhadap orang asing di Jerman, banyak sekali sastra anak-anak
yang telah ditulis. Sastra anak-anak di AS atau Jerman membantu
anak-anak di negara tersebut untuk menilai apa yang telah dilakukan oleh
masyarakat dan memahami kekeliruan sejarah bangsanya.

Cerita-cerita fantasi yang bisa "menerbangkan" anak keluar dari perasaan
terkungkung oleh aturan dan norma
orang dewasa yang sering tak difahaminya, boleh dikatakan nyaris tak
ada.

Untuk mengisi kekosongan dan sekaligus menjadi sumber inspirasi bagi
pengarang-pengarang asli Indonesia , tidak ada salahnya kalau terjemahan
digalakkan. Tapi penerbitan terjemahan baru akan berguna kalau di
tengah-tengah kita telah hadir sejumlah ahli dan kritikus sastra
anak-anak. Para ahli dan kritikus inilah yang kita harapkan mau memilih
dan
merekomendasikan kepada para pendidik, pustakawan atau orangtua,  sastra
anak-anak yang layak untuk mereka
beli dan hadiahkan kepada anak.

Hal lain yang perlu dilakukan ialah mendorong hadirnya kelompok-kelompok
atau lembaga swadaya masyarakat di bidang sastra anak-anak.  Kelompok
ini bisa merupakan kelompok yang bergerak dalam penulisan, promosi,
pemberian hadiah atau penghargaan terhadap sastra terbaik atau pun
sekedar kelompok diskusi buku.
Pengembangan sastra anak-anak merupakan pekerjaan simultan dari
penerbit, kritikus, akademisi dan masyarakat.

Catatan:

Tulisan ini adalah pengembangan dari beberapa catatan pendek pengantar
diskusi, yang disampaikan oleh penulis dalam seminar cerita anak-anak di
Hilton Executive Club, Jumat 14 September 2001, yang diselenggarakan
oleh The Goethe Institute Jakarta.





[Non-text portions of this message have been removed]






=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida Arimurti

Jangan lupa simak IDA KRISNA SHOW SENIN HINGGA JUMAT di 99,1 DELTA FM
Jam 4 sore hingga 8 malam dan kirim sms di 0818 333 582.

=================================================================




YAHOO! GROUPS LINKS




Reply via email to