JEJAK HITAM SOEHARTO
Rakyat Merdeka, Rabu, 17 Mei 2006, 19:18:18
(1) Senyum Suharto: Yang Buram dari Manusia Langka



Penulis : Harsono Sutedjo
SUMBER informasi tentang Jenderal Suharto tentulah cukup melimpah, baik
sumber "klasik" seperti karya OG Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden
Soeharto, Prof Dr Donald W Wilson, The Long Journey From Turmoil To
Self-Sufficiency, tentu saja juga otobiografinya yang dituliskan oleh
Brigjen G Dwipayana dan Ramadhan KH dan masih banyak lagi, tentu
termasuk buku yang dicetak luks, Jejak Langkah Pak Harto. Belakangan
terdapat cukup banyak sumber "posmo" seperti Soeharto, Ramuan Kecerdasan
dan Masa Kecil yang Liat, berisi kajian kepribadian dan tingkah laku
politik, dan masih banyak lagi seputar Suharto dalam hubungannya dengan
pembahasan rezim Orba dengan segala macam aspek dan tetek bengeknya
(lihat Daftar Pustaka). Dan yang mutakhir adalah karya akademisi
Australia Robert E Elson, Suharto, A Political Biography (Oktober 2001)
yang diluncurkan di Jakarta pada 21 Januari 2002 di CSIS.

Hal ini amat berbeda bila kita hendak mencari informasi tentang DN
Aidit, Syam Kamaruzaman, Letkol Untung dan yang lain. Apalagi
bahan-bahan tentang mereka ini telah diringkus oleh penguasa Orba,
selama 32 tahun bagi mereka yang mencoba-coba hendak menyentuhnya serta
merta terkena palu subversi. Tentulah daya tarik Suharto jauh lebih
hebat, juga setelah tumbang, dengan bahan bertebaran di seluruh media
massa selama 32 tahun kekuasaan dan sesudahnya.

Hal itu tidak berarti bahwa segala sesuatu tentang Jenderal Suharto lalu
menjadi terang benderang. Masih sederet masalah yang buram, atau
barangkali sebagian akan tetap buram di sepanjang sejarah sampai ia
meningggalkan kita semua. Mungkin menarik untuk dianalisis dari segi
ilmu psikologi seperti yang dicontohkan oleh Laboratorium Psikologi
Sosial Universitas Indonesia terhadap Suharto berupa analisis
psikobiografi dan analisis kualitatif terhadap pidato-pidato nonteksnya
(Bagus Takwin cs 2001:8).

Mungkin saja Suharto menikmati timbulnya keburaman sejarah seputar
dirinya seperti soal Surat Perintah 11 Maret. Sedang keburaman tentang
soal Serangan Umum 1 Maret 1949, belakangan dengan telak telah
dibuktikan bahwa dengan sengaja telah disebarkan oleh Suharto.
Pembengkokan dan pemalsuan sejarah yang dilakukannya sekedar untuk
memberikan tambahan legitimasi terhadap dirinya.

Tidak berlebihan kalau sosok Suharto disebut sebagai manusia langka.
Selanjutnya muncul berbagai macam spekulasi akan latar belakang
keluarga, budaya, pendidikan, serta strategi dan taktiknya untuk
mendapatkan kekuasaan (Bagus Takwin cs 2001:11). Mungkin sekali hal ini
berhubungan dengan berbagai keburaman yang sengaja atau tidak sengaja
ditebar sekitar dirinya sebagaimana riwayat Ken Arok pun penuh misteri,
yang melalui pundak kambing hitam Kebo Ijo telah melakukan kudeta
terhadap raja Jayakatwang dari Tumapel pada abad ke 13, bahkan sekaligus
mempersunting permaisuri cantik jelita Ken Dedes.

Buku asli OG Roeder berjudul The Smiling General, President Soeharto of
Indonesia (Gunung Agung, 1969). Seperti kita ketahui di depan publik
Suharto memang boleh dibilang selalu tersenyum. Dalam kata pendahuluan
ditulis, "Dengan senyum khas menyelubungi segala emosi yang sanggup
membikin para diplomat kehilangan akal..." (Roeder, 1977:xiii).

Dalam buku lain yang ditulisnya, Indonesia, A Personal Introduction
(1987), Roeder mengartikan senyum orang Indonesia dapat juga "be
ironical, cunning and tricky" ("berarti kebalikannya, licik dan penuh
tipu daya"), kita tidak tahu yang mana mungkin hendak diterapkan oleh
Roeder untuk senyum Suharto.

Suharto memulai karier militernya sebagai kopral KNIL (Koninklijk
Nederlands-Indisch Leger) alias tentara penjajah Belanda pada 1940-an di
Batalion XIII di Rampal, Malang. Karena prestasinya ia segera naik
pangkat menjadi sersan. "Kariernya menjadi buah pembicaraan kawan-kawan
sesama tentara, oleh karena umumnya orang-orang dari Jawa mengalami
diskriminasi dalam KNIL jika dibandingkan dengan orang Maluku dan
Sulawesi Utara yang dianggap 'lebih setia'." (Roeder 1977:171).

Perjalanan karier yang cemerlang ini di samping karena ketekunan Kopral
KNIL Suharto tentunya juga kesetiaannya menjadi pertimbangan penting.
Pada saat yang sama Bung Karno dan banyak pemimpin perlawanan terhadap
penjajahan Belanda sedang mengalami pembuangan; bahkan seorang jurnalis
perintis, pemimpin Sarekat Islam sekaligus sastrawan komunis Mas Marco
telah beberapa tahun meninggal di pembuangan Boven Digul*. (Bersambung)


*Mas Marco [Kartodikromo] (1890-1935), pernah menjabat Sekretaris
Sarekat Islam Sala, pendiri Inlandsche Journalisten Bond 1914. Karena
artikel-artikelnya ia dijebloskan ke penjara pada 1917-1919. Ia masuk
PKI bersama Semaun, Darsono, Tan Malaka, Alimin dsb. Dibuang ke Boven
Digul pada 1927 dan meninggal di sana pada 1935. Salah satu novelnya
Student Hijo (1918) telah diterbitkan kembali pada tahun 2000 dalam dua
versi masing-masing oleh Aksara Indonesia dan Bentang, keduanya dari
Yogya.



JEJAK HITAM SOEHARTO
Rakyat Merdeka, Rabu, 17 Mei 2006, 19:55:23
(2) Suharto dan Tujuh Jenderal Korban G30S

Penulis : Harsono Sutedjo
PERTAMA-TAMA perlu kita simak bagaimana hubungan Mayjen Suharto dengan
ketujuh jenderal rekannya yang kemudian menjadi target pembunuhan G30S.
Menurut Letkol Untung mereka tergabung dalam Dewan Jenderal yang akan
melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno. Jenderal Nasution luput dari
percobaan penculikan dan pembunuhan, sedang enam jenderal yang lain yang
terbunuh, Letjen Ahmad Yani, Mayjen Suprapto, Mayjen S Parman, Mayjen
Haryono MT, Brigjen Sutoyo, Brigjen Panjaitan.

Ketika Kolonel Suharto menjabat sebagai Panglima Diponegoro, ia dikenal
sebagai sponsor penyelundupan dan berbagai tindak pelanggaran ekonomi
lain dengan dalih untuk kesejahteraan anak buahnya. Suharto membentuk
geng dengan sejumlah pengusaha seperti Lim Siu Liong, Bob Hasan, dan Tek
Kiong, konon masih saudara tirinya. Dalam hubungan ini Kolonel Suharto
dibantu oleh Letkol Munadi, Mayor Yoga Sugomo, dan Mayor Sujono
Humardani. Komplotan bisnis ini telah bertindak jauh antara lain dengan
menjual 200 truk AD selundupan kepada Tek Kiong.

Persoalannya dilaporkan kepada Letkol Pranoto Reksosamudro yang ketika
itu menjabat sebagai Kepala Staf Diponegoro, bawahan Suharto. Maka MBAD
membentuk suatu tim pemeriksa yang diketuai Mayjen Suprapto dengan
anggota S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo. Langkah ini diikuti oleh surat
perintah Jenderal Nasution kepada Jaksa Agung Sutarjo dalam rangka
pemberantasan korupsi untuk menjemput Kolonel Suharto agar dibawa ke
Jakarta pada 1959. Ia akhirnya dicopot sebagai Panglima Diponegoto dan
digantikan oleh Pranoto. Kasus Suharto tersebut akhirnya dibekukan
karena kebesaran hati Presiden Sukarno (D&R, 3 Oktober 1998:18).

Nasution mengusulkan agar Suharto diseret ke pengadilan militer, tetapi
tidak disetujui oleh Mayjen Gatot Subroto. Kemudian ia dikirim ke
Seskoad di Bandung. Suharto sendiri dalam otobiografinya mencatat
persoalan itu sebagai menolong rakyat Jawa Tengah dari kelaparan, maka
ia mengambil prakarsa untuk melakukan barter gula dengan beras dari
Singapura (Soeharto 1989:92). Ia tidak menyinggung sama sekali adanya
tim penyelidik dari MBAD. Selanjutnya ketika Suharto hendak ditunjuk
sebagai Ketua Senat Seskoad, hal itu ditentang keras oleh Brigjen
Panjaitan dengan alasan moralitas (Detak, 5 Oktober 1998:5), artinya
moral Suharto sebagai manusia, apalagi sebagai prajurit, tidak dapat
dipertanggungjawabkan.

Silang pendapat dengan Jenderal Yani lebih serius, hal itu bersangkutan
dengan bagaimana seharusnya peranan Kostrad dengan merujuk sejarah
Kostrad (Crouch 1999:104). Demikianlah sedikit banyak Suharto memiliki
pengalaman pribadi yang tidak menyenangkan dengan ke tujuh rekannya
tersebut dalam perjalanan kariernya. Selama 32 tahun kekuasaannya para
anggota geng Suharto mendapatkan tempat terhormat yang setimpal,
sebaliknya dengan lawan-lawannya termasuk Jenderal Nasution setelah
dicopot sebagai ketua MPRS dan juga dengan Mayjen Pranoto yang kemudian
ditahan bertahun-tahun tanpa proses. Perkembangan sejarah menunjukkan
bahwa Suharto benar-benar tidak "sebodoh" yang diperkirakan Jenderal
Nasution, juga tidak sekedar koppig seperti yang disebut oleh Bung
Karno.

Jenderal Suharto dan Jenderal Suwarto

Di Bandung Kolonel Suharto bertemu dengan Kolonel Suwarto, Wadan
Seskoad, hal ini sangat berpengaruh terhadap perjalanan hidup Suharto
selanjutnya. Sekolah Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung yang
telah berdiri sejak 1951 ini merupakan sebuah think tank AD, pendidikan
militer Indonesia tertua, terbesar dan paling berpengaruh. Seskoad telah
menjadi tempat penggodogan perkembangan doktrin militer di Indonesia.
Sampai 1989 telah meluluskan 3500 perwira. Para alumninya menjadi tokoh
terkemuka dalam pemerintahan. Hampir 100 orang menjadi sekretaris
jenderal, gubernur, pimpinan lembaga-lembaga nasional atau badan-badan
non departemental. Presiden, Wakil Presiden, dan lebih 30 menteri
merupakan alumni Seskoad.

Suwarto sendiri pernah menempuh pendidikan Infantry Advance Course di
Fort Benning pada 1954 dan Command and General Staff College di Fort
Leavenworth, AS pada 1958. Ia bersahabat dengan Prof Guy Pauker,
konsultan RAND (Research and Development Corporation) yang dikunjunginya
pada 1963 dan 1966. Suwartolah yang menjadikan Seskoad sebagai think
tank politik MBAD, mengarahkan para perwira AD menjadi pemimpin politik
potensial (Sundhaussen 1988:245).

Seskoad memancarkan pamornya sebagian besar karena jasa Suwarto, sangat
besar perannya dalam perkembangan politik. Karena jasanya pula maka
Seskoad menjadi pusat pemikiran politik serta menghadapi perkembangan
PKI (Hidayat Mukmin 1991:125). Guy Pauker adalah pengamat masalah Asia,
orang penting dalam Rand Corporation, kelompok pemikir (think tank)
CIA*. Sejak itu Seskoad biasa disebut sebagai negara dalam negara,
membuat garis politiknya sendiri, bahkan mempunyai perjanjian kerjasama
dan bantuan dari AS terlepas dari politik pemerintah RI.

Suharto, murid baru yang masuk pada Oktober 1959 ini telah mendapatkan
perhatian besar dari sang guru. Pada awal 1960-an Suharto dilibatkan
dalam penyusunan Doktrin Perang Wilayah serta dalam kebijaksanaan AD
dalam segala segi kegiatan pemerintah dan tugas kepemerintahan. Peran
Suharto dalam civic mission menempatkan dirinya dan sejumlah opsir yang
condong pada PSI dalam pusat pendidikan dan pelatihan yang disokong oleh
CIA lewat pemerintah AS, suatu program bersifat politik (Scott 1999:81).
Pada masa Bandung Kolonel Suharto inilah agaknya hubungan
Suwarto-Syam-Suharto-CIA mendapatkan dimensi baru (Hanafi 1998:20-25).

Penyempurnaan Doktrin Perang Wilayah dan civic mission menjadi suatu
doktrin strategis intervensi politik AD menjelang 1965, suatu proses
ideologis mempersiapkan dan mematangkan AD dalam melakukan pengoperan
kekuasaan. Perkembangan selanjutnya, Jenderal Suwarto menjadi orang
penting sebagai penasehat politik Jenderal Suharto. Doktrin tersebut
yang mewarnai pernyataan Jenderal Suharto pada 16 Agustus 1966 untuk
memenuhi desakan Pauker bahwa AD harus memainkan peran kepeloporan di
semua bidang (Scott 1999:82).

Dalam sambutannya ketika melantik Letjen Panggabean menjadi Wapangad
pada hari tersebut, Jenderal Suharto mengatakan bahwa pengesahan
Supersemar oleh MPRS berarti penugasan pemerintahan dengan ruang lingkup
luas. Hal itu merupakan penghargaan dan kepercayaan kepada ABRI umumnya
dan AD khususnya. Doktrin Tri Ubaya Cakti yang telah menegaskan tuntutan
AD untuk memiliki peran politik mandiri disusun kembali oleh Jenderal
Suwarto dan mengenai peran AD ditegaskan lebih lanjut seperti penekanan
Pauker dalam peran kontra revolusionernya (Scott 1999:82-83). Dengan
belajar dari Rand Corporation kemudian Ali Murtopo cs dengan restu
Suharto mendirikan lembaga kajian yang disebut CSIS (Centre for
Strategic and International Studies) sebagai think tank Orde Baru.
(Bersambung)



* Rand Corporation didirikan pada 1948, mula-mula sebagai think tank AU
Amerika (USAF) kemudian meluas bagi pemerintah AS. Kajian yang
dilakukannya di samping masalah-masalah militer juga meliputi masalah
politik, sosial, ekonomi, budaya, hubungan internasional,
kekuatan-kekuatan lokal-regional-global. Kaki mereka berpijak pada
pemerintah AS (CIA), lembaga pendidikan tinggi, dan
perusahaan-perusahaan industri raksasa. Badan ini melakukan kontak dan
hubungan informal termasuk dengan Seskoad di Bandung (Lihat Harry Tjan
Silalahi 'Think Tank' dalam CSIS Sekar Semerbak, Kenangan Untuk Ali
Moertopo, Yayasan Proklamasi CSIS, Jakarta, 1985:334-341).

JEJAK HITAM SOEHARTO
Rakyat Merdeka, Kamis, 18 Mei 2006, 17:42:25
(3) Suharto dan Feodalisme Baru

Penulis : Harsono Sutedjo
SEMENTARA orang menganggap Suharto termasuk tokoh langka, ia berkuasa
selama 32 tahun terus-menerus tanpa istirahat sejenak pun. Sepanjang
kekuasaannya ia terus-menerus mematerikan sosok dirinya agar menjadi
ciri tak terpisahkan dari bangsa ini. Ia biasa berbicara dengan
menggunakan akhiran 'ken' dan 'aken' yang tidak dikenal dalam bahasa
Indonesia yang baik dan benar alias bahasa baku, dan ini memang
digunakan oleh banyak penutur bahasa Jawa ketika berbahasa Indonesia,
terutama dalam jaman baheula. Di samping itu ia tak putus-putusnya
menggunakan gaya bahasa khas dirinya yakni 'daripada' dan 'semangkin'
yang sudah begitu dikenal oleh seluruh bangsa dan yang sering membuat
kesal pemerhati bahasa Indonesia.

Dan pada jamannya gaya itu, lengkap dengan 'ken' dan 'aken',
beramai-ramai diteladani oleh para pembesar Orde Baru, sejak yang
berasal dari suku Batak sampai Papua dan suku lain, tak usah dibilang
lagi yang berasal dari suku Jawa.

Ketika berkuasa Suharto amat menyukai segala macam upacara seremonial
yang biasanya menghabiskan waktu dan biaya serta melibatkan banyak
tenaga. Upacara-upacara semacam itu tentu saja beramai-ramai diteladani
juga oleh para pengikutnya yang takut ketinggalan kereta. Pada ujungnya
upacara semacam itu melibatkan para pengusaha dan rekanan dengan
punglinya. Hal ini selalu diacungi jempol oleh Suharto sebagai
memelihara dan melestarikan budaya bangsa, sementara apa yang dinamai
pembangunan telah merusak budaya suku-suku Papua atau Dayak misalnya,
sementara rezim Orba sedang membangun dan memelihara feodalisme baru.

Seperti kita ketahui Suharto amat menyukai simbol-simbol budaya Jawa.
Ketika membicarakan Bapak Bangsa Sukarno lama setelah wafatnya, tak
jemu-jemunya ia mengucap mikul dhuwur mendhem jero, seolah ia
benar-benar orang yang menghormati Bung Karno, menghormati jasa-jasanya,
tidak ingin dan tidak suka mengungkit-ungkit kesalahan dan aibnya,
seolah tak ingin sedikit pun melukai hati para kerabat dan pengikut
setia Bung Karno. Tetapi apa sebenarnya yang telah diperbuatnya terhadap
Bung Karno sebagai Presiden maupun sebagai pribadi setelah kekuasaannya
ia jarah? Terutama pada tahun-tahun akhir hayatnya, Bapak Bangsa itu
sungguh-sungguh diperlakukan dengan tidak adil dan sewenang-wenang oleh
rezim Suharto dan Suharto pribadi.

Mungkin ada orang yang mengatakan berlebihan kalau penulis menyimpulkan
bahwa Suharto merupakan tipe orang yang munafik, bertolak belakangnya
antara kata dan perbuatan. Coba bayangkan Suharto dengan senyum tipis
cerah memberikan perintah kepada seorang komandan tempur: "Bereskan!"
Sang komandan bisa berdegup jantungnya karena itu artinya tak lain
daripada 'bunuh'.

Kata-kata mikul dhuwur mendhem jero itu ia ulangi berkali-kali pada masa
akhir kekuasaannya. Agaknya ia memberikan sinyal atau menuntut
diperlakukan sebaik-baiknya ketika tak lagi menjadi presiden nanti
karena jasa-jasanya telah memberikan corak warna luar biasa pada negara
dan bangsa ini, lengkap dengan juara dunia korupsinya. Pendeknya jangan
diungkit-ungkit aib korupsi yang memalukan bangsa ini, sedang jutaan
rakyat menderita berkepanjangan antara lain karena ulah para koruptor
itu.

Ungkapan Jawa itu pun diartikan Suharto sebagai menjaga rahasia
keluarga, kalau perlu dengan pengorbanan jiwa dan raga. Dalam rangka
menjaga nama baik keluarga inilah diduga orang sebagai faktor yang
mempengaruhi perilaku politiknya, terutama dalam menutupi dan membela
perilaku buruk [dan jahat, hs] bisnis anak-anaknya (Bagus Takwin cs
2001:25).

Ada ungkapan-ungkapan Jawa lain yang tidak begitu populer. Suharto
pernah mengucapkan tekad yang berbunyi apa mukti apa mati, tekad itu
diperkuat dengan tiji tibeh (mati siji mati kabeh), mati untuk mukti
bersama kroninya, sesuatu yang tidak dikenal dalam ajaran Jawa. Suharto
juga dikenal sebagai "penganut kejawen", antara lain melaksanakan apa
yang disebut sebagai laku prihatin, yang konon dipraktekkan oleh Suharto
misalnya dengan kungkum di sungai pada tengah malam gelap gulita sesuai
dengan petunjuk sang "penasehat spiritual" alias pak dukun sebagai yang
sering didesas-desuskan. Masih dalam kerangka petunjuk ini terdapat
catatan seorang mantan tapol di Nusakambangan yang mungkin belum pernah
diceritakan orang.

Menjelang pemilu tahun 1971, dengan helikopter datang tamu istimewa ke
Nusakambangan, Brigjen Sujono Humardani, pembantu [dukun] penting
Presiden Suharto. Ia tidak mengenakan seragam jenderalnya, tetapi
memakai pakaian adat Jawa, juga semua pengiringnya. Maka sejumlah [budak
bernama] tapol dikerahkan untuk memikul perahu kayu ke pantai selatan
Nusakambangan dengan menembus hutan bagi rombongan sang jenderal untuk
mengangkutnya menuju sebuah pulau kecil tak jauh dari pantai.

Konon di pulau itu tumbuh kembang Wijayakusuma yang sudah begitu
tersohor dalam dongeng di kalangan suku Jawa. Jenderal Humardani bertapa
seorang diri di pulau tersebut, menunggu merekahnya kembang
Wijayakusuma. Konon hal itu atas permintaan Suharto, atau barangkali
usulan Humardani yang disetujui Suharto. Tugas pun diselesaikan dengan
sukses karena bunga Wijayakusuma kembang merekah ketika Jenderal
Humardani menyepi di situ, hal itu pertanda pemilu akan dimenangkan oleh
Golkar. Demikian catatan yang sempat dibuat seorang tapol (Ir Djoko Sri
Muljono, naskah belum terbit, 1999).

Tentu masih segar dalam ingatan kita semua akan kata-kata Suharto yang
juga diucapkan beberapa kali sebelum benar-benar turun, atau terpaksa
turun oleh tekanan rakyat dengan mahasiswa sebagai pelopornya, lengser
keprabon, atau lengkapnya lengser keprabon madeg pandhito ratu. Memang
selama berkuasa ia bertindak sebagai Raja RI. Ketika Ramadhan KH mulai
menyusun Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, maka Brigjen G
Dwipayana begitu hormatnya dengan bahasa Jawa krama halus sambil
mengangkat ibu jarinya dengan kata-kata meniko, meniko (Ramadhan dalam
Chambert-Loir1999:585).*

Dalam salah satu kesempatan Ramadhan, si penulis mempertanyakan kalimat
Suharto berikut kepada Dwipayana, "Mengenai kesalahan, saya berpikir,
'Siapa yang mengukur salah itu? Siapa yang menyalahkan?' Sekarang,
misalnya, pekerjaan saya sudah saya laksanakan, berjalan baik dan
berhasil, menurut ukuran saya. Tetapi kalau ada orang lain yang melihat
hasil pekerjaan saya itu dari segi yang lain, lalu menilai salah atau
gagal, maka saya akan berkata, 'Itu urusan mereka'. Saya percaya, bahwa
apa yang saya kerjakan, setelah saya memohon petunjuk dan bimbingan-Nya,
itu adalah hasil bimbingan Tuhan" (Soeharto 1989:563).

Maka Dwipayana menjawab, "Begitulah Pak Harto. Dan pemimpin Jawa tidak
boleh kelihatan cacatnya di depan rakyat" (Ramadhan/Chambert-Loir
1999:599). Demikianlah pada saat Sang Raja RI tanpa cela mengundurkan
diri baik-baik dengan kemauan baiknya untuk selanjutnya mengabdikan
dirinya kepada Yang Maha Agung sebagaimana dongeng raja-raja jaman
dahulu kala, tentulah akan diperlakukan baik-baik juga.

Bagaimana mungkin seorang yang mempunyai kemauan begitu baik,
mengundurkan diri dan melepaskan diri dari segala kekuasaan, guna
mengabdi kepada sesuatu yang lebih tinggi, akan diseret sebagai koruptor
penjahat kriminal? Bagaimana mungkin seorang semacam itu hendak diseret
ke pengadilan lain karena kejahatan terhadap kemanusiaan? Bahkan Prof
Richard Tanter dari Kyoto Seika University menyarankan adanya pengadilan
internasional bagi Jenderal Suharto dan sejumlah jenderal lain karena
kejahatan terhadap kemanusiaan, paling tidak dua kejahatan besar yakni
pembunuhan besar-besaran pada 1965/1966 serta pembunuhan ratusan ribu
warga Timor Lorosae ketika dicaplok oleh Indonesia Orde Baru (Tanter
Inside Indonesia Jul-Sept 1998:1).

Ada kejahatan "lebih kecil" yang terang-terangan diakui Presiden Suharto
pada 1988 dalam otobiografinya, yakni apa yang disebut 'penembak
misterius' alias 'petrus' yang telah membunuh ribuan mereka yang disebut
terlibat kejahatan kriminal keterlaluan. Suharto mengakui bahwa itu
perintahnya. "Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk
shock therapy, terapi goncangan." (Soeharto 1989:389-390). Dengan yang
"kecil" ini saja Suharto sudah dapat diseret ke meja hijau. Seperti kita
ketahui para 'petrus' itu setelah membunuh korbannya secara gelap,
sering memasukkan mayat itu ke dalam karung dan meletakkan di pinggir
jalan, di perempatan, dilempar ke kali dsb yang mudah dilihat khalayak
ramai.

Sebelumnya ketika PBB pun mempersoalkan kejadian itu, maka bahasa
diplomatik pun menjelaskan sebagai "itu terjadi karena tembak-menembak
antargeng" (Ramadhan/Chambert-Loir 1999:590). (Bersambung)




1 Ketika Ramadhan menjawab mau pikir-pikir untuk menuliskan riwayat
Suharto, maka Birgjen G Dwipayana menyatakan, ".saya tidak mau dengar
Pak Ramadhan menolak!" Sang penulis pun seperti terpaksa mengingat
isterinya sebagai pegawai negeri, ".Mau coba-coba melawan keinginan
Presiden Soeharto waktu itu?" Selanjutnya ".di tengah suasana yang sudah
mencekam terbentuk menakutkan kalau kita melawannya". Pada penutup
penuturannya Ramadhan menyatakan, "Waktu pekerjaan saya rampung sudah
dan bukunya terbit, bukan main senangnya saya.".



JEJAK HITAM SOEHARTO
Rakyat Merdeka, Jumat, 19 Mei 2006, 11:52:53
(4) Suharto, Semar dan Supersemar

Penulis : Harsono Sutedjo
Seperti kita ketahui dalam pewayangan Jawa, Semar bukan sekedar ayah
spiritual anak-anaknya yakni Gareng, Petruk dan Bagong, ia juga pengasuh
para ksatria. Di samping itu Ki Semar juga merupakan aktualisasi atau
penjelmaan Dewa dari kahyangan untuk ikut melempangkan kehidupan dunia
manusia yang carut-marut. Ki Semar dan kerabatnya selalu membuat
gara-gara dalam artian positif dalam adegan goro-goro ketika para
penonton wayang kulit semalam suntuk mulai mengantuk maka mereka perlu
dibangunkan dengan mengocok perut, berisi celetukan dan sekaligus kritik
santai dan kocak tentang kehidupan sehari-hari.

Ki Semar selalu memberikan pendapat dan nasehatnya yang bijak bestari
bukan saja kepada kerabatnya, utamanya juga kepada para ksatria yang
resminya menjadi majikan tempat mereka mengabdi.

Dalam banyak kesempatan pada puncak kekuasaannya, Suharto
mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh Semar, penjelmaan sang dewata.
Bagi Suharto bukanlah kebetulan kalau ia ditakdirkan untuk menjadi
pengemban apa yang disebut Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret),
Semar yang super, lebih dari sekedar Ki Semar. Jean-Luc Maurer menyebut
akronim ini sebagai "mahabintang permainan kata-kata akronim" sepanjang
Orba. Seperti ditulis Niels Mulder,

".tak bisa disangkal bahwa banjir formula bak mantra (seperti
Kebangkitan Nasional Kedua, tinggal landas, manusia Pancasila, Pesta
Demokrasi, poleksosbudhankam..), semakin menggila pada zaman Orde Baru.
Kemunculannya saja sudah diawali dengan kata bertuah Supersemar, yang
mendatangkan berkah Tuhan Jawa, nenek moyang ras Jawa. Kata Super itu
bahkan menunjuk manifestasi ketuhanannya yang sempurna." (Mulder
2001:99).

Di sepanjang sejarah modern di Jawa ketika krisis memuncak dan
terus-menerus mendera kehidupan rakyat luas sebagai tak tertanggungkan,
maka harapan akan datangnya Ratu Adil menjadi kepercayaan yang menghibur
rakyat banyak dan membuatnya bertahan hidup.

"Belakangan harapan mesianistis seperti itu tampaknya dilekatkan pada
Semar, roh penunggu Jawa jang. mereprentasikan rakyat jelata berikut
kesengsaraan mereka" (Mulder 2001:24).

Dengan raibnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) sampai saat ini,
sedang yang ada dua macam fotokopi, maka tak lain seluruh tindakan
Jenderal Suharto berdasarkan surat perintah palsu atau yang dipalsukan.
Dan itulah yang selalu digembar-gemborkan Suharto sebagai tindakan
konstitusional yang diamini lembaga tertinggi negara MPRS dan para pakar
pendukungnya.

Suharto: 'Mr Alibi'

Dengan agak kocak tetapi dengan landasan sejarah yang amat menarik untuk
diteliti lebih cermat, sejarawan Dr Asvi Warman Adam memberikan julukan
kepada Jenderal Besar Suharto sebagai 'Mr Alibi'. Yang dimaksudkan
sejarawan ini, Suharto ahli dalam mencari alibi, orang patut
mencurigainya.

Ketika terjadi G30S ia berada di rumahnya di Jl Haji Agus Salim setelah
pulang dari RSPAD Gatot Subroto dan segera tidur. Waktu Supersemar ia
tidak menghadiri sidang kabinet dan juga tidak menghadap Presiden
Sukarno dengan alasan sakit, padahal malam harinya memimpin rapat di
Kostrad. Ketika terjadi kerusuhan 13-14 Mei 1998 ia ada di Kairo.

Julukan Mr Alibi ternyata tepat bila kita runut riwayat Suharto ke
belakang. Sejak dini sebagai Republik muda, negeri ini telah diliputi
gonjang ganjing politik di samping menghadapi ancaman kembalinya
penjajah Belanda. Salah satu peristiwa menggemparkan yang tersohor
selama revolusi fisik yakni penculikan Perdana Menteri Syahrir pada 28
Juni 1946 dan percobaan kudeta yang terkenal dengan Peristiwa 3 Juli
1946.

Letkol Suharto sebagai Komandan Resimen yang membawahi Yogyakarta
sebagai ibukota Republik ketika itu berada juga di balik komplotan
tersebut. Pada 2 Juli 1946 dua batalion tentara komplotan berkumpul di
markas Letkol Suharto, lalu dikerahkan untuk menguasai beberapa sektor
strategis seperti RRI dan Telkom. Satu batalion di bawah Letkol Suharto,
yang lain di bawah Mayor Abdul Kadir Yusuf. Setelah itu mereka menyerbu
penjara Wirogunan untuk membebaskan para penggerak penculikan Syahrir
dan dibawa ke markas Suharto.

Keesokan harinya percobaan kudeta 3 Juli 1946 gagal. Pada saat yang
tepat Suharto berbalik arah, ia menangkapi anggota komplotan, yang
sebagian sudah ada di markasnya. Ia berdalih keberadaannya dalam
komplotan untuk menggagalkan mereka. Seperti dicatat dalam sejarah
komplotan itu dikendalikan oleh kelompok Tan Malaka bersama Mayjen
Sudarsono, Panglima Divisi III Yogyakarta, atasan langsung Letkol
Suharto.

Menurut pengakuan Suharto kepada penulis biografinya, setelah ia
dipanggil oleh Presiden Sukarno yang ketika itu mengambil alih
pemerintahan untuk sementara di tangannya dengan perintah menangkap
Mayjen Sudarsono, ia "mengundang" atasannya itu ke markasnya dan
melakukan "musyawarah". Selanjutnya pengakuan Suharto menyatakan ia akan
melindungi pemerintah terhadap komplotan jahat dari perwira-perwira yang
memberontak.

Kemudian Suharto juga mencatat bahwa karena atasannya Mayjen Sudarsono
hendak menipu dirinya karena ia dianggap tidak mengerti persoalannya,
maka ia pun kemudian ganti menipunya dengan melaporkan ke Istana
Presiden tentang rencana atasannya tersebut. Keesokan harinya pada 3
Juli ketika Mayjen Sudarsono cs muncul di istana, mereka ditangkap
pengawal (Soeharto 1989:38).

Dengan berlalunya berbagai kemelut maka Suharto muda mencatat, "Saya
sebagai perwira muda saat itu sadar tidak akan melibatkan diri ke dalam
politik. Saya membaca berbagai peristiwa politik itu, dan dengan
diam-diam saya menganalisanya" (Soeharto 1989:50). Benar, Suharto
berulang kali berhasil berkelit dan melewati berbagai kemelut dan
krisis, pada puncaknya dengan sukses ia memanjat pundak mereka yang
dikorbankannya pada 1 Oktober 1965.

Pada akhir 1956 ketika rencana pengangkatan Kolonel Bambang Supeno
sebagai Pangdam Diponegoro bocor, terjadi rapat gelap di Kopeng dihadiri
sejumlah perwira yang dikoordinir oleh Letkol Suharto melalui anak
buahnya Mayor Yoga Sugomo sebagai Asisten I Divisi di Semarang, Suharto
sendiri tidak hadir. Dari puluhan perwira yang hadir hanya Kolonel dr
Suhardi yang menandatangani setuju pencalonan Letkol Suharto dan menolak
pencalonan Kolonel Bambang Supeno sebagai Pangdam. Suharto yang ingin
merebut kedudukan ini berpacu dengan waktu karena pencalonan Bambang
Supeno tinggal menunggu tanda tangan Presiden. Akhirnya komplotan
tersebut berhasil.

Seandainya tidak, maka rapat gelap itu akan diusut, dan yang paling
terbukti adalah Kolonel dr Suhardi, sedang Suharto tidak terbukti
tersangkut karena Suharto menjadi 'Mr Alibi'. Masalah tersebut dicatat
juga oleh Ali Murtopo yang ketika itu Kapten dan Komandan Raiders yang
diminta Yoga Sugomo untuk melakukan operasi intelijen soal pencalonan
Suharto (Yoga Sugomo 1990:20-30). Selanjutnya Yoga Sugomo mencatat bahwa
rapat di Kopeng itu dihadiri oleh Sudarmo Djojowiguno, Suryo Sumpeno,
Surono, Pranoto, Suwito Haryoko (Asisten II), Suwarno (Asisten IV), dan
Munadi (AsistenV). Ia dan Mayor Suryo Sumpeno berangkat ke Jakarta
menemui Kolonel Zulkifli Lubis di MBAD untuk menggagalkan pencalonan
Bambang Supeno dan menggantinya dengan Suharto. Usaha mereka berhasil
(Yoga Sugomo 1990:80-82).

Inilah trio pertama Suharto-Ali Murtopo-Yoga Sugomo. Trio ini pula kelak
melakukan usaha-usaha menikam politik konfrontasi Presiden Sukarno
dengan penyelundupan ke Malaysia dan Singapura serta kontak-kontak
politik gelap dengan pihak Malaysia melibatkan tenaga militer, politisi
sipil anti komunis, pengusaha. Kontak-kontak trio ini di lapangan
melibatkan Ali Murtopo, Benny Murdani, AR Ramly, selanjutnya di Malaysia
dengan Des Alwi, Prof Sumitro (Yoga Sugomo 1990:139; Hanafi 1998:206).

Trio ini pula kemudian menangani peristiwa G30S. Pagi-pagi pada 1
Oktober 1965 sebelum orang lain mengetahui keadaan yang sebenarnya,
Kolonel Yoga menyatakan, ".Ini mesti perbuatan PKI.". Selanjutnya,
"Siapkan semua penjagaan, senjata, bongkar gudang. Ini PKI berontak".
Selanjutnya Letkol Ali Murtopo mencatat, ".berdasar penjelasan Pak Yoga
kepada Pak Harto, maka kita bertiga kumpul lagi di ruang Pak Harto.
Disini kita tentukan lagi nasib bangsa selanjutnya" (Yoga Sugomo
1990:37,148). Yang dimaksud Ali Murtopo dengan kata 'lagi' dalam "Di
sini kita tentukan lagi nasib bangsa selanjutnya", bahwa komplotan
semacam itu telah pernah mereka lakukan sebelumnya ketika merancang
operasi intelijen perebutan jabatan Panglima Diponegoro untuk Suharto
seperti tersebut di atas.

Ketika Jenderal Suharto sudah menjadi Pejabat Presiden, pada 7 Juli 1967
di Yogya para Panglima AD se Jawa dan Panglima Kostrad serta RPKAD
mengeluarkan pernyataan keras agar diambil tindakan tegas terhadap siapa
pun yang hendak mengembalikan kekuasaan pemimpin Orla Dr Ir Sukarno.
Dalam 'Sumpah Yogya' ini tidak terdapat tandatangan Jenderal Suharto
(Roeder 1977:249). Rupanya ini 'Mr Alibi' yang lain.

Demikianlah Suharto dengan amat cerdiknya bagaikan dongeng Sang Kancil
selalu berada di tempat yang aman, berkelit dari berbagai macam gejolak
dan memetik buah untuk keuntungannya sendiri, muncul dengan senyum tipis
penuh misteri sebagai pemenang. (Bersambung)

JEJAK HITAM SOEHARTO
Rakyat Merdeka, Jumat, 19 Mei 2006, 11:59:51
(5) Suharto Penuh Dusta

Penulis : Harsono Sutedjo
DALAM analisis psikobiografi dan analisis kualitatif berdasar teori
kepribadian dan tingkah laku politik oleh Laboratorium Psikologi UI
disebutkan bahwa ungkapan verbal Suharto tampil sebagai upaya untuk
memberikan penjelasan sekaligus memberikan dalih (Bagus Takwin cs
2001:44) alias alasan yang dicari-cari untuk membenarkan tindakan itu.
Di samping itu terdapat sejumlah indikasi kebohongan dalam
penjelasannya. Ketika menjelaskan pembelian kapal perang bekas dari
Jerman, Suharto menyatakan tidak setahu Menristek Habibie, karena yang
bersangkutan ketika itu tidak dapat dihubungi, ternyata ia pergi ke
Jerman (Bagus Takwin cs 2001:45-46). Terdapat penjelasan terhadap
serentetan kejadian yang nampak jelas Suharto cenderung berbohong, atau
kemudian terbukti jelas-jelas berbohong.

Riwayat Suharto sendiri di sana sini terdapat beberapa hal yang buram,
tentang ayahnya, tentang saudara-saudaranya, hingga timbul berbagai
spekulasi. Konon ia mempunyai seorang saudara tiri bernama Tek Kiong
alias Sutikno, seorang pengusaha yang siap menggantikannya masuk tahanan
dalam hubungannya dengan kejahatan ekonomi yang dilakukan Kolonel
Suharto sebagai Panglima Diponegoro (D&R, 3 Oktober 1998:18). Suharto
membentuk geng ekonomi bersama Lim Siu Liong, Bob Hasan, anak angkat
Jenderal Gatot Subroto dan Tek Kiong, sang saudara tiri.

Di masa konfrontasi terhadap Malaysia, Indonesia melakukan embargo
terhadap Malaysia dan Singapura. Sementara itu AL dan AU melakukan
penetrasi ke kedua tempat tersebut, kebanyakan mengalami kegagalan.
Dalam suatu rapat ketika Ali Sadikin sebagai Menteri Perhubungan Laut
mempertanyakan adanya penyelundupan ke Malaysia dan Singapura, Suharto
menjelaskan bahwa sudah lama ia melakukan penetrasi pasukannya ke
Malaysia. Martadinata sebagai Menteri Panglima AL membantah kebenaran
keterangan Suharto, dengan kata lain hal itu bohong belaka. Yang terjadi
sebenarnya adalah penyelundupan barang dagangan atas perintah Suharto
(Omar Dani 2001:49-51). Perbuatan Suharto ini tentu saja merupakan
pelanggaran berat, karena berarti memberikan bantuan kepada musuh.
Membantu musuh adalah suatu pengkhianatan.

Tentang Jenderal Nasution, Suharto mencatat pada 1 Oktober 1965,
"Menjelang senja, kira-kira pukul setengah enam muncullah Jenderal
Nasution di Kostrad, atas permintaan saya, agar lebih aman bagi beliau
daripada di tempat persembunyiannya yang tidak terjaga" (Soeharto
1989:126). Suharto sama sekali tidak mencatat adanya pesan Nasution
dalam kapasitasnya sebagai Menko Hankam/Kasab yang dikirimkan jam 09.00
pagi hari itu, kemudian disusul instruksi tertulis kepadanya dalam
menghadapi situasi. Keduanya dikirimkan dari persembunyian Nasution
(Nasution 6 1988:229-230).

Dalam hal ini pembaca buku otobiografi Suharto mendapatkan kesan bahwa
seolah-olah Jenderal Nasution tidak mempunyai peran apa pun, sekedar
sebagai tokoh luluk bawang yang meminta perlindungan di markas Suharto,
meskipun setelah menunjukkan isi hatinya tentang musibah yang menimpa
sang senior, Suharto menulis, "Tetapi kami orang-orang lapangan mengerti
apa yang disebut tugas" (Soeharto 1989:126).

Terbayang pada pembaca, Jenderal senior yang kakinya sedang cedera itu
seolah tenggelam dalam kesedihan tanpa daya karena menunggu nasib
anaknya yang terluka parah karena tembakan yang ditujukan pada dirinya.
Ketika markas Kostrad membentuk Posko-2 di Senayan dan Posko-3 di
Cipete, tak sepatah pun Suharto mencatat inisiatif yang dilakukan
jenderal senior itu. Juga tidak pembicaraan mereka berdua di ruang makan
di sebuah rumah bertingkat tempat pemondokan para olahragawan di Senayan
pagi hari 2 Oktober 1965. Nasution membuat rencana secara maksimal
mempertahankan Jenderal Suharto pada posisinya, sekaligus Nasution akan
melanjutkan tekanannya kepada Jenderal Pranoto (Nasution 6
1988:255-256).

Daftar dusta Suharto cukup panjang. Ia berdusta dan memalsu tentang SU 1
Maret 1949, ia berdusta ketika melakukan penyelundupan di Jawa Tengah
disebutnya sebagai menolong rakyat yang kelaparan. Ia berdusta dan
menusuk dalam lipatan ketika melakukan penyelundupan ke Malaysia selama
konfrontasi. Ia berdusta terhadap pertemuannya dengan Kolonel Latief di
RSPAD Gatot Subroto pada 30 September 1965, dusta ini amat kritis
sifatnya karena menunjukkan keterlibatan Mayjen Suharto dengan G30S yang
tak terbantahkan. Begitu tega ia mengorbankan sejumlah jenderal
teman-temannya sendiri.

Dusta ini masih dilengkapi dengan dusta pidatonya pada 4 Oktober 1965 di
Lubang Buaya. Sepanjang kekuasaannya selama 32 tahun rezim Orba Suharto
antara lain dilandasi dengan dusta konsepsional seperti anggaran
berimbang [tentu saja ini melibatkan para teknokrat profesor doktor
jawara ekonomi yang secara sadar ikut membodohi rakyat yang untung tidak
seluruhnya bodoh], dan setumpuk dusta yang tak habis-habisnya untuk
ditulis. Betapa celakanya, ketika ia sudah tumbang, Jenderal Besar
Suharto masih berdusta di hadapan 200 juta rakyat dengan mengatakan
tidak punya simpanan sesen pun! Apa ora hebat dustanya!

Ketika G30S telah lewat dan Jenderal Suharto menjadi Presiden RI, ia
suka menyampaikan kisah kepada para diplomat bahwa sebenarnya nama
Mayjen Suharto juga masuk daftar hitam G30S yang hendak dibunuh. Dengan
geli ia menceritakan akan kebodohan para pelaku G30S yang kebingungan
akan tempat Suharto berada, dan itu menyebabkan ia lolos dari maut
(Crouch 1999:148). Rupanya ia menganggap para diplomat itu pun
orang-orang yang mudah dibodohinya dengan kisah menggelikan yang tidak
lucu itu. Hal ini bertentangan dengan cerita Suharto sendiri kepada
Roeder.

"Kemudian ketika ditanya, Jenderal Suharto menyatakan acuh tak acuh
bahwa namanya tidak tercantum dalam daftar nama-nama yang akan diculik,
'Karena mereka menganggap saya sebagai seorang perwira bawahan yang
dapat diurus kemudian'" (Roeder 1977:31). Prof Dr Donald Wilson juga
menyatakan bahwa hal itu disebabkan oleh soal sepele saja yakni karena
perangai Suharto yang pendiam dan low profile, maka pemberontak luput
perhatiannya,".simply overlooked because of his quiet and low profile to
be on the assassins' list," (Wilson 1989:1).

Paling tidak terdapat tiga puncak yang menjulang dari dusta Suharto
yakni soal Serangan Umum 1 Maret 1949, sebagai landasan legitimasi
historis, tragedi G30S dengan perannya sebagai penyelamat negara dan
bangsa, serta Supersemar sebagai landasan konstitusional yang begitu
diagungkan. Tentu saja puncak tertinggi gunung es itu adalah tragedi
G30S beserta pembunuhan para jenderal dan pembantaian berdarah yang
mengikutinya. Sekedar untuk mendapatkan legitimasi lebih kokoh dari
sejarah hidupnya, ia tidak malu-malu berbohong dan melakukan pemalsuan,
seolah semuanya bakal langgeng karena semuanya berada dalam cengkeraman
kekuasaannya.

Padahal masih cukup banyak saksi hidup yang jujur yang akan memberikan
kesaksian apa adanya tanpa terpengaruh cengkeraman kekuasaannya.
Terlebih lagi terdapat dokumen yang menunjang seperti kasus klaim
Suharto terhadap SU 1 Maret 1949. (Bersambung)







[Non-text portions of this message have been removed]






=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida Arimurti

Jangan lupa simak IDA KRISNA SHOW SENIN HINGGA JUMAT di 99,1 DELTA FM
Jam 4 sore hingga 8 malam dan kirim sms di 0818 333 582.

=================================================================




SPONSORED LINKS
Station


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke