________________________________

From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] On Behalf Of TAAT UJI 
JAKASUSENO
Sent: Monday, October 16, 2006 9:15 AM
Subject: [Temanggung] RENUNGAN HARI INI (Teladan Rasulullah dalam Iedul Fithri)

 

Semoga bermanfaat.

 

 

________________________________

 

Hari Senin tgl 23 Ramadhan 1427 H/ 16 Oktober 2006

 

 

 

Teladan Rasulullah dalam Iedul Fithri
Penulis: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.
Fiqh, 15 Oktober 2006, 15:50:29 

Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai 
Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan 
enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi yang memaknai Idul 
Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang kampung dan berkumpul bersama 
handai taulan. Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk 
mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai aktivitas lain yang bisa kita 
saksikan. Namun barangkali hanya sedikit yang mau untuk memaknai Idul Fitri 
sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam “memaknainya”.

Idul Fitri memang hari istimewa. Secara syar’i pun dijelaskan bahwa Idul Fitri 
merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Hari Raya Idul Adha. 
Karenanya, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia 
dan bersenang-senang pada hari itu.

Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya tak 
bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan 
syariat.
Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yang datang 
menjumpai? Secara lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri masih 
sebatas sebagai rutinitas tahunan yang memakan biaya besar dan juga melelahkan. 
Kita sepertinya belum menemukan esensi yang sebenarnya dari Hari Raya Idul 
Fitri sebagaimana yang dimaukan syariat.

Bila Ramadhan sudah berjalan 3 minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai, 
“aroma” Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu 
makanan dan kue-kue, baju-baju baru ramai diburu, transportasi mulai padat 
karena banyak yang bepergian atau karena arus mudik mulai meningkat, serta 
berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah sudah menjadi aktivitas “wajib” 
menjelang Idul Fitri, belum ada tanda-tanda menurun atau berkurang.
Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syar’i memang mutlak 
diperlukan. Bila tidak, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dia lihat 
dari para orang tua. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari 
yang dimaukan syariat.

Demikian pula dengan Idul Fitri. Bila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah ini, tentu berbagai aktivitas yang 
selama ini kita saksikan bisa diminimalkan. Beridul Fitri tidak harus 
menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak, tidak harus beli baju baru karena 
baju yang bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi, tidak harus mudik 
karena bersilaturahim dengan para saudara yang sebenarnya bisa dilakukan kapan 
saja, dan sebagainya. Dengan tahu bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 
sallam, beridul Fitri tidak lagi butuh biaya besar dan semuanya terasa lebih 
mudah.
Berikut ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat dalam beridul Fitri.

Definisi Id (Hari Raya)
Ibnu A’rabi mengatakan: “Id1 dinamakan demikian karena setiap tahun terulang 
dengan kebahagiaan yang baru.” (Al-Lisan hal. 5)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Id adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu terulang 
berupa perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan atau bulanan.” 
(dinukil dari Fathul Majid hal. 289 tahqiq Al-Furayyan)
Ied dalam Islam adalah Idul Fitri, Idul Adha dan Hari Jum’at.
Úóäú ÃóäóÓò ÞóÇáó: ÞóÏöãó ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó 
ÇáúãóÏöíúäóÉó æóáóåõãú íóæúãóÇäö íóáúÚóÈõæúäó ÝöíúåöãóÇ¡ ÝóÞóÇáó: ãóÇ åóÐóÇäö 
ÇáúíóæúãóÇäö¿ ÞóÇáõæÇ: ßõäøóÇ äóáúÚóÈõ ÝöíúåöãóÇ Ýöí ÇáúÌóÇåöáöíøóÉö. ÝóÞóÇáó 
ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó: Åöäøó Çááåó ÞóÏú ÃóÈúÏóáóßõãú 
ÈöåöãóÇ ÎóíúÑðÇ ãöäúåõãóÇ¡ íóæúãó ÇúáÃóÖúÍóì æóíóæúãó ÇáúÝöØúÑö
Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan 
orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main padanya. 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: “Apa (yang kalian lakukan) 
dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab: “Kami bermain-main padanya waktu kami 
masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 
“Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik 
dari keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 
1004, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)

Hukum Shalat Id
Ibnu Rajab berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Shalat Id 
menjadi 3 pendapat:
Pertama: Shalat Id merupakan amalan Sunnah (ajaran Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam) yang dianjurkan, seandainya orang-orang meninggalkannya maka 
tidak berdosa. Ini adalah pendapat Al-Imam Ats-Tsauri dan salah satu riwayat 
dari Al-Imam Ahmad.
Kedua: Bahwa itu adalah fardhu kifayah, sehingga jika penduduk suatu negeri 
sepakat untuk tidak melakukannya berarti mereka semua berdosa dan mesti 
diperangi karena meninggalkannya. Ini yang tampak dari madzhab Al-Imam Ahmad 
dan pendapat sekelompok orang dari madzhab Hanafi dan Syafi’i.
Ketiga: Wajib ‘ain (atas setiap orang) seperti halnya Shalat Jum’at. Ini 
pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Al-Imam Asy-Syafi’I mengatakan dalam Mukhtashar Al-Muzani: “Barangsiapa 
memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at, wajib baginya untuk 
menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.” 
(Diringkas dari Fathul Bari Ibnu Rajab, 6/75-76)
Yang terkuat dari pendapat yang ada –wallahu a’lam– adalah pendapat ketiga 
dengan dalil berikut:
Úóäú Ãõãøö ÚóØöíøóÉó ÞóÇáóÊú: ÃóãóÑóäóÇ ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö 
æóÓóáøóãó Ãóäú äõÎúÑöÌóåõäøó Ýöí ÇáúÝöØúÑö æóÇúáÃóÖúÍóì ÇáúÚóæóÇÊöÞó 
æóÇáúÍõíøóÖó æóÐóæóÇÊö ÇáúÎõÏõæúÑö¡ ÝóÃóãøóÇ ÇáúÍõíøóÖõ ÝóíóÚúÊóÒöáúäó 
ÇáÕøóáÇóÉó æóíóÔúåóÏúäó ÇáúÎóíúÑó æóÏóÚúæóÉó ÇáúãõÓúáöãöíúäó. ÞõáúÊõ: íóÇ 
ÑóÓõæúáó Çááåö¡ ÅöÍúÏóÇäóÇ áÇó íóßõæúäõ áóåóÇ ÌöáúÈóÇÈñ¿ ÞóÇáó: áöÊõáúÈöÓúåóÇ 
ÃõÎúÊõåóÇ ãöäú ÌöáúÈóÇÈöåóÇ
Dari Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 
memerintahkan kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari raya) Idul 
Fitri dan Idul Adha yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang 
dipingit. Adapun yang haid maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan 
kebaikan dan dakwah muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang 
dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi menjawab: “Hendaknya saudaranya 
meminjamkan jilbabnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim, ini lafadz Muslim 
Kitabul ‘Idain Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa)
Perhatikanlah perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk pergi menuju 
tempat shalat, sampai-sampai yang tidak punya jilbabpun tidak mendapatkan 
udzur. Bahkan tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain.

Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah untuk keluar berarti perintah untuk 
shalat bagi yang tidak punya udzur… Karena keluarnya (ke tempat shalat) 
merupakan sarana untuk shalat dan wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi 
wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat).
Diantara dalil yang menunjukkan wajibnya Shalat Id adalah bahwa Shalat Id 
menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Dan 
sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.” 
(Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih 
rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179-186, As-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah, 
hal. 344)

Wajibkah Shalat Id Bagi Musafir?
Sebuah pertanyaan telah diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang 
intinya: Apakah untuk Shalat Id disyaratkan pelakunya seorang yang mukim (tidak 
sedang bepergian)?
Beliau kemudian menjawab yang intinya: “Ulama berbeda pendapat dalam masalah 
ini. Ada yang mengatakan, disyaratkan mukim. Ada yang mengatakan, tidak 
disyaratkan mukim.”
Lalu beliau mengatakan: “Yang benar tanpa keraguan, adalah pendapat yang 
pertama. Yaitu Shalat Id tidak disyariatkan bagi musafir, karena Rasulullah 
Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak melakukan safar dan melakukan 3 kali umrah 
selain umrah haji, beliau juga berhaji wada’ dan ribuan manusia menyertai 
beliau, serta beliau berperang lebih dari 20 peperangan, namun tidak seorangpun 
menukilkan bahwa dalam safarnya beliau melakukan Shalat Jum’at dan Shalat Id…” 
(Majmu’ Fatawa, 24/177-178)

Mandi Sebelum Melakukan Shalat Id
Úóäú ãóÇáößò Úóäú äóÇÝöÚò Ãóäøó ÚóÈúÏó Çááåö Èúäó ÚõãóÑó ßóÇäó íóÛúÊóÓöáõ 
íóæúãó ÇáúÝöØúÑö ÞóÈúáó Ãóäú íóÛúÏõæó Åöáóì ÇáúãõÕóáøóì
“Dari Malik dari Nafi’, ia berkata bahwa Abdullah bin Umar dahulu mandi pada 
hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla (lapangan).” (Shahih, HR. Malik dalam 
Al-Muwaththa` dan Al-Imam Asy-Syafi’i dari jalannya dalam Al-Umm)
Dalam atsar lain dari Zadzan, seseorang bertanya kepada ‘Ali radhiallahu 'anhu 
tentang mandi, maka ‘Ali berkata: “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Ia 
menjawab: “Tidak, mandi yang itu benar-benar mandi.” Ali radhiallahu 'anhu 
berkata: “Hari Jum’at, hari Arafah, hari Idul Adha, dan hari Idul Fitri.” (HR. 
Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa`, 1-176-177))

Memakai Wewangian
Úóäú ãõæúÓóì Èúäö ÚõÞúÈóÉó Úóäú äóÇÝöÚò Ãóäøó ÇÈúäó ÚõãóÑó íóÛúÊóÓöáõ 
æóíóÊóØóíøóÈõ íóæúãó ÇáúÝöØúÑö
“Dari Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar mandi dan memakai wewangian 
di hari Idul fitri.” (Riwayat Al-Firyabi dan Abdurrazzaq)
Al-Baghawi berkata: “Disunnahkan untuk mandi di hari Id. Diriwayatkan dari Ali 
bahwa beliau mandi di hari Id, demikian pula yang sejenis itu dari Ibnu Umar 
dan Salamah bin Akwa’ dan agar memakai pakaian yang paling bagus yang dia 
dapati serta agar memakai wewangian.” (Syarhus Sunnah, 4/303)

Memakai Pakaian yang Bagus
Úóäú ÚóÈúÏö Çááåö Èúäö ÚõãóÑó ÞóÇáó: ÃóÎóÐó ÚõãóÑõ ÌõÈøóÉð ãöäú ÅöÓúÊóÈúÑóÞò 
ÊõÈóÇÚõ Ýöí ÇáÓøõæúÞö ÝóÃóÎóÐóåóÇ ÝóÃóÊóì ÈöåóÇ ÑóÓõæúáó Çááåö Õóáøóì Çááåõ 
Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÝóÞóÇáó: íóÇ ÑóÓõæúáó Çááåö ÇÈúÊóÚú åóÐöåö ÊóÌóãøóáú ÈöåóÇ 
áöáúÚöíúÏö æóÇáúæõÝõæúÏö. ÝóÞóÇáó áóåõ ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö 
æóÓóáøóãó: ÅöäøóãóÇ åóÐöåö áöÈóÇÓõ ãóäú áÇó ÎóáÇóÞó áóåõ
Dari Abdullah bin Umar bahwa Umar mengambil sebuah jubah dari sutera yang 
dijual di pasar maka dia bawa kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, 
lalu Umar radhiallahu 'anhu berkata: “Wahai Rasulullah, belilah ini dan 
berhiaslah dengan pakaian ini untuk hari raya dan menyambut utusan-utusan.” 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata: “Ini adalah pakaian orang 
yang tidak akan dapat bagian (di akhirat)….” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabul 
Jum’ah Bab Fil ‘Idain wat Tajammul fihi dan Muslim Kitab Libas Waz Zinah)
Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias untuk hari 
raya dan bahwa ini perkara yang biasa diantara mereka.” (Fathul Bari)

Makan Sebelum Berangkat Shalat Id
Úóäú ÃóäóÓö Èúäö ãóÇáößò ÞóÇáó: ßóÇäó ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö 
æóÓóáøóãó áÇó íóÛúÏõæ íóæúãó ÇáúÝöØúÑö ÍóÊøóì íóÃúßõáó ÊóãóÑóÇÊò. æóÞóÇáó 
ãõÑóÌøóÃõ Èúäõ ÑóÌóÇÁò: ÍóÏøóËóäöí ÚõÈóíúÏõ Çááåö ÞóÇáó: ÍóÏøóËóäöí ÃóäóÓñ Úóäö 
ÇáäøóÈöíøö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó æóíóÃúßõáõåõäøó æöÊúÑðÇ
Dari Anas bin Malik ia berkata: Adalah Rasulullah tidak keluar di hari fitri 
sebelum beliau makan beberapa kurma. Murajja‘ bin Raja‘ berkata: Abdullah 
berkata kepadaku, ia mengatakan bahwa Anas berkata kepadanya: “Nabi memakannya 
dalam jumlah ganjil.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Akl Yaumal 
‘Idain Qablal Khuruj)

Ibnu Rajab berkata: “Mayoritas ulama menganggap sunnah untuk makan pada Idul 
Fitri sebelum keluar menuju tempat Shalat Id, diantara mereka ‘Ali dan Ibnu 
‘Abbas radhiallahu 'anhuma.”
Diantara hikmah dalam aturan syariat ini, yang disebutkan oleh para ulama 
adalah:
a. Menyelisihi Ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai 
mereka pulang.
b. Untuk menampakkan perbedaan dengan Ramadhan.
c. Karena sunnahnya Shalat Idul Fitri lebih siang (dibanding Idul Adha) 
sehingga makan sebelum shalat lebih menenangkan jiwa. Berbeda dengan Shalat 
Idul Adha, yang sunnah adalah segera dilaksanakan. (lihat Fathul Bari karya 
Ibnu Rajab, 6/89)

Bertakbir Ketika Keluar Menuju Tempat Shalat
ßóÇäó Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó íóÎúÑõÌõ íóæúãó ÇáúÝöØúÑö ÝóíõßóÈøöÑõ 
ÍóÊøóì íóÃúÊöíó ÇáúãõÕóáøóì æóÍóÊøóì íóÞúÖöíó ÇáÕøóáÇóÉó¡ ÝóÅöÐóÇ ÞóÖóì 
ÇáÕøóáÇóÉóº ÞóØóÚó ÇáÊøóßúÈöíúÑó
“Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar di Hari Raya Idul Fitri 
lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat dan sampai selesai shalat. 
Apabila telah selesai shalat beliau memutus takbir.” (Shahih, Mursal Az-Zuhri, 
diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dengan 
syawahidnya dalam Ash-Shahihah no. 171)

Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa 
yang diamalkan kaum muslimin yaitu bertakbir dengan keras selama perjalanan 
menuju tempat shalat walaupun banyak diantara mereka mulai menggampangkan 
sunnah (ajaran) ini, sehingga hampir-hampir menjadi sekedar berita (apa yang 
dulu terjadi). Hal itu karena lemahnya mental keagamaan mereka dan karena rasa 
malu untuk menampilkan sunnah serta terang-terangan dengannya. Dan dalam 
kesempatan ini, amat baik untuk kita ingatkan bahwa mengeraskan takbir di sini 
tidak disyariatkan padanya berpadu dalam satu suara sebagaimana dilakukan 
sebagian manusia2…” (Ash-Shahihah: 1 bagian 1 hal. 331)

Lafadz Takbir
Tentang hal ini tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam –wallahu a’lam–. Yang ada adalah dari shahabat, dan itu ada 
beberapa lafadz.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: Telah shahih mengucapkan 2 kali takbir dari 
shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu:
Ãóäøóåõ ßóÇäó íõßóÈöÑõ ÃóíøóÇãó ÇáÊøóÔúÑöíúÞö: Çááåõ ÃóßúÈóÑõ Çááåõ ÃóßúÈóÑõ 
áÇó Åöáóåó ÅöáÇøó Çááåñ æóÇááåõ ÃóßúÈóÑõ Çááåõ ÃóßúÈóÑõ æóáöáøóåö ÇáúÍóãúÏõ
Bahwa beliau bertakbir di hari-hari tasyriq:
Çááåõ ÃóßúÈóÑõ Çááåõ ÃóßúÈóÑõ áÇó Åöáóåó ÅöáÇøó Çááåñ æóÇááåõ ÃóßúÈóÑõ Çááåõ 
ÃóßúÈóÑõ æóáöáøóåö ÇáúÍóãúÏõ
(HR. Ibnu Abi Syaibah, 2/2/2 dan sanadnya shahih)

Namun Ibnu Abi Syaibah menyebutkan juga di tempat yang lain dengan sanad yang 
sama dengan takbir tiga kali. Demikian pula diriwayatkan Al-Baihaqi (3/315) dan 
Yahya bin Sa’id dari Al-Hakam dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dengan tiga kali 
takbir.
Dalam salah satu riwayat Ibnu ‘Abbas disebutkan:
Çááåõ ÃóßúÈóÑõ ßóÈöíúÑðÇ Çááåõ ÃóßúÈóÑõ ßóÈöíúÑðÇ Çááåõ ÃóßúÈóÑõ æóÃóÌóáøó 
Çááåõ ÃóßúÈóÑõ æóáöáøóåö ÇáúÍóãúÏõ
(Lihat Irwa`ul Ghalil, 3/125)

Tempat Shalat Id
Banyak ulama menyebutkan bahwa petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
dalam shalat dua hari raya adalah beliau selalu melakukannya di mushalla.
Mushalla yang dimaksud adalah tempat shalat berupa tanah lapang dan bukan 
masjid, sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut ini.
Úóäö ÇáúÈóÑóÇÁö ÞóÇáó: ÎóÑóÌó ÇáäøóÈöíøõ Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó íóæúãó 
ÃóÖúÍðì Åöáóì ÇáúÈóÞöíúÚö ÝóÕóáøóì ÑóßúÚóÊóíúäö Ëõãøó ÃóÞúÈóáó ÚóáóíúäóÇ 
ÈöæóÌúåöåö æóÞóÇáó: Åöäøó Ãóæøóáó äõÓõßöäóÇ Ýöí íóæúãöäóÇ åóÐóÇ Ãóäú äóÈúÏóÃó 
ÈöÇáÕøóáÇóÉö Ëõãøó äóÑúÌöÚó ÝóäóäúÍóÑó Ýóãóäú ÝóÚóáó Ðóáößó ÝóÞóÏú æóÇÝóÞó 
ÓõäøóÊóäóÇ
Dari Al-Bara’ Ibnu ‘Azib ia berkata: “Nabi pergi pada hari Idul Adha ke Baqi’ 
lalu shalat 2 rakaat lalu menghadap kami dengan wajahnya dan mengatakan: 
‘Sesungguhnya awal ibadah kita di hari ini adalah dimulai dengan shalat. Lalu 
kita pulang kemudian menyembelih kurban. Barangsiapa yang sesuai dengan itu 
berarti telah sesuai dengan sunnah…” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain 
Bab Istiqbalul Imam An-Nas Fi Khuthbatil ‘Id)

Ibnu Rajab berkata: “Dalam hadits ini dijelaskan bahwa keluarnya Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan shalatnya adalah di Baqi’, namun bukan yang 
dimaksud adalah Nabi shalat di kuburan Baqi’. Tapi yang dimaksud adalah bahwa 
beliau shalat di tempat lapang yang bersambung dengan kuburan Baqi’ dan nama 
Baqi’ itu meliputi seluruh daerah tersebut. Juga Ibnu Zabalah telah menyebutkan 
dengan sanadnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Id di luar 
Madinah sampai di lima tempat, sehingga pada akhirnya shalatnya tetap di tempat 
yang dikenal (untuk pelaksanaan Id, -pent.). Lalu orang-orang sepeninggal 
beliau shalat di tempat itu.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/144)
Úóäú ÃóÈöí ÓóÚöíúÏò ÇáúÎõÏúÑöíøö ÞóÇáó: ßóÇäó ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááåõ 
Úóáóíúåö æóÓóáøóãó íóÎúÑõÌõ íóæúãó ÇáúÝöØúÑö æóÇúáÃóÖúÍóì Åöáóì ÇáúãõÕóáøóì 
ÝóÃóæøóáõ ÔóíúÁò íóÈúÏóÃõ Èöåö ÇáÕøóáÇóÉõ Ëõãøó íóäúÕóÑöÝõ ÝóíóÞõæúãõ ãõÞóÇÈöáó 
ÇáäøóÇÓö æóÇáäøóÇÓõ ÌõáõæúÓñ Úóáóì ÕõÝõæúÝöåöãú ÝóíóÚöÙõåõãú æóíõæúÕöíúåöãú 
æóíóÃúãõÑõåõãú ÝóÅöäú ßóÇäó íõÑöíúÏõ Ãóäú íóÞúØóÚó ÈóÚúËðÇ ÞóØóÚóåõ Ãóæú 
íóÃúãõÑó ÈöÔóíúÁò ÃóãóÑó Èöåö Ëõãøó íóäúÕóÑöÝõ
“Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia mengatakan: Bahwa Rasulullah dahulu keluar di hari 
Idul Fitri dan Idhul Adha ke mushalla, yang pertama kali beliau lakukan adalah 
shalat, lalu berpaling dan kemudian berdiri di hadapan manusia sedang mereka 
duduk di shaf-shaf mereka. Kemudian beliau menasehati dan memberi wasiat kepada 
mereka serta memberi perintah kepada mereka. Bila beliau ingin mengutus suatu 
utusan maka beliau utus, atau ingin memerintahkan sesuatu maka beliau 
perintahkan, lalu beliau pergi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab 
Al-Khuruj Ilal Mushalla bi Ghairil Mimbar dan Muslim)
Ibnu Hajar menjelaskan: “Al-Mushalla yang dimaksud dalam hadits adalah tempat 
yang telah dikenal, jarak antara tempat tersebut dengan masjid Nabawi sejauh 
1.000 hasta.” Ibnul Qayyim berkata: “Yaitu tempat jamaah haji meletakkan barang 
bawaan mereka.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Nampaknya tempat itu dahulu di 
sebelah timur masjid Nabawi, dekat dengan kuburan Baqi’…” (dinukil dari 
Shalatul ‘Idain fil Mushalla Hiya Sunnah karya Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 16)

Waktu Pelaksanaan Shalat
íóÒöíúÏõ Èúäõ ÎõãóíúÑò ÇáÑøóÍóÈöíøõ ÞóÇáó: ÎóÑóÌó ÚóÈúÏõ Çááåö Èúäõ ÈõÓúÑò 
ÕóÇÍöÈõ ÑóÓõæúáö Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ãóÚó ÇáäøóÇÓö Ýöí íóæúãö 
ÚöíúÏö ÝöØúÑò Ãóæú ÃóÖúÍóì ÝóÃóäúßóÑó ÅöÈúØóÇÁó ÇúáÅöãóÇãö. ÝóÞóÇáó: ÅöäøóÇ 
ßõäøóÇ ÞóÏú ÝóÑóÛúäóÇ ÓóÇÚóÊóäóÇ åóÐöåö æóÐóáößó Íöíúäó ÇáÊøóÓúÈöíúÍö
“Yazid bin Khumair Ar-Rahabi berkata: Abdullah bin Busr, salah seorang shahabat 
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi bersama orang-orang di Hari Idul Fitri 
atau Idhul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam. Iapun berkata: ‘Kami 
dahulu telah selesai pada saat seperti ini.’ Dan itu ketika tasbih.” (Shahih, 
HR. Al-Bukhari secara mua’llaq, Kitabul ‘Idain Bab At-Tabkir Ilal ‘Id, 2/456, 
Abu Dawud Kitabush Shalat Bab Waqtul Khuruj Ilal ‘Id: 1135, Ibnu Majah Kitab 
Iqamatush- shalah was Sunan fiha Bab Fi Waqti Shalatil ’Idain. Dishahihkan oleh 
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Yang dimaksud dengan kata “ketika tasbih” adalah ketika waktu shalat sunnah. 
Dan itu adalah ketika telah berlalunya waktu yang dibenci shalat padanya. Dalam 
riwayat yang shahih riwayat Ath-Thabrani yaitu ketika Shalat Sunnah Dhuha.

Ibnu Baththal berkata: “Para ahli fiqih bersepakat bahwa Shalat Id tidak boleh 
dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika terbitnya. Shalat Id hanyalah 
diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat sunnah.” Demikian dijelaskan Ibnu 
Hajar. (Al-Fath, 2/457)
Namun sebenarnya ada yang berpendapat bahwa awal waktunya adalah bila terbit 
matahari, walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini pendapat Imam 
Malik. Adapun pendapat yang lalu, adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan salah 
satu pendapat pengikut Syafi’i. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/104)
Namun yang kuat adalah pendapat yang pertama, karena menurut Ibnu Rajab: 
“Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rafi’ bin Khadij dan 
sekelompok tabi’in bahwa mereka tidak keluar menuju Shalat Id kecuali bila 
matahari telah terbit. Bahkan sebagian mereka Shalat Dhuha di masjid sebelum 
keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa Shalat Id dahulu dilakukan setelah 
lewatnya waktu larangan shalat.” (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)

Apakah Waktu Idul Fitri lebih Didahulukan daripada Idul Adha?
Ada dua pendapat:
Pertama, bahwa keduanya dilakukan dalam waktu yang sama.
Kedua, disunnahkan untuk diakhirkan waktu Shalat Idul Fitri dan disegerakan 
waktu Idul Adha. Itu adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini 
yang dikuatkan Ibnu Qayyim, dan beliau mengatakan: “Dahulu Nabi Shallallahu 
'alaihi wa sallam melambatkan Shalat Idul Fitri serta menyegerakan Idul Adha. 
Dan Ibnu ‘Umar dengan semangatnya untuk mengikuti sunnah tidak keluar sehingga 
telah terbit matahari dan bertakbir dari rumahnya menuju mushalla.” (Zadul 
Ma’ad, 1/427, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)
Hikmahnya, dengan melambatkan Shalat Idul Fitri maka semakin meluas waktu yang 
disunahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah; dan dengan menyegerakan Shalat Idul 
Adha maka semakin luas waktu untuk menyembelih dan tidak memberatkan manusia 
untuk menahan dari makan sehingga memakan hasil qurban mereka. (lihat Fathul 
Bari karya Ibnu Rajab, 6/105-106)

Tanpa Adzan dan Iqamah
Úóäú ÌóÇÈöÑö Èúäö ÓóãõÑóÉó ÞóÇáó: ÕóáøóíúÊõ ãóÚó ÑóÓõæúáö Çááåö Õóáøóì Çááåõ 
Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÇáúÚöíúÏóíúäö ÛóíúÑó ãóÑøóÉò æóáÇó ãóÑøóÊóíúäö ÈöÛóíúÑö 
ÃóÐóÇäò æóáÇó ÅöÞóÇãóÉò
Dari Jabir bin Samurah ia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah 2 Hari Raya 
(yakni Idul Fitri dan Idul Adha), bukan hanya 1 atau 2 kali, tanpa adzan dan 
tanpa iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)

Úóäö ÇÈúäö ÚóÈøóÇÓò æóÚóäú ÌóÇÈöÑö Èúäö ÚóÈúÏö Çááåö ÇúáÃóäúÕóÇÑöíøö ÞóÇáÇó: 
áóãú íóßõäú íõÄóÐøóäõ íóæúãó ÇáúÝöØúÑö æóáÇó íóæúãó ÇúáÃóÖúÍóì Ëõãøó ÓóÃóáúÊõåõ 
ÈóÚúÏó Íöíúäò Úóäú Ðóáößó ÝóÃóÎúÈóÑóäöí ÞóÇáó: ÃóÎúÈóÑóäöí ÌóÇÈöÑõ Èúäõ ÚóÈúÏö 
Çááåö ÇúáÃóäúÕóÇÑöíøõ Ãóäú áÇó ÃóÐóÇäó áöáÕøóáÇóÉö íóæúãó ÇáúÝöØúÑö Íöíúäó 
íóÎúÑõÌõ ÇúáÅöãóÇãõ æóáÇó ÈóÚúÏó ãóÇ íóÎúÑõÌõ æóáÇó ÅöÞóÇãóÉó æóáÇ äöÏóÇÁó 
æóáÇó ÔóíúÁó¡ áÇó äöÏóÇÁó íóæúãóÆöÐò æóáÇó ÅöÞóÇãóÉó
Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma dan Jabir bin Abdillah Al-Anshari keduanya 
berkata: “Tidak ada adzan pada hari Fitri dan Adha.” Kemudian aku bertanya 
kepada Ibnu Abbas tentang itu, maka ia mengabarkan kepadaku bahwa Jabir bin 
Abdillah Al-Anshari mengatakan: “Tidak ada adzan dan iqamah di hari Fitri 
ketika keluarnya imam, tidak pula setelah keluarnya. Tidak ada iqamah, tidak 
ada panggilan dan tidak ada apapun, tidak pula iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)

Ibnu Rajab berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama dalam hal ini 
dan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu 
'anhuma melakukan Shalat Id tanpa adzan dan iqamah.”
Al-Imam Malik berkata: “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut 
kami, dan para ulama sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya 
adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/94)
Bagaimana dengan panggilan yang lain semacam: Ash-shalatu Jami’ah?
Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil 
dengan: Pertama: riwayat mursal dari seorang tabi’in yaitu Az-Zuhri.
Kedua: mengqiyaskannya dengan Shalat Kusuf (gerhana).
Namun pendapat yang kuat bahwa hal itu juga tidak disyariatkan. Adapun riwayat 
dari Az-Zuhri merupakan riwayat mursal yang tentunya tergolong dha’if (lemah). 
Sedangkan pengqiyasan dengan Shalat Kusuf tidaklah tepat, dan keduanya memiliki 
perbedaan. Diantaranya bahwa pada Shalat Kusuf orang-orang masih berpencar 
sehingga perlu seruan semacam itu, sementara Shalat Id tidak. Bahkan 
orang-orang sudah menuju tempat shalat dan berkumpul padanya. (Fathul Bari, 
karya Ibnu Rajab, 6/95)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu berkata: “Qiyas di 
sini tidak sah, karena adanya nash yang shahih yang menunjukkan bahwa di zaman 
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk Shalat Id tidak ada adzan dan iqamah 
atau suatu apapun. Dan dari sini diketahui bahwa panggilan untuk Shalat Id 
adalah bid’ah, dengan lafadz apapun.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/452)
Ibnu Qayyim berkata: Apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai ke 
tempat shalat maka mulailah beliau shalat tanpa adzan dan iqamah dan tanpa 
ucapan “Ash-shalatu Jami’ah”, dan Sunnah Nabi adalah tidak dilakukan sesuatupun 
dari (panggilan-panggilan) itu. (Zadul Ma’ad, 1/427)

Kaifiyah (Tata Cara) Shalat Id
Shalat Id dilakukan dua rakaat, pada prinsipnya sama dengan shalat-shalat yang 
lain. Namun ada sedikit perbedaan yaitu dengan ditambahnya takbir pada rakaat 
yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang kedua tambah 5 kali takbir selain 
takbiratul intiqal.
Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir ruku’, 
sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam riwayatnya:
Úóäú ÚóÇÆöÔóÉó Ãóäøó ÑóÓõæúáó Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ßóÈøóÑó Ýöí 
ÇáúÝöØúÑö æóÇúáÃóÖúÍóì ÓóÈúÚðÇ æóÎóãúÓðÇ Óöæóì ÊóßúÈöíúÑóÊóíú ÇáÑøõßõæúÚö
“Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah bertakbir para (shalat) Fitri dan Adha 7 
kali dan 5 kali selain 2 takbir ruku’.” (HR. Abu Dawud dalam Kitabush Shalat 
Bab At-Takbir fil ’Idain. ‘Aunul Ma’bud, 4/10, Ibnu Majah no. 1280, dishahihkan 
oleh Asy-Syaikh Al-Abani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1149)

Pertanyaan: Apakah pada 5 takbir pada rakaat yang kedua dengan takbiratul 
intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri)?
Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut 
selain takbiratul intiqal. (Al-Istidzkar, 7/52 dinukil dari Tanwirul ‘Ainain)
Pertanyaan: Tentang 7 takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau 
tidak?
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat:
Pertama: Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari 
Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma bahwa 7 takbir itu termasuk takbiratul ihram. 
(lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178, Aunul Ma’bud, 4/6, Istidzkar, 2/396 
cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah)
Kedua: Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, bahwa 7 takbir itu tidak termasuk 
takbiratul ihram. (Al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya)
Nampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal itu karena 
ada riwayat yang mendukungnya, yaitu:
Úóäú ÚóãúÑöæ Èúäö ÔõÚóíúÈò Úóäú ÃóÈöíúåö Úóäú ÌöÏøöåö: Ãóäøó ÑóÓõæúáó Çááåö 
Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ßóÈøóÑó Ýöí ÇáúÚöíúÏóíúäö ÇËúäóÊóíú ÚóÔúÑóÉó 
ÊóßúÈöíúÑóÉð¡ ÓóÈúÚðÇ Ýöí ÇúáÃõæúáóì æóÎóãúÓðÇ Ýöí ÇúáÂÎöÑóÉö Óöæóì 
ÊóßúÈöíúÑóÊóíö ÇáÕøóáÇóÉö
“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu 
'alaihi wa sallam bertakbir pada 2 hari raya 12 takbir, 7 pada rakaat yang 
pertama dan 5 pada rakaat yang terakhir, selain 2 takbir shalat.”(Ini lafadz 
Ath-Thahawi)

Adapun lafadz Ad-Daruquthni:
Óöæóì ÊóßúÈöíúÑóÉö ÇúáÅöÍúÑóÇãö
“Selain takbiratul ihram.” (HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 4/343 no. 
6744 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Ad-Daruquthni, 2/47-48 no. 20)

Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan bernama Abdullah 
bin Abdurrahman At-Tha‘ifi. Akan tetapi hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam 
Ahmad, ‘Ali Ibnul Madini dan Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh 
At-Tirmidzi. (lihat At-Talkhis, 2/84, tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim 
Al-Yamani, At-Ta’liqul Mughni, 2/18 dan Tanwirul ‘Ainain, hal. 158)
Adapun bacaan surat pada 2 rakaat tersebut, semua surat yang ada boleh dan sah 
untuk dibaca. Akan tetapi dahulu Nabi membaca pada rakaat yang pertama 
“Sabbihisma” (Surat Al-A’la) dan pada rakaat yang kedua “Hal ataaka” (Surat 
Al-Ghasyiah). Pernah pula pada rakaat yang pertama Surat Qaf dam kedua Surat 
Al-Qamar (keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul Ma’ad, 1/427-428)

Apakah Mengangkat Tangan di Setiap Takbir Tambahan?
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat 
mengangkat tangan.
Sementara salah satu dari pendapat Al-Imam Malik tidak mengangkat tangan, 
kecuali takbiratul ihram. Ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul 
Minnah (hal. 349). Lihat juga Al-Irwa‘ (3/113).
Tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih dalam hal 
ini.

Kapan Membaca Doa Istiftah?
Al-Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat setelah takbiratul ihram dan 
sebelum takbir tambahan. (Al-Umm, 3/234 dan Al-Majmu’, 5/26. Lihat pula 
Tanwirul ‘Ainain hal. 149)

Khutbah Id
Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khutbah.
Úóäú ÇÈúäö ÚóÈøóÇÓò ÞóÇáó: ÔóåöÏúÊõ ÇáúÚöíúÏó ãóÚó ÑóÓõæúáö Çááåö Õóáøóì Çááåõ 
Úóáóíúåö æóÓóáøóãó æóÃóÈöí ÈóßúÑò æóÚõãóÑó æóÚõËúãóÇäó ÑóÖöíó Çááåõ Úóäúåõãú 
Ýóßõáøõåõãú ßóÇäõæÇ íõÕóáøõæúäó ÞóÈúáó ÇáúÎõØúÈóÉö
“Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Aku mengikuti Shalat Id bersama Rasulullah, Abu 
Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman maka mereka semua shalat dahulu sebelum khutbah.” 
(Shahih, HR Al-Bukhari Kitab ‘Idain Bab Al-Khutbah Ba’dal Id)

Dalam berkhutbah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menghadap 
manusia tanpa memakai mimbar, mengingatkan mereka untuk bertakwa kepada Allah 
Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan juga beliau mengingatkan kaum wanita secara khusus 
untuk banyak melakukan shadaqah, karena ternyata kebanyakan penduduk neraka 
adalah kaum wanita.
Jamaah Id dipersilahkan memilih duduk mendengarkan atau tidak, berdasarkan 
hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
Úóäú ÚóÈúÏö Çááåö Èúäö ÇáÓøóÇÆöÈö ÞóÇáó: ÔóåöÏúÊõ ãóÚó ÑóÓõæúáö Çááåö Õóáøóì 
Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÇáúÚöíúÏó ÝóáóãøóÇ ÞóÖóì ÇáÕøóáÇóÉó ÞóÇáó: ÅöäøóÇ 
äóÎúØõÈõ Ýóãóäú ÃóÍóÈøó Ãóäú íóÌúáöÓó áöáúÎõØúÈóÉö ÝóáúíóÌúáöÓú æóãóäú ÃóÍóÈøó 
Ãóäú íóÐúåóÈó ÝóáúíóÐúåóÈú
Dari ‘Abdullah bin Saib ia berkata: Aku menyaksikan bersama Rasulullah Shalat 
Id, maka ketika beliau selesai shalat, beliau berkata: “Kami berkhutbah, 
barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan khutbah duduklah dan 
barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan 
An-Nasa`i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, 
no. 1155)

Namun alangkah baiknya untuk mendengarkannya bila itu berisi nasehat-nasehat 
untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berpegang teguh dengan 
agama dan Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya bila mimbar Id 
berubah menjadi ajang kampanye politik atau mencaci maki pemerintah muslim yang 
tiada menambah di masyarakat kecuali kekacauan. Wallahu a’lam.

Wanita yang Haid
Wanita yang sedang haid tetap mengikuti acara Shalat Id, walaupun tidak boleh 
melakukan shalat, bahkan haram dan tidak sah. Ia diperintahkan untuk menjauh 
dari tempat shalat sebagaimana hadits yang lalu dalam pembahasan hukum Shalat 
Id.

Sutrah Bagi Imam
Sutrah adalah benda, bisa berupa tembok, tiang, tongkat atau yang lain yang 
diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya, panjangnya kurang 
lebih 1 hasta. Telah terdapat larangan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 
untuk melewati orang yang shalat. Dengan sutrah ini, seseorang boleh melewati 
orang yang shalat dari belakang sutrah dan tidak boleh antara seorang yang 
shalat dengan sutrah. Sutrah ini disyariatkan untuk imam dan orang yang shalat 
sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak perlu dan boleh lewat di depan 
makmum. Ini adalah Sunnah yang mayoritas orang meninggalkannya. Oleh karenanya, 
marilah kita menghidupkan sunnah ini, termasuk dalam Shalat Id.
Úóäö ÇÈúäö ÚõãóÑó Ãóäøó ÑóÓõæúáó Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ßóÇäó 
ÅöÐóÇ ÎóÑóÌó íóæúãó ÇáúÚöíúÏö ÃóãóÑó ÈöÇáúÍóÑúÈóÉö ÝóÊõæúÖóÚõ Èóíúäó íóÏóíúåö 
ÝóíõÕóáøöí ÅöáóíúåóÇ æóÇáäøóÇÓõ æóÑóÇÁóåõ æóßóÇäó íóÝúÚóáõ Ðóáößó Ýöí ÇáÓøóÝóÑö 
Ýóãöäú Ëóãøó ÇÊøóÎóÐóåóÇ ÇúáÃõãóÑóÇÁõ
“Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu apabila 
keluar pada hari Id, beliau memerintahkan untuk membawa tombak kecil, lalu 
ditancapkan di depannya, lalu beliau shalat ke hadapannya, sedang orang-orang 
di belakangnya. Beliau melakukan hal itu di safarnya dan dari situlah para 
pimpinan melakukannya juga.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabush Shalat Bab 
Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah dan Kitabul ‘Idain Bab Ash-Shalat Ilal 
harbah Yaumul Id. Al-Fath, 2/463 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136)

Bila Masbuq (Tertinggal) Shalat Id, Apa yang Dilakukan?
Al-Imam Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya berjudul: “Bila tertinggal 
shalat Id maka shalat 2 rakaat, demikian pula wanita dan orang-orang yang di 
rumah dan desa-desa berdasarkan sabda Nabi: ‘Ini adalah Id kita pemeluk Islam’.”
Adalah ‘Atha` (tabi’in) bila ketinggalan Shalat Id beliau shalat dua rakaat.
Bagaimana dengan takbirnya? Menurut Al-Hasan, An-Nakha’i, Malik, Al-Laits, 
Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat, shalat dengan takbir seperti takbir 
imam. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/169)

Pulang dari Shalat Id Melalui Rute Lain saat Berangkat
Úóäú ÌóÇÈöÑö Èúäö ÚóÈúÏö Çááåö ÑóÖöíó Çááåõ ÚóäúåõãóÇ ÞóÇáó: ßóÇäó ÇáäøóÈöíøõ 
Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÅöÐóÇ ßóÇäó íóæúãõ ÚöíúÏò ÎóÇáóÝó ÇáØøóÑöíúÞó
Dari Jabir, ia berkata:” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila di hari Id, 
beliau mengambil jalan yang berbeda. (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain 
Bab Man Khalafa Thariq Idza Raja’a…, Fathul Bari karya Ibnu Hajar, 2/472986, 
karya Ibnu Rajab, 6/163 no. 986)
Ibnu Rajab berkata: “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya, 
bila pergi melalui suatu jalan menuju Shalat Id maka pulang dari jalan yang 
lainnya. Dan itu adalah pendapat Al-Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i dan 
Ahmad… Dan seandainya pulang dari jalan itu, maka tidak dimakruhkan.”

Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya, diantaranya agar lebih banyak 
bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa cinta. (Fathul 
Bari karya Ibnu Rajab, 6/166-167. Lihat pula Zadul Ma’ad, 1/433)

Bila Id Bertepatan dengan Hari Jum’at
Úóäú ÅöíóÇÓö Èúäö ÃóÈöí ÑóãúáóÉó ÇáÔøóÇãöíøö ÞóÇáó: ÔóåöÏúÊõ ãõÚóÇæöíóÉó Èúäó 
ÃóÈöí ÓõÝúíóÇäó æóåõæó íóÓúÃóáõ ÒóíúÏó Èúäó ÃóÑúÞóãó ÞóÇáó: ÃóÔóåöÏúÊó ãóÚó 
ÑóÓõæúáö Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÚöíúÏóíúäö ÇÌúÊóãóÚóÇ Ýöí 
íóæúãò¿ ÞóÇáó: äóÚóãú. ÞóÇáó: ÝóßóíúÝó ÕóäóÚó¿ ÞóÇáó: Õóáøóì ÇáúÚöíúÏó Ëõãøó 
ÑóÎøóÕó Ýöí ÇáúÌõãõÚóÉö¡ ÝóÞóÇáó: ãóäú ÔóÇÁó Ãóäú íõÕóáøöíó ÝóáúíõÕóáøö
Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami, ia berkata: Aku menyaksikan Mu’awiyah bin 
Abi Sufyan, dia sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Apakah kamu menyaksikan 
bersama Rasulullah, dua Id berkumpul dalam satu hari?” Ia menjawab: “Iya.” 
Mu’awiyah berkata: “Bagaimana yang beliau lakukan?” Ia menjawab: “Beliau Shalat 
Id lalu memberikan keringanan pada Shalat Jumat dan mengatakan: ‘Barangsiapa 
yang ingin mengerjakan Shalat Jumat maka shalatlah’.”
Úóäú ÃóÈöí åõÑóíúÑóÉó Úóäú ÑóÓõæúáö Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó 
Ãóäøóåõ ÞóÇáó: ÞóÏú ÇÌúÊóãóÚó Ýöí íóæúãößõãú åóÐóÇ ÚöíúÏóÇäö¡ Ýóãóäú ÔóÇÁó 
ÃóÌúÒóÃóåõ ãöäú ÇáúÌõãõÚóÉö æóÅöäøóÇ ãõÌóãøöÚõæúäó
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau 
berkata: “Telah berkumpul pada hari kalian ini 2 Id, maka barangsiapa yang 
berkehendak, (Shalat Id) telah mencukupinya dari Jum’at dan sesungguhnya kami 
tetap melaksanakan Jum’at.” (Keduanya diriwayatkan Abu Dawud dan dishahihkan 
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1070 dan 1073)

Ibnu Taimiyyah berkata: “Pendapat yang ke-3 dan itulah yang benar, bahwa yang 
ikut Shalat Id maka gugur darinya kewajiban Shalat Jum’at. Akan tetapi bagi 
imam agar tetap melaksanakan Shalat Jum’at, supaya orang yang ingin mengikuti 
Shalat Jum’at dan orang yang tidak ikut Shalat Id bisa mengikutinya. Inilah 
yang diriwayatkan dari Nabi dan para shahabatnya.” (Majmu’ Fatawa, 23/211)
Lalu beliau mengatakan juga bahwa yang tidak Shalat Jum’at maka tetap Shalat 
Dzuhur.
Ada sebagian ulama yang berpendapat tidak Shalat Dzuhur pula, diantaranya 
‘Atha`. Tapi ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para ulama. (Lihat 
At-Tamhid, 10/270-271)

Ucapan Selamat Saat Hari Raya
Ibnu Hajar mengatakan: “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhamiliyyat dengan sanad 
yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata: ‘Para shahabat Nabi 
Shallallahu 'alaihi wa sallam bila bertemu di hari Id, sebagian mereka 
mengatakan kepada sebagian yang lain:
ÊóÞóÈøóáó Çááåõ ãöäøóÇ æóãöäúßó
“Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari kamu.” (Lihat pula masalah ini 
dalam Ahkamul ‘Idain karya Ali Hasan hal. 61, Majmu’ Fatawa, 24/253, Fathul 
Bari karya Ibnu Rajab, 6/167-168)
Wallahu a’lam.

Footnote :
1. 'Ied artinya kembali.
2. Karena Nabi tidak memberi contoh demikian dalam ibadah ini. Lain halnya 
–wallahu a’lam– bila kebersamaan itu tanpa disengaja.

(Dikutip dari Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol.III/No.26/1427 H/2006, 
tulisan Al-Ustadz Qomar ZA, Lc., judul asli Meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi 
wa sallam dalam Ber'idul Fithri. Url sumber 
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=373)

Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url sumbernya. 
Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1108 

 

Joko Suseno

Unit Bisnis Kredit Konsumer

PT. Bank Central Asia, Tbk

Kantor Pusat

Chase Plaza Building 8th Floor

Jl. Jend. Sudirman Kav.20-21

Jakarta Selatan

 

Telp: (021) 5711250 ext.48158

Fax: (021) 2523009

e-mail: [EMAIL PROTECTED] <mailto:[EMAIL PROTECTED]> 

 

 

 



[Non-text portions of this message have been removed]




=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida Arimurti

Jangan lupa simak IDA ARIMURTI&FRIENDS SENIN HINGGA JUMAT di 99,1 DELTA FM
Jam 4 sore hingga 8 malam dan kirim sms di 0818 333 582.

=================================================================
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/idakrisnashow/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/idakrisnashow/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 

Kirim email ke