*Kelompok Pengajian Jumat Manis yang Anggotanya Para Waria Surabaya*

      * *

      Dulu ke Pengajian dengan Pakaian Wanita, Kini Sudah Berpeci

      Berawal dari temannya yang meninggal dan tidak dirawat sebagai mana

      mestinya, para waria Surabaya membentuk kelompok pengajian Al-Ikhlas
atau

      lebih dikenal dengan sebutan pengajian Jumat Manis. Seperti apa

      aktivitasnya?

      

      Asap rokok tak pernah putus mengepul dari bibir Marini. Sebatang
habis, dia

      kembali mengambil rokok berikutnya. Belum genap setengah jam, tiga
batang

      rokok filter telah dia habiskan.

      

      Siang itu, di sebuah salon di Jalan Kendangsari Gang Lebar, dia sangat

      antusias bercerita soal pengalaman spiritualnya. Tutur katanya halus,
namun

      sesekali dia memperjelas omongannya dengan gerakan tangan yang kemayu.

      

      Marini memang bukan wanita tulen. Meski berwajah cantik, dia
sesungguhnya 

      laki-laki. Nama aslinya adalah Tamim. Tahun lalu, dia menunaikan
ibadah haji

      sehingga nama lengkapnya sekarang menjadi H Tamim Murodho. "Nama
tambahan

      itu diberi setelah saya pergi haji. Sejarahnya, saya paling betah di

      raudhoh," ujarnya.

      

      Meski sudah haji, sehari-hari dia tetap akrab dipanggil Mak Nik atau
Marini.

      Sedangkan identitas prianya, dia pakai ketika menghadiri pengajian
atau

      pergi ke masjid.

      

      Marini menceritakan pengalamannya selama menjalankan ibadah haji.

      Dia mengaku kerap mendapat perlakuan tak menyenangkan dari sesama
jamaah. Salah

      satunya di raudhoh. Saat berada di kompleks Ka'bah itu, dia kerap
diusir

      oleh sesama jamaah. "Yang mengusir saya kebanyakan jamaah dari luar

      Indonesia," terangnya. Mereka melakukan itu karena bingung melihat
wajahnya

      yang lebih dekat ke perempuan ketimbang ke laki-laki. "Mereka
kebanyakan

      bingung. Saya pakai ihram, tapi kok berwajah wanita," ujarnya.

      

      Bahkan, ada jamaah wanita dari Turki yang berusaha merebut jubah yang
dia

      dikenakan, kemudian menutupkannya pada tubuh bagian atas Marini.

      Marini juga

      tidak boleh berada di deretan jamaah pria. "Saya jelaskan bahwa diri
saya

      laki-laki. Perlahan dia menyadari," terangnya.

      

      Persoalan tidak berhenti di situ. Hal-hal yang kecil ternyata juga tak
luput

      menjadi biang persoalan. Wajahnya yang menyerupai wanita itu juga
berdampak

      saat dia masuk toilet. "Banyak orang yang kebingungan saat saya masuk
toilet

      laki-laki," kenangnya sambil memungut lagi sebatang rokok.

      

      Untung, persoalan status Marini yang waria itu tidak menimbulkan
masalah di

      antara jamaah Indonesia. Kepada mereka, Marini memperkenalkan diri
sebagai

      Tamim, bukan Marini yang sehari-hari berdandan ayu itu.

      

      "Kenekatan" Marini berhaji telah melalui proses panjang. Dia berproses

      selama tiga tahun sebelum akhirnya memutuskan pergi ke Tanah Suci.

      Semua itu

      bermula dari aktivitasnya di kelompok pengajian Al-Ikhlas, yang
seluruh 

      anggotanya waria.

      

      Kelompok pengajian itu juga tidak terbentuk tiba-tiba. Semuanya
berawal saat

      teman Marini yang juga waria meninggal di Tanggulangin, Sidoarjo.

      "Saya trenyuh melihat teman saya meninggal karena sakit. Saat
dikuburkan, rasanya

      sangat nggak di-wongne. Yang penting dikubur," ungkapnya.

      

      Bermula dari peristiwa itu, dia mulai berpikir. Dia mengumpulkan
beberapa

      temannya untuk mengadakan rembukan. Mereka sepakat harus ada jalan
keluar

      agar kaum waria tidak mati mengenaskan seperti itu. "Jadinya, kami
ambil

      sikap untuk mengadakan kumpulan yang bentuknya positif. Tidak sekadar

      gerudak-geruduk," terang pemilik salon di Jalan Penjaringan Sari dan
Menur

      Pumpungan itu.

      

      Akhirnya, terbentuklah kelompok pengajian Al-Ikhlas yang digelar tiap
malam

      Jumat Legi. Jamaah kemudian lebih akrab menyebutnya dengan pengajian
Jumat

      Manis.

      

      Pengajian pertama digelar di Perumahan Taman Pondok Jati, di rumah H
Joyce,

      pada 2003. Saat itu, pesertanya hanya 18 orang. Dalam setiap
pengajian, para

      waria mendatangkan ustad. Dia diminta berceramah soal agama dan cara

      mendekatkan diri kepada Tuhan. "Saat ini, kami rutin mengundang H
Masyhuri

      dari Rewwin," terangnya.

      

      Ketika awal-awal pengajian, banyak jamaah yang belum paham soal agama.

      Jadinya, para waria itu datang ke pengajian dengan pakaian wanita
serta

      mengenakan rukuh saat salat. "Tapi, Pak Masyhuri tetap saja
berceramah.

      Beliau menganggap kami sebagai sahabat," ungkapnya. Dari
ceramah-ceramah

      yang rutin diadakan itu, para waria akhirnya paham. Perlahan-lahan,
terjadi

      perubahan dalam hal berpakaian. Mereka datang ke pengajian tidak lagi
dengan

      pakaian wanita dan tidak lagi mengenakan rukuh saat salat. Mereka
mulai

      tampil dengan gaya aslinya. Berdandan laki-laki, berbaju koko,
berkopiah,

      dan menenteng sajadah.

      

      Kehidupan spiritual mereka juga berubah. Para waria itu mulai
menunaikan

      salat lima waktu serta belajar membaca Alquran. "Semoga dengan cara
ini bisa 

      menarik mereka yang masih di jalanan untuk ikut pengajian," katanya.

      

      Sampai saat ini, jumlah jamaah pengajian Jumat Manis sudah mencapai 70

      orang. Bahkan, saat halalbihalal dua minggu lalu, yang hadir mencapai

      sekitar 300 orang. Mereka semua waria.

      

      Kini kegiatan mereka tidak sebatas pada pengajian. Di setiap akhir
acara,

      Marini yang ditunjuk sebagai motor pengajian juga mengumumkan kepada
peserta

      untuk memberikan sumbangan. Jumlahnya tak perlu banyak, yang penting
ikhlas.

      "Dananya bakal kita sumbangkan kepada waria yang kurang beruntung,"

      Terang waria berkacamata itu.

      

      Manfaat pengajian juga diakui Linda. Pemilik Linda Salon di Jalan

      Kendangsari itu mengaku gaya hidupnya mulai berubah sejak dirinya
rutin

      mengikuti pengajian Jumat Manis. Dia yang sebelumnya menjalankan salat
di

      rumah dengan rukuh, seperti layaknya perempuan, kini mulai berani
unjuk

      muka. Setiap Jumat, dia pergi ke masjid dengan pakaian muslim.

      "Bahkan,

      setiap selesai ibadah, saya dipanggil takmir dan diajak berdiskusi.

      Itu artinya, keberadaan saya diterima," ungkapnya.

      

      Di luar pengajian, dia juga banyak terlibat dalam kegiatan sosial.

      Misalnya,

      saat peristiwa gempa Jogja lalu. Dia bersama rekan-rekannya menggalang

      banyak dana untuk disumbangkan. "Meski waria, kami juga punya
kepekaan,"

      terangnya.

      

      Pada acara halalbihalal waria yang digelar di rumahnya dua minggu
lalu,

      berhasil dikumpulkan dana hingga Rp 9 juta. Dana itu disumbangkan
kepada 30

      waria yang kurang beruntung. Mereka yang mendapat bagian adalah waria
ludruk

      yang umumnya sudah dimakan usia. "Kasihan mereka. Tidak banyak lagi

      penghasilan yang masuk," terang Linda, yang tak mau menyebut nama
aslinya

      itu.

      

      Selain Linda dan Marini, masih ada Dani Larasati. Waria ini punya nama
asli

      Dani. "Sejak berdiri, saya sudah ikut pengajian ini. Saya adalah
peserta

      aktif Jumat Manis," ujarnya.

      

      Dia mengaku banyak mendapat manfaat dari pengajian Al- Ikhlas itu.

      "Yang jelas, saya bisa beribadah. Saya mengenal Tuhan," ungkap waria
41 tahun itu.

      Dia menargetkan, jika rezekinya lancar, dua tahun mendatang bakal
menyusul

      Marini ke Tanah Suci. "Doakan saya bisa naik haji," terang waria
berambut

      panjang itu.

      

      Aktivitas para waria di kelompok pengajian Al-Ikhlas juga mengantarkan

      anggotanya dikenal lebih luas. Marini, misalnya, kini kerap diundang

      berbagai lembaga untuk berbagi pengalaman soal aktivitas pengajian
para

      waria Surabaya.

      

      Bahkan, dua bulan lalu, berturut-turut dia kedatangan peneliti dari
empat

      negara. Yakni, Bangladesh, Pakistan, Thailand, dan Afghanistan.

      "Umumnya mereka menanyakan, bagaimana waria bisa menggelar pengajian,"

       katanya.

      Sebab, dalam pandangan Islam sendiri, keberadaan waria itu menjadi

      pertentangan.

      

      Soal itu, Marini memberikan jawaban logis. "Waria itu hanya kehidupan
sosial

      saya saja. Setiap hari saya memang seperti wanita. Namun, soal
hubungan

      dengan Allah, saya kembali ke kodrat. Menjadi laki-laki," terangnya.

 

(Anggit Satriyo) 

 

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke