Senin, 18 Desember 2006

Belum Haji Sudah Mabrur 

Oleh : Ahmad Tohari 


Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah tetangga kami.
Dia salah seorang penerima program Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang
kini sudah berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu tahun jumlah
uang yang diterima Yu Timah dari pemerintah sebesar Rp 1,2 juta. Yu
Timah adalah penerima SLT yang sebenarnya. Maka rumahnya berlantai
tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan status
tanah yang di tempati gubuk Yu Timah adalah bukan milik sendiri.
Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan tidak menikah.
Barangkali karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat miskin, ditambah
yatim sejak kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki manapun. Jadilah
Yu Timah perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Dulu setelah remaja
Yu Timah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Namun,
seiring usianya yang terus meningkat, tenaga Yu Timah tidak laku di
pasaran pembantu rumah tangga. Dia kembali ke kampung kami. Para
tetangga bergotong royong membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama emaknya
yang sudah sangat renta. Gubuk itu didirikan di atas tanah tetangga yang
bersedia menampung anak dan emak yang sangat miskin itu.
Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka ia berjualan
nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di
pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi Yu Timah
bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup bertahun-tahun bersama emaknya.
Setelah emaknya meninggal Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia
biayai anak itu hingga tamat SD. Tapi ini zaman apa. Anak itu harus cari
makan. Maka dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah tangga dan
lagi-lagi terdampar di Jakarta. Sudah empat tahun terakhir ini Yu Timah
kembali hidup sebatang kara dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan
berjualan nasi bungkus. Untung di kampung kami ada pesantren kecil. Para
santrinya adalah anak-anak petani yang biasa makan nasi seperti yang
dijual Yu Timah.
Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira pasti dia mau
bicara soal tabungan. Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu Timah masih bisa
menabung di bank perkreditan rakyat syariah di mana saya ikut jadi
pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor. Katanya, malu
sebab dia orang miskin dan buta huruf. Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10
ribu setiap bulan. Namun setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa
setor tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan sejak itu saya melihat Yu Timah
memakai cincin emas. Yah, emas. Untuk orang seperti Yu Timah, setitik
emas di jari adalah persoalan mengangkat harga diri. Saldo terakhir Yu
Timah adalah Rp 650 ribu.
Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya. Malah maunya
bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah.
''Pak, saya mau mengambil tabungan,'' kata Yu Timah dengan suaranya yang
kecil.
''O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore. Bank kita sudah
tutup. 
Bagaimana bila Senin?''
''Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa.''
''Mau ambil berapa?'' tanya saya.
''Enam ratus ribu, Pak.''
''Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?''
Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum malu-malu.
''Saya mau beli kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus ribu saya tambahi
dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing.''
Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya. Bahkan dia mengulangi
kata-katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan
tanggapan, mungkin Yu Timah mengira saya tidak akan memberikan uang
tabungannya. Padahal saya lama terdiam karena sangat terkesan oleh
keinginan Yu Timah membeli kambing kurban.
''Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan sebesar enam ratus
ribu. Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah bahkan
wajib menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada. Jadi,
apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing
kurban?''
''Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama
ini memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi
pemberi daging kurban.''
''Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita.''
Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya berbinar. Lalu minta
diri, dan dengan langkah-langkah panjang Yu Timah pulang.
Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri. Kapankah Yu Timah
mendengar, mengerti, menghayati, lalu menginternalisasi ajaran kurban
yang ditinggalkan oleh Kanjeng Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat
awam itu bisa punya keikhlasan demikian tinggi sehingga rela
mengurbankan hampir seluruh hartanya? Pertanyaan ini muncul karena
umumnya ibadah haji yang biayanya mahal itu tidak mengubah watak
orangnya. Mungkin saya juga begitu. Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Kamu
yang belum naik haji, atau tidak akan pernah naik haji, namun kamu sudah
jadi orang yang suka berkurban. Kamu sangat miskin, tapi uangmu tidak
kaubelikan makanan, televisi, atau pakaian yang bagus. Uangmu malah kamu
belikan kambing kurban. Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang dokter makan
daging kambing, tapi kali ini akan saya langgar. Saya ingin menikmati
daging kambingmu yang sepertinya sudah berbau surga. Mudah-mudahan kamu
mabrur sebelum kamu naik haji.
 
 
silakan klik di http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke