Perlu Perubahan Konsep Keberbakatan  

Tulisan ini dalam rangka menyambut seminar Deteksi dan Pendidikan Anak
Cerdas Istimewa dan Berbakat Istimewa (Gifted & Talented Children) 3 Maret
2007 dari Kelompok Diskusi Orang Tua Anak Berbakat bersama Dit PSLB
Mandikdasmen Depdiknas RI. 

Oleh Julia Maria van Tiel

JAKARTA-Dari pengalaman banyak orang tua yang tergabung dalam komunitas
milis [EMAIL PROTECTED], terdapat rasa sedih menghadapi
anak-anaknya. Saat masih balita banyak yang mendapatkan diagnosis autisme
atau ADHD. Menerima bermacam terapi dan obat-obatan, tetapi kenyataannya
saat mulai agak besar ia mempunyai prestasi yang baik di beberapa bidang
keilmuan, hobi yang sangat baik dalam musik, menggambar, dan desain. 
Ia pun keluar dari kriteria sebagaimana diagnosisnya. Beberapa di antaranya
memang masih mengalami kesulitan yang perlu penanganan khusus karena
mengalami learning disabilities (gangguan belajar), ketertinggalan
perkembangan sosial, dan masalah emosional.
Ambil contoh Tomo, putra dari Ibu Wasitowati dari Tegal, masa kecilnya yang
terlambat bicara pernah dianjurkan operasi telinga untuk implantasi cochlea.
Karena tidak mempunyai uang, operasi itu tidak dilaksanakan. Kemudian ia
dianjurkan masuk asrama anak bisu-tuli di Wonosobo. 
Karena si ibu merasa kasihan, ia mencari opini lain. Tetapi Tomo mendapatkan
diagnosis lain, bukan tuli karena memang mulai bisa bicara saat usia 4
tahun, diagnosis berganti dengan autisme dan harus mendapatkan terapi. 
Saat berusia 5 tahun sekali lagi ia menjalankan tes psikologi pada seorang
psikolog yang menspesialisasikan pada anak gifted, nyatanya ia mempunyai
potensi giftedness (keberbakatan) dengan inteligensia sangat baik yang
selama ini tidak menjadi pertimbangan. Kini ia duduk di sekolah dasar dengan
prestasi yang baik. Mengingat hal ini, Bu Wasitowati selalu saja menarik
nafas, ngenas. 
Kisah seperti ini bukan hanya melanda Indonesia, tetapi hampir menyeluruh di
seluruh dunia. Di setiap kongres dan seminar internasional tentang gifted
children selalu saja dihadirkan sesi yang membicarakan kesalahan diagnosis
ini. Usulan agar perkembangan anak-anak ini menjadi diagnosis pembanding
gangguan perkembangan autisme ataupun ADHD, selalu saja dikumandangkan oleh
banyak psikolog terkenal di dunia. Tetapi hingga kini belum ada kriteria
pembanding yang digunakan oleh pihak psikiatri, yang pada akhirnya anak-anak
ini bila masuk ke ruang dokter atau psikolog klinik akan mendapatkan
diagnosis itu. 
Mengapa hal ini dapat terjadi? Dimana peranan psikolog sebagai profesi yang
seharusnya mampu mendeteksi sedini mungkin agar musibah kesalahan diagnosis
itu dapat dihindari? Dari sisi deteksi anak gifted, keribetan ini, awalnya
adalah dari konsep gifted yang selama ini digunakan berdasar teori The Three
Ring dari Renzulli (Amerika) bahwa seorang anak gifted adalah yang mempunyai
inteligensia di atas rata-rata (di atas 130); motivasi dan komitmen terhadap
tugas yang tinggi; serta kreativitas yang tinggi. 
Konsep ini juga masih digunakan dalam pengembangan anak-anak berbakat
(gifted) Indonesia. Dalam konsep ini, anak gifted adalah yang mempunyai
prestasi baik dan ber-IQ di atas rata-rata. Anak gifted muda terutama highly
gifted mempunyai tumbuh kembang yang krusial yang dalam berbagai tesnya
tidak mungkin mencapai itu semua karena tengah berkembang. Ia mengalami
ketidaksinkronan perkembangan yang dapat memungkinkan berbagai
perkembangannya mirip dengan berbagai gangguan perilaku, emosional, bahkan
gangguan mental, bahkan giftedness-nya tertutupi oleh masalahnya. 
Hal yang sama pernah terjadi di Belanda di tahun 1970-an saat diagnosis
Minimal Brain Damage tengah trendy. Anak-anak itu masuk dalam panti-panti,
pusat revalidasi, atau sekolah-sekolah khusus untuk anak yang sangat
bermasalah. Saat dilakukan evaluasi inteligensia, anak-anak ini mempunyai
giftedness yang tidak pernah menjadi bahan pertimbangan. Sejak itu dilakukan
penelitian panjang terhadap anak-anak ini yang hasilnya melengkapi teori
Renzulli menjadi Triadik Renzulli-Mönks yang dipublikasi tahun 1986. 
Dengan adanya teori ini, konsep gifted berubah, ia menjadi konsep
multidimensional dan dinamis karena menyangkut selain perkembangan
inteligensia (kognitif) juga karakteristik personalitasnya, tumbuh
kembangnya, dan lingkungannya.
Perubahan lain juga menyangkut yang semula giftedness sebagai produk kini
giftedness sebagai potensi. Potensi ini tidak akan terwujud jika tidak
didukung oleh lingkungan bagaimana mendeteksi dan menanggapinya, pengasuhan
dalam keluarga, dan pendidikan di sekolahnya. 
Kini konsep ini sudah digunakan oleh banyak negara maju di dunia dan deteksi
dimulai sedini mungkin saat sebelum usia taman kanak-kanak, tanpa harus
menunggu bahwa ia telah mampu menjalankan tes IQ yang aturannya dilakukan di
atas 6 tahun. 

Penulis adalah pembina pada milis Anak Berbakat. 

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke