Jumat, 09 Februari 2007

Sunatullah Banjir 

Oleh : Zaim Uchrowi 

  Seberapa besar kehancuran yang ditimbulkan banjir Jakarta sekarang? Entahlah. 
Tapi, terendamnya kawasan Kelapa Gading hingga wajah kuyu bocah-bocah sampai 
ibu-ibu renta yang menengadahkan tangan di bawah guyuran hujan untuk meminta 
bantuan lebih dari cukup untuk memberikan gambaran bahwa petaka banjir Jakarta 
kali ini memang luar biasa. Persoalannya adalah: Mengapa kita tidak belajar 
dari banjir besar tahun 2002?
  Semestinya, banjir terdahulu itu cukup untuk memjadi pelajaran. Banjir bukan 
hanya menyapu daerah pinggiran sungai. Daerah yang biasanya padat dan kumuh, 
tempat warganya terbiasa bermain-main dengan bencana demikian saban tahun. 
Banjir juga melanda wilayah permukiman mewah. Kawasan yang semestinya telah 
dirancang secara baik untuk menjadi wilayah hunian sehat dan aman. Tetapi, 
kenyataannya, tak banyak yang dilakukan usai banjir 2002.
  Penanggulangan banjir melalui proyek pembangunan Kanal Timur memang 
digulirkan setelah itu. Namun, pembangunan itu lebih merupakan 'proyek', yang 
sebagaimana proyek lainnya memiliki nilai uang dibanding untuk dapat mencegah 
banjir secepatnya. Terbukti hingga kini proyek itu belum selesai. Dan entah 
kapan selesai. Selain itu, tak tampak usaha berarti untuk menghadapi bencana 
tersebut.
  Kawasan bantaran sungai tetap dipenuhi rumah-rumah 'liliput' yang berjejalan. 
Jumlah warga yang tinggal di sana bukan berkurang, malah terus bertambah. 
Itulah kawasan yang kalangan miskin urban paling mampu menjangkaunya. Di situ 
mereka berkeluarga dan melahirkan anak-anak dengan kecepatan dan jumlah jauh 
melebihi kemampuan mereka sendiri maupun lingkungan untuk menanggungnya. Mereka 
memang telah terbiasa dengan banjir. Tapi, dari tahun ke tahun, risiko yang 
harus ditanggungnya pun kian besar.
  Di luar pinggiran sungai, tanah-tanah terbuka telah disulap habis menjadi 
hutan beton. Kantung-kantung air raksasa telah lama dijarah untuk kepentingan 
uang. Kawasan rawa-rawa di utara Jakarta yang dulu entah milik siapa, telah 
dijadikan permukiman elite Sunter dan Kelapa Gading. Ke mana air harus 
ditampung jika hujan mengguyur deras dan sungai-sungai meluap, para pengembang 
permukiman tak mau peduli.
  Yang mereka peduli hanya meninggikan kawasan yang dibangunnya. Biarkan air 
mencari jalannya sendiri. Bila sekitarnya kemudian juga ditinggikan, maka air 
bisa 'kembali' ke daerah penampungan lamanya. Pengembang juga tak peduli. Toh 
permukiman itu telah laku terjual.
  Penghancuran paling serius terjadi di kawasan Kapuk. Habitat air yang sangat 
unik di kawasan barat Jakarta dihancurkan begitu saja demi pembangunan 
permukiman mewah. Cuma sebaris tipis hutan bakau yang disisakan di sana. 
Selebihnya dikeringkan buat kepentingan bisnis. Para pengembang tertawa. Begitu 
juga para pejabat negara yang pura-pura tidak melihat penghancuran itu. Jakarta 
dan sekitarnya terus dibangun tanpa mengacu rancangan tata kota yang jelas. 
  Tanpa ada kawasan hijau maupun kantung-kantung penyerapan air. Bahkan, tanpa 
sistem drainase kota modern. Sementara itu, di kawasan Puncak, hutan dan 
tanah-tanah pertanian kian habis dikikis buat pembangunan rumah-rumah 
peristirahatan. Siapa yang sungguh-sungguh berupaya mengatasinya? 
  Prinsip sunatullah mengajarkan hukum alam sebagai hukum Tuhan adalah pasti. 
Benda yang dilepas akan selalu jatuh ke bawah, kaki yang diinjak selalu sakit, 
air dipanaskan akan menguap. Dengan cara kita mengelola lingkungan, tata kota, 
dan kehidupan bermasyarakat seperti sekarang, banjir besar pasti terjadi, dan 
akan terus terjadi lagi di masa depan secara lebih dahsyat. Maka, tidak ada 
pilihan bagi bangsa ini selain tegas menegakkan prinsip-prinsip sunatullah.
  Seluruh bangsa ini harus tegas mengerem laju pertambahan penduduk yang 
menimbulkan akibat luar biasa bagi kemerosotan lingkungan dan kemasyarakatan. 
Pembangunan kota melebar harus dihentikan, digantikan dengan kota yang meninggi 
terselang-seling kawasan hijau, lengkap dengan sistem drainase dan penampungan 
air. Kawasan kumuh di pinggiran sungai harus digusur, dijadikan kawasan hijau. 
Penghuninya harus dialihkan ke rumah-rumah susun dengan lingkungan pendukung 
yang sehat. 
  Seluruh pembangunan berskala besar harus dihentikan sementara, dikaji secara 
menyeluruh untuk disesuaikan dengan tuntutan baru pembangunan wilayah. 
Pengembang besar harus dipaksa untuk mengatasi banjir sekitarnya. Bila tidak, 
proyeknya harus dihentikan dan seluruh asetnya di sita. Prinsip sunatullah 
mengajari kita berdamai dengan alam melalui sikap tegas pada diri sendiri. 
Banjir ini semestinya membuat kita menjadi bangsa yang tegas pada diri sendiri. 
Bukan bangsa lembek dan mencla-mencle. 


 
---------------------------------
We won't tell. Get more on shows you hate to love
(and love to hate): Yahoo! TV's Guilty Pleasures list.

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke