Inikah Garis Nasibku?

 

Kukira, garis nasib sudah ditentukan oleh yang di atas. Jadi, jika mengikuti
garis nasib itu, pastilah hidupku akan aman, tentram, kecukupan, dan
bahagia. Nyatanya, "garis nasib" itu tak memberikanku kebahagiaan seperti
yang semula begitu aku yakini. Aku begitu kesepian, kini.

 

5 tahun lalu, aku masih gadis, dan punya dua kekasih. Bram (39) kekasihku
yang pertama, sudah bersamaku menjalin kasih selama 6 tahun. Orangnya
tenang, sabar, dan cukup mapan. Kariernya di sebuah perusahaan eksim cukup
untuk menopang ekonomi kami jika menikah. Tapi, tanpa setahu Bram, aku juga
menjalin kasih dengan Erwin (32), seorang staf sebuah bank, di lain kota.

Kami berkenalan tak sengaja ketika aku berpergian ke Jakarta. Dan kemudian
menjadi dekat. Karena posisinya di luar kota, aku berani juga meladeni
asmaranya. Dan semua kujalankan tanpa sepengatahuan Bram.

 

Tapi, sepandai-pandai membungkus asmara, Bram menciumnya juga. Dan dia tidak
marah. Hanya bertanya mendalam. Selebihnya, dia meminta aku memutuskan. Dan
aku tak dapat memutuskan. Aku bingung. Keduanya serius. Dan aku ragu dengan
perasaanku. Ragu dengan keyakinanku jika harus memilih satu. Aku panik.

Untunglah, Bram tidak mendesak. Dia mempersilahkan aku memikirkan hal itu
dengan tenang. Dan dia siap jika tidak terpilih. "Aku telah terlalu tua
untuk bersaing, Nan?" aku ingat itulah kata-katanya. Dia ingin dipilih,
tidak karena terpaksa. Dia ingin dia merasa berharga.

 

Tapi aku memang tak dapat memutuskan. Maka, atas saran Mama, aku pun memakai
rumus kuno, menghitung nasibku diantara dua lelaki itu. Ke Solo, aku diantar
Mama ke seorang "pembaca" nasib. Setelah berbasa-basi, Mama pun menjelaskan
maksudku. Dan kemudian aku diminta menuliskan tanggal lahirku dan dua
kekasihku itu. Kami pun terlibat ramalah yang "dirumuskan" oleh buku tua
itu. Dan nyaris selama 2 jam lebih, kami membaca nasib seperti yang terbaca
dari garis lahirku, Bram dan Erwin. Dan dari pembacaan itu, Erwin lebih
bagus daripada Bram. Wuku Bram yang "satria wirang" tidak cocok denganku,
juga hitungan-hitungan lainnya yang terlalu rumit kalau kujelaskan. Intinya,
dengan Erwin aku akan saling mendukung, menemukan kecocokan, dan lainnya.

 

Tentu, aku sedikit tenang. Mama yang cukup kenal dengan "peramal" itu pun
cukup meyakinkan akan kevalidan pembacaan itu. Meski Mama meminta aku
berpikir hati-hati. Aku mengiyakan. Kudatangi Erwin, kuajak dia bicara
tentang pernikahan. Dan dia terlonjak, senang. Dia siap! Secepatnya. Aku
ikut senang. Beda dengan Bram yang ketika kukatan soal menikah, malah
tertawa. Dia tahu aku tengah mencobanya bertanya untuk mengukur
keseriusannya. Ya, Bram memang tahu sekali diriku. Karena itu, dia tak mau
menjawab kapan akan menikahiku. Dia tidak mau, sebelum aku memilih dulu
siapa diantara dia dan Erwin.

 

Aku mulai ragu pada Bram. Dia terlalu banyak pertimbangan. Maka aku putuskan
pilihan pada Erwin. Bram aku singkirkan. Dan Bram pamit, dengan sangat enak.

Pamit ke keluargaku, dan berkata akan tetap menjagaku. Dia memang bukan yang
aku pilih. Tapi hubungan kami lebih dari itu. Dia misalnya, terlanjut dekat
dengan adik lelakiku, juga ayahku. Maka, pamitnya Bram tidak memutuskan
siraturahmi keluarga. Dia cuma bukan kekasihku lagi. Itu saja.

 

Empat bulan kemudian aku menikah. Dan ikut suami ke Solo. Sebulan, dua
bulan, setengah tahun, aku bahagia. Setahun, dua tahun, aku bahagia. Tahun
ketiga, semua lenyap. Erwin terlibat hutang luar biasa besar. Dia pun
menjadi pemarah. Dan hebatnya, semua hutang dia itu tidak ada yang
kuketahui, artinya tanpa persetujuanku. Bahkan, kredit yang dia ajukan untuk
modal dengan jaminan rumah, keluar tanpa persetujuanku. Artinya, waktu akad
kredit usaha, dia telah membawa orang lain yang mengaku sebagai diriku. Dan
semua uang yang dia pinjam itu ternyata untuk membayar hutangnya yang telah
ada sewaktu dia belum menikahiku. Cukup? Tidak, Erwin juga suka sekali
kehidupan malam, dengan teman-temannya. Katanya, dia kesepian karena tidak
ada anak di rumah. dan dia menuduh aku mandul. ucapannya yang kasar, dan
tuduhan itu, membuat aku sering menangis sendirian.

 

Tahun keempat, aku nyaris tidak tahan. Aku diskusikan untuk berpisah. sebuah
tamparan yang datang. dengan alasan untuk saling menjajaki kemungkinan
terjauh perkawinan kami, aku pun meminta pindah kerja ke Semarang. Atas jasa
papa, proses kepindahanku menjadi mudah. Aku kembali tinggal sama orang tua.

Dan Erwin datang tiap minggu.

 

Awalnya, dia memang rajin datang. Dan selalu baik. Pada mama dan Papa juga,
dia sangat baik dan berjanji berubah. Papa pun berjanji akan membantu semua
masalah dia jika dia memang mau berubah. Tapi nyatanya, ketika papa
menyinggahkan diri ke Solo, di rumah kami Papa menemukan perempuan lain.

Papa marah, dan tak mau lagi bicara dengan Erwin. Aku yang akan memilih
cerai, tak jadi karena ada janin di perutku. Rumit.

 

Tapi, akhirnya janin itu tak lahir. gugur ketika memasuki bulan ketiga.

Mungkin karena stresku, karena lelahku. Dan selalu stres itulah, Bram
datang, menemaniku. Menjadi teman bicara yang sangat baik. Tak pernah dia
mengungkit masa lalu, atau membicarakan suamiku. Dia hanya mendengar dan
bercerita kisah-kisah lucu, nemani makan, dan menelpon kalau malam.

Bersamanya, aku seperti kembali ke masa-masa yang bahagia dulu. Bram yang
lebih tua, yang lebih mampu memahamiku. Satriaku, satriaku yang telah
kubuang dan kubuat malu.

 

Kini, telah 4 bulan Erwin tidak datang. Aku ingin cerai. Tapi Bram
menyarankan aku berpikir ulang. Bram tidak ingin karena dia dekat, aku
tambah yakin dengan perceraian itu. Lagipula, dia dengan tertawa berkata,
"kalaupun kamu cerai, aku tidak akan otomatis mau lho menikahi kamu..."

Entah dia serius atau tidak. Tapi rasanya, aku percaya dia masih
mencintaiku, seperti aku juga yang kian yakin dengan rasa cintaku. Tapi,
apakah memang cerai jalan yang terbaik? Padahal, di keluaga kami, tak pernah
ada yang bercerai? semua cukup dengan satu pernikahan. Apakah garis nasibku
memang mengharuskan seperti itu?

 

[Seperti cerita Nani kepada Kami]

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke