Coffee Shop & Kebun Kopi Ki Ageng Similikithi-Manila Kali ini saya merenung tentang makna kedai kopi (coffee shop) dan kebun kopi. Renungan dari dua sisi yang berbeda.
Saya mulai dari sisi yang pertama, yakni kedai kopi atau istilah sekarang, coffee shop. Buat saya seumur umur, Minggu siang adalah hari yang selalu berkonotasi istirahat, relaks, dan alunan musik yang menghanyutkan. Minggu siang kemarin, habis makan siang, tiba tiba timbul keinginan minum kopi di coffee shop dekat tikungan jalan di dekat apartemen saya. Namanya Mocha Blend. Tempatnya tak besar, hanya kira2 enam kali enam meter. Suasananya begitu tenang dengan musik lembut. Yang saya ingat benar adalah lagu Raindrops Keep Falling on My Head dan I love You Because. Lagu pertama mengingatkan irama foxtraut yang ritmis melayang. Pesan coffee late dan banana loaf. Tak ada peristiwa yang istimewa. Ada sepasang turis berbahasa Jerman lagi asyik main komputer. Dan tiga orang penghuni hotel yang menunggu jemputan ke bandara. Hanya suasana tenang setengah ngantuk dengan musik lembut ini yang membuat saya mempunyai kesan tersendiri. Seperti halnya di kota2 lain, di Manila sekarang banyak berkembang coffee shop. Brand mark nya terkenal dari rasa dan aroma kopi saja, tetapi juga suasana relaks dan tenang yang banyak menarik pelanggan. New life style ? Paling tidak dalam kemasan baru. Di Manila yang terkenal adalah Figaro, asli Filipina. Begitu pandainya menampilkan suasana yang khas, Figaro mampu bersaing dengan brand2 multinasional seperti Star Buck. Ingatan saya melayang ke suasana serupa, di Ulaan Baatar Mongolia beberapa tahun lalu. Saya baru tiba dari Beijing di satu Minggu pagi. Di hotel ada pesan dari teman yang sudah datang sehari sebelumnya dari Geneva, Jacqueline. Dia bilang sudah nyewa mobil sama sopir mau putar2 siang itu, apakah saya mau ikut ? Dengan hati hati saya jawab kalau saya semalam tidak tidur. Saya memang nyoba tidur beberapa menit. Susah tidak bisa tidur. Kemudian jalan keluar sekalian cari makan siang. Setelah jalan seperempat jam, ketemu satu coffee shop yang nggak begitu besar. Saya nggak ingat namanya. Suasananya begitu tenang sambil ngantuk menikmati alunan musik lembut Duke Elington, Frank Sinatra dan James Reeves. Ada empat orang Eropa yang lagi asyik ngobrol di meja seberang. Mereka debat tentang nama dan tinggi gunung2 sekitar Ulaan Baatar. Its not my business. Berapapun tinggi gunung itu, saya tak minat dan tak kuat mendaki seperti mereka. Di sebelah meja yang lain, seorang pria usia lanjut sedang bercanda sambil makan dengan 3 orang cucunya. Pria tersebut masih tampak kuat dan tampan. Dia nampak bahagia sekali. Yang banyak ngomong si cucu yang terkecil, mungkin umur 10 tahunan. Saya begitu terpana melihat mereka menikmati. Ingatan saya melayang ke anak saya bungsu yang telah almarhum. Di masa kecilnya dia selalu yang paling banyak cerita, menjadi pusat perhatian sekalipun dengan kakeknya waktu itu ( saya akan ceritakan di lain kesempatan). Coffee shop lain yang begitu berbekas di ingatan saya adalah satu kedai kecil di pinggir jalan antara Padang dan Bukit Tinggi ditepi danau Singkarak. Tahun 2001, kebetulan ada kursus internasional yang dibeayai oleh organisasi kami dan diadakan di Padang. Hari Minggu para peserta dan pelatih lain sudah berangkat sejak pagi ke Bukit Tinggi. Saya pengin istirahat dan tidur siang di hotel. Ternyata nggak bisa. Lalu nyewa mobil menelusuri jalan Padang Bukit Tinggi. Istirahat sejenak di kedai tadi pengin minum kopi sambil menikmati indahnya danau Singkarak. Banyak perubahan yang telah terjadi di danau ini. Pencemaran bisa dilihat dengan mata telanjang dari warna air yang mengeruh dibanding tahun delapan puluhan. Kopinya begitu manis dan kental. Saya kira seperti umumnya di Sumatra Barat dan Aceh, kalau bikin kopi, gulanya setengah gelas lebih. Kadang susah membedakan kopi atau kolak. Si abang penjualnya begitu asyik cerita, tak jelas benar apa yang diceritakan, mulai dari air danau, tanah yang dikuasai orang kaya, pemilihan DPRD dll. Sambil ngantuk pidatonya terus berkumandang di telinga saya. Persistent talker asli, begitu bersemangat, sampai saya tak pernah lupa membayangkan raut wajahnya. Lagu ndang ndut yang disetel keras tak juga mampu mencegah saya menikmati ketenangan dan setengah mengantuk. Mungkin agak keterlaluan, kadang saya terpikir, banyak Minggu siang saya sewaktu di Indonesia terenggut tanpa sadar. Entah karena jagong, arisan, pekerjaan atau pertemuan lain. Banyak ladang, banyak belalang. Tetapi saya sempat menikmati kembali Minggu siang kemarin seperti tahun2 yang telah silam. Di tahun delapan puluhan, sewaktu di Newcastle (UK) setiap Minggu siang saya kebagian momong anak2, semua laki2 umur 2 sampai 4 tahun. Di musim panas, biasanya saya ajak mereka ke taman dekat rumah. Pada main bola sendiri, sementara saya ngantuk dan melamun di tepi lapangan. Sisi lain yang ingin saya ungkapkan adalah kebun kopi, tepatnya perkebunan kopi. Seperti halnya, gula dan cokelat, kopi adalah hasil pertanian daerah jajahan yang ikut berperan mengubah hidup orang2 Eropa. Gula, cokelat dan kopi telah memberi warna dalam kenikmatan makanan baik dalam pesta atau kehidupan sehari hari. Bayangkan betapa hambarnya, jika tak ada gula, tak ada cokelat dan tak ada kopi. Pola hidup mewah terutama pesta2 berubah total sejak diketemukannya cokelat, kopi dan gula di masyarakat Eropa sejak kira2 dua abad lalu. Kontras betul dengan suasana masyarakat penghasil komoditas ini, buruh2 perkebunan di bekas negara jajahan. Bukan hanya dalam jaman tanam paksa saja mereka miskin dan menderita. Bahkan sampai sekarang anak turun mereka tetap sebagai buruh perkebunan yang tetap miskin. Ada satu tulisan Kokier yang menyampaikan pengamatan dan pengalamannya kembali menjenguk tanah perkebunan. Kesannya sama, buruh2 tersebut terlunta dari generasi ke generasi dalam kemiskinan. Struktur perkebunan kita memang mengkopi model onderneming (?) jaman penjajahan dulu. Kesenjangan yang besar antara para eksekutif dan para buruh yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ini cerita tentang almarhum Bpk. Supardjo Rustam, sewaktu menjabat Gubernur Jawa Tengah, di tahun tujuh puluhan, sewaktu mengunjungi salah satu perkebunan di Solo. Beliau menolak makan siang dan meninggalkan acara makan siang yang akan di mulai. Katanya "Saya tak sampai hati makan di sini dengan para Direksi, sementara para buruh kelaparan di luar sana". Kemiskinan memang tak akan bisa begitu saja dihilangkan dalam kehidupan buruh2 perkebunan. Saya tak tahu sampai kapan, walaupun saya selalu menikmati minum kopi. [Non-text portions of this message have been removed]