Dear Mas Deni, Apakah ikut diskusi Sabtuan tersebut?. Kalau ikut apa kesimpulannya?
Sebagai orang muslim tentu kita tidak meragukan sedikitpun isi Al Qur'an. Tetapi kita juga harus ingat bahwa Al Qur'an itu dalam bentuk teks dan orang yang paling tahu maksud dan isi dari teks tersebut hanya Nabi Muhammad S.A.W. Sedangkan para mufasir, dengan segala hormat, mereka berusaha memahami kandungan Al Qur'an sesuai kapasitas dan kemampuan beliau. Oleh karena itu para mufusir juga kadang berbeda pendapat. Inilah barangkali yang disebut relativitas pemahaman manusia. Saya sendiri sebagai sarjana bahasa Inggris dan juga mengajar teori terjemahan di salah satu Universitas Swasta di Jakarta paham betul masalah yang terjadi dalam proses alih bahasa (terjemahan). Tidak mudah mengalihkan makna dari satu bahasa (misalnya Arab) ke bahasa lain (misalnya Indonesia). Menurut ustad saya terjemahan Al Qur'an versi Depag juga banyak mengandung kelemahan. Padahal kalau Pak Deni baca para penerjemahnya banyak yang bergelar Prof. Dr., K.H. dll. Menurut ustad saya yang ahli tauhid, banyak ayat Al Qur'an yang punya nilai tauhid tinggi menjadi hilang maknanya setelah diterjemahkan ke dalam Bhs. Indonesia. Kembali ke masalah teks, bagaimanapun juga ada keterbatasan bahasa dalam menyampaikan hakikat dari sesuatu hal. Misalnya kita mau mengatakan enak, apakah enaknya sate dengan enaknya piza sama? Apakah manisnya es krim dan manisnya es cendol sama? Apakah kita bisa menjelaskan bagaimana rasanya,maaf, orgasme,dengan kata-kata yang pas kepada anak kecil yang belum akhil balig atau orang dewasa yang belum menikah, atau tidak bisa mengalaminya karena impoten? Betapapun kita berusaha menjelaskan rasanya tetap tak terwakilkan. Dalam konteks Al Qur'an, misalnya banyak keterangan mengenai keindahan Syurga. Apakah kita bisa membayankan hakikat yang sebenarnya dari keindahan syurga? Nabi Muhammad S.A.W. pernah bersabda bahwa keindahan dalam syurga adalah keindahan yang tak pernah kita rasa, lihat dan dengar. Artinya betapapun kita mencoba membayangkan, bayangan kita tidak akan pernah sampai pada hakekat yang sebenarnya. Lagi-lagi ini memberikan isyarat bahwa karena keterbatasan bahasa dalam menyampaikan hakekat dari suatu hal, maka terjadilah pemahaman yang berbeda. Jadi saya rasa kita tidak usah terlalu alergi dengan pemikiran/ pendekatan baru. Tentu kita bisa memilih/ melihat apakah pendekatan baru tersebut bertentangan dengan aqidah yang sudah baku atau tidak. Hakim yang paling baik adalah hati nurani kita. Mohon maaf bila ada yang tidak berkenan. Regards, Yoyok --- deni irawan <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Diskusi Sabtuan INSISTS: Relativisme > Beragama > Jumat, 16 Pebruari 2007 > > Mengerikan, virus relativisme dalam penafsiran > Al-Quran telah menyebar di kalangan intelektual > Islam. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini > ke-182 > > > Oleh: Adian Husaini > > Pada hari Sabtu, 17 Februari 2007, besok, diskusi > sabtuan di INSISTS (Institute for the Study of > Islamic Thought and Civilization) akan membahas > masalah paham Relativisme Beragama. Pemakalahnya > adalah Henri Shalahuddin MA, peneliti INSISTS yang > juga dosen Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohammad > Natsir. > Tema ini adalah tema yang sangat penting dan > mendasar dalam diskusi tentang pemikiran keagamaan > dewasa ini. Hampir tidak ada satu pun kalangan > pemikir liberal yang menolak keabsahan paham > relativisme dalam beragama. Mereka biasanya > berargumen bahwa manusia adalah makhluk relatif, dan > karena itu tidak mungkin memahami kebenaran sejati. > Yang tahu kebenaran itu hanyalah Allah. Karena itu, > sebagai konsekuensinya, mereka mencegah manusia > untuk melakukan tindakan penghakiman pemikiran dan > pemutlakan pendapat. > Seperti yang disebutkan dalam hasil penelitian > Litbang Departemen Agama tahun 2006 lalu tentang > paham Islam Liberal di Yogyakarta, bahwa yang > menjadi salah satu kunci dari penafsiran agama, bagi > penganut paham Islam Liberal, adalah tidak adanya > tafsir dan pemahaman absolut terhadap agama. Dalam > menyikapi perbedaan, Islam Liberal tidak > menjustifikasi benar atau salah, begitu salah satu > hasil penelitian Departemen Agama. > Inilah salah satu contoh bentuk aplikasi paham > relativisme beragama, yakni tidak memiliki sikap > dalam menentukan mana yang benar dan mana yang > salah. Sebab, menurut mereka, tidak ada pemahaman > absolut dalam agama; yang ada adalah kebenaran > relatif. Karena itulah, mereka tidak bersikap dalam > hal kebenaran dan kesalahan. > Kita bisa bayangkan, bagaimana dampak paham > seperti ini terhadap orang yang beragama. Mereka > akan bersikap individual, tidak peduli terhadap > kemunkaran yang berlaku di tengah masyarakat, karena > mereka menganggap agama adalah urusan pribadi dengan > Tuhan. > Padahal, dalam Islam, amar maruf dan nahi munkar > adalah ajaran yang sangat penting, yang berkaitan > dengan keimanan seseorang. Rasulullah saw > menggambarkan orang yang hanya sanggup melawan > kemunkaran dengan hatinya, tanpa tindakan apa pun, > sebagai selemah-lemah iman (adhaful iman). > Jadi, orang yang mengetahui kemunkaran, tetapi > tidak berbuat apa-apa, kecuali benci dengan hati, > sudah dikategorikan sebagai selemah-lemah iman. > Kita bertanya, bagaimana dengan orang yang sudah > tidak tahu lagi mana yang maruf dan mana yang > munkar? Bahkan, bagaimana dengan orang yang > mengajarkan dan menyebarkan paham bahwa yang maruf > sama saja dengan yang munkar, karena manusia tidak > berhak mengklaim dirinya benar dan yang lain salah? > Tentulah paham seperti ini sangat keliru dan > keblinger. > Mungkin tanpa disadari oleh penyebar paham > relatvisme beragama, bahwa mereka sudah meruntuhkan > satu pilar Islam yang sangat kokoh, yakni keyakinan > akan kebenaran Islam dan kewajiban mendakwahkannya. > Mungkin ada yang bermaksud, agar kaum Muslim jangan > memutlakkan pendapatnya dalam hal-hal furuiyyah, > sehingga tercipta keharmonisan kehidupan umat Islam. > Sedangkan dalam hal-hal yang ushul (aqidah), maka > tidak ada perbedaan diantara umat Islam. > Jika yang mereka maksudkan adalah semacam ini, > yakni kerelativan dalam masalah furuiyyah, maka > tidak menjadi masalah. Tetapi, faktanya, para > pendukung paham relativisme beragama, tidak > membatasinya hanya dalam hal furuiyyah. Dalam semua > aspek keagamaan, kata mereka, pemahaman manusia > adalah relatif. Mereka senantiasa membedakan antara > agama yang bersifat mutlak dengan pemahaman atau > pemikiran terhadap agama yang bersifat relatif. > Inilah pemikiran yang salah. Sebab, pembedaan > semacam ini pada akhirnya menempatkan agama sebagai > hal yang tidak pernah bisa dipahami oleh manusia, > karena agama bersifat mutlak, sedangkan manusia > bersifat relatif. Prof. Naquib al-Attas pernah > mengkritik pemahaman semacam ini, dengan menyatakan, > bahwa pemahaman relativisme seperti itu sama saja > dengan melecehkan Allah SWT. Sebab, itu sama saja > dengan menuduh Allah SWT telah menurunkan Kitab > (wahyu-Nya) yang tidak pernah bisa dipahami oleh > manusia. Padahal, Kitab itu diturunkan untuk > manusia. > Tetapi, ironisnya, pemahaman relativisme beragama > semacam itu, justru menggejala dan menjadi tren di > kalangan pemikir-pemikir modern serta banyak dosen > di perguruan tinggi Islam. Sebagai contoh, dalam > bukunya "Pintu-pintu Menuju Tuhan", Nurcholish > memandang bahwa relativisme adalah suatu keniscayaan > fenomenal yang muncul dari setiap orang yang > berusaha memahami suatu agama. Pemahaman ini, kata > Nurcholish, tidak bisa serta merta disebut sebagai > agama, sebab pemahaman keagamaan setiap individu > pasti berbeda dengan individu lainnya. Berkenaan > dengan hal ini, dia berkata, "Pemahaman orang atau > kelompok terhadap agama tidak sebanding dengan nilai > agama itu sendiri". > Dalam kolom opini Republika, (29/12/2006), Syafii > Maarif berpendapat bahwa kebenaran Al-Quran adalah > mutlak, karena berasal dari yang Maha Mutlak. Tetapi > kemutlakan tersebut menjadi nisbi saat memasuki otak > dan hati manusia. Maka segala penafsiran tentang > Al-Quran tidak pernah mencapai posisi mutlak benar, > siapa pun manusianya. > Dalam kolom Resonansi Harian Republika > (7/11/2006), ia juga menyatakan: "Bagi seorang > beriman, yang final adalah kebenaran wahyu, tetapi > tafsiran terhadap wahyu itu selamanya nisbi." > Kemudian Syafii memandang orang yang memutlakkan > penafsirannya, berarti ia telah mengambil alih > otoritas Tuhan, yang artinya sejajar dengan syirik. > Tokoh liberal asal Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd, > dalam bukunya Naqd al-Khithab al-Dini (1992) juga > berpikiran, bahwa dalam memahami makna Al-Quran, > maka harus diserahkan secara mutlak kepada pembaca > teks (manusia) -- dengan segala aspek sosial dan > latar belakang historisnya. Manusialah sebagai hakim > yang menentukan penafsiran. Menurutnya, teks bukan > lagi milik Tuhan, tapi sudah menjadi milik > pembacanya. Abu Zayd menuduh musyrik bagi mereka > yang menyakini mutlaknya penafsiran, karena telah > menyamakan yang Mutlak (Tuhan) dan yang nisbi > (manusia) dan menyamakan antara Maksud Tuhan dan > pemahaman manusia. > Virus relativisme dalam penafsiran Al-Quran ini > sudah menyebar begitu luas. Yang paling mengerikan, > virus sejenis ini pun sudah menjangkiti banyak dosen > perguruan tinggi Islam, sehingga dengan mudah akan > menularkannya kepada para mahasiswa. Lima atau > sepuluh tahun lagi, mahasiswa pengidap virus ini pun > akan terjun ke masyarakat, sebagai guru agama, > birokrat di departemen agama, menjadi hakim agama, > khatib Jumat, mubaligh, dan sebagainya, yang pada > akhirnya juga ikut menyebarkan virus pemahaman > semacam ini ke tengah masyarakat. Barangkali mereka > tidak sadar sedang mengidap virus yang sangat > berbahaya, yang dapat meruntuhkan bangunan pemahaman > Islam. Bahkan, banyak yang bangga dengan penyakit > yang dibawanya. Sebab, dengan menyebarkan virus > relativisme semacam itu, mereka bisa berkiprah di > dunia akademis dan disanjung-sanjung sebagai > cendekiawan Muslim yang berkualitas tinggi, yang > berpikir ilmiah-objektif, dan telah meninggalkan > pola pikir subjektif-dogmatis. > Beberapa waktu lalu, di sebuah toko buku di > Jakarta, saya menemukan satu buku berjudul Dinamika > Baru Studi Islam karya dua orang dosen IAIN Sunan > Ampel Surabaya. Keduanya sedang menempuh program > doktor dalam studi Islam di Australia. Buku yang > terbit tahun 2005 ini diberi kata pengantar oleh > Prof. Dr. Virginia Matheson Hooker dari Australian > National University. > Dalam pengantarnya, Prof. Virginia Hooker memuji > buku ini sebagai penerus studi Islam yang telah > dirintis oleh Prof. Dr. Harun Nasution. Menurutnya, > Harun Nasution (1919-1998) saat ini diakui dan > dihormati sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di > bidang penelitian Islam di Indonesia. Beliau diberi > kredit sebagai sarjana yang memperkenalkan > pendekatan pemahaman Islam secara utuh dan > universal. Pemikiran Nasution tentang Islam sebagai > agama yang dinamik dikandung dalam buku yang > bersangkutan berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai > Aspeknya (1977). > Buku ini, kata Virginia Hooker, merintis jalan > untuk penelitian Islam secara akademik lewat > metode yang dipakai oleh penelitian ilmu sosial pada > umumnya. > Jika ditelaah, isi buku Dinamika Baru Studi > Islam ini pun tak luput dari jangkitan virus > relativisme. Disamping itu, buku ini juga mendukung > model studi Islam yang dikembangkan para orientalis, > yang memisahkan antara aspek pemahaman dengan aspek > keyakinan dan amal. Sebagai contoh, ditulis dalam > buku ini: > bahwa agama, yang merupakan refleksi dari kemauan > Tuhan secara konseptual ilmiah, bersifat mutlak, > namun ketika turun kepada manusia, telah menjadi > relatif, tergantung pada latar belakang dan > kemampuan manusia. Oleh karena itu, pemahaman atau > penangkapan terhadap pesan-pesan agama akan berbeda > dari satu orang ke orang lain. Perbedaan itu harus > diakui keberadaannya, dan tidak boleh terjadi > pemaksaan pemahaman. Dalam kaitannya dengan penemuan > otentisitas Islam, maka otentisitas itu ada pada > tataran === message truncated === ____________________________________________________________________________________ Don't pick lemons. See all the new 2007 cars at Yahoo! Autos. http://autos.yahoo.com/new_cars.html