Saya 1000% setuju dengan surat itu karena kita sebagai orang tua
mempunyai beban yang luar biasa juga dengan sistem kurikulum belajar
di Indonesia,krn setiap hari harus mengajak anak2 mengulang pelajaran
yang begitu banyak, saya mempunyai 2 anak yang sekolah di salah satu
sekolah dasar swasta islam yang ternama, anak pertama saya kebetulan
dengan mudahnya menghapal semua mata pelajaran dengan mudah tanpa
protes dan menerima adanya alhamdulillah dia selalu mendapat
peringkat yang baik di kelasnya setiap tahun, begitupun anak kedua
saya walaupun prestasinya tidak secermelang kakaknya tapi masih
diatas rata2, tapi yang saya sering bertanya dari sekian banyaknya
mata pelajaran mengapa untuk Ujian Negara (UAN) hanya mata pelajaran
Matematika, Indonesia & Inggris saja yang diuji dan kenapa kalau UAN
tidak lulus berarti harus mengulang walaupun UAS nya lulus, jadi buat
apa anak2 belajar banyak mata pelajaran kalau akhirnya hanya
Matematika, Indonesia & Inggris saja yang 'diakui keberadaannya' saja?
Saya betul2 sedih dengan sistem kurikulum sekolah,selain dengan
banyaknya mata kuliah yang otomatis menambah banyak buku yang dibeli
dan dibawa anak, bayangkan saja setiap hari anak saya yang kelas V &
kls I hrs terbungkuk bungkuk membawa tas sekolahnya yang begitu berat
utk umur mereka, saya masih bersyukur masih bisa memenuhi kebutuhan
buku2 mereka yang setiap tahunnya utk mereka berdua bisa mencapai 1
juta lebih (hanya u buku wajib saja)bayangkan bagaimana utk mereka
yang tidak mampu dan buku2 itu tdk bisa saya wariskan/berikan ke
adiknya atau org yg membutuhkan karena buku2nya selalu berubah lg.
dan semua pengorbanan anak2 tsb 'hanya' dibayar dengan 3 mata
pelajaran saja yang harus diuji pada akhir masa sekolahnya.
Saya sangat mendukung utk menghapus mata pelajaran yang pada akhirnya
tidak 'dihargai', lebih baik mata pelajaran wajib hanya 3
(matematika,Indonesia & Inggris) sedangkan yg lainnya anak2 boleh
memilih max 2 mata pelajaran yang disukai jadi hanya 5 mata pelajran
yg mereka ikuti krn toh pada akhirnya saya tdk melihat banyak manfaat
dr pelajaran PKPS/PPKN/dsb diluar mata pelajaran yang saya sebutkan
diatas.
Mudah2an banyak orang tua yang tergerak dan 'berdemo' utk merubah
sistem pelajaran di Indonesia jangan karena Dep. P&K sudah 'terikat
kontrak' degn penerbit buku dan kepentingan segelintir orang utk
mendapat komisi buku2 pelajaran sehingga anak2 menjadi tersiksa.
Salam utk semua orang tua yang senasib.
--- In idakrisnashow@yahoogroups.com, "Ida arimurti" <[EMAIL PROTECTED]>
wrote:
>
> Dear All,
>
> Inilah metode pengajaran yang sekarang terjadi di indonesia.
>
>
>
> SUARA PEMBARUAN DAILY Jum'at, 17 Juni 2005
>
> ---------------------------------
>
> Surat Terbuka kepada Mendiknas:
>
>
>
> Tolong! Anak Saya Bukan Anak Jenius!
>
>
>
> BAPAK Menteri yang terhormat. Saya telah me-layangkan surat ini ke
lembaga
> Bapak. Akan tetapi, mengingat surat ini ditulis bukan oleh orang
yang
> penting, melainkan dari rakyat jelata, dari seorang ayah yang merasa
> prihatin melihat nasib pengajaran anaknya, besar kemungkinan Bapak
tidak
> akan menerima surat ini. Atau, kalau toh Bapak menerimanya, besar
pula
> kemungkinan Bapak tidak bersedia membacanya.
>
>
>
> Karena alasan itulah, saya memutuskan untuk menjadikan surat
ini "surat
> terbuka" yang dapat dibaca oleh semua orang, khususnya para ayah-
ibu yang
> prihatin melihat hancurnya sistem pendidikan dan pengajaran di
> sekolah-sekolah tempat anak mereka menimba ilmu. Sebab, menurut
saya, apa
> yang terjadi pada anak saya lebih kurang dapat juga dirasakan pada
anak-anak
> seusianya.
>
>
>
> Bulan ini, jika tidak ada aral melintang, anak saya akan menghadapi
ujian
> kenaikan kelas. Kini ia kelas II di sebuah SLTP Katolik yang cukup
> terpandang di daerah Jakarta Timur. Akan tetapi semenjak dua-tiga
bulan
> terakhir, kata "sekolah" dan "belajar" baginya telah menjadi hantu
yang
> sangat membebani pikiran dan perasaannya. Awal Mei lalu, tepat
pada "Hari
> Pendidikan Nasional", misalnya, anak saya menyatakan mogok pergi ke
sekolah.
> Alasannya sederhana: "Aku benci sekolah!" Sebagai orangtua, saya
memang
> dapat memaksa agar dia tetap pergi ke sekolah. Namun, menurut saya,
model
> pemaksaan seperti itu tidak akan memecahkan persoalan. Jadi saya
membiarkan
> ia tidak pergi ke sekolah, dan menjadikan hari itu sebagai
kesempatan untuk
> mendiskusikan alasan-alasan ia mogok bersekolah.
>
>
>
> Hasilnya sudah dapat diduga, akan tetapi tetap mengejutkan bagi
saya sebagai
> orangtua. Pertama-tama dia berkeluh kesah tentang begitu banyak mata
> pelajaran yang harus dia telan mentah-mentah, tanpa dia tahu untuk
apa dan
> mengapa dia harus menelannya. Kata "telan mentah-mentah" sengaja
saya pilih,
> karena hanya itulah padanan yang paling tepat bagi system
pengajaran yang
> (masih terus) mengandalkan pada "hafalan mati" - walau pun sudah
begitu
> banyak kritik pedas ditujukan pada sistem seperti itu.
>
>
>
> Standar Kurikulum Memang benar, dewasa ini orang berbicara tentang
KBK
> (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan "otonomi khusus" masing-masing
sekolah.
>
> Akan tetapi, pada praktiknya, tetap saja setiap sekolah akan
berusaha
> memenuhi standar kurikulum yang dibuat Depdiknas, agar tidak dinilai
> "ketinggalan" dari sekolah-sekolah "favorit". Apalagi, dalam
sistem KBK,
> faktor pendidikan guru sebagai "fasilitator" (perhatikan: bukan
sebagai guru
> tradisional, sumber-segala-sumber ilmu pengetahuan!) akan sangat
menentukan.
> KBK mengasumsikan tersedianya sumber-sumber ilmu pengetahuan yang
terbuka,
> seperti internet, fasilitas perpustakaan, lingkungan yang memadai,
dan
> seterusnya, serta kemampuan guru mengolah mata pelajaran tanpa harus
> membebek pada standar kurikulum. Kedua asumsi itu, pada praktiknya,
> merupakan kemewahan yang tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah pada
umumnya.
>
> Alhasil, sistem "telan mentah-mentah" kembali merajalela. Mari saya
beri
> contoh konkret. Seorang siswa SLTP di Jakarta, seperti anak saya,
paling
> tidak harus "menelan" 16 mata pelajaran (mata pelajaran umum,
ilmiah, dan
> khas daerah), mulai dari Agama, PPKN, Fisika, Ekonomi sampai
Komputer dan
> PLKJ (Pendidikan Lingkungan Kehidupan Jakarta - untuk siswa di
Jakarta).
>
> Itu berarti, setiap siswa harus "menelan mentah-mentah" setidaknya
15 buku
>
> - saya mengasumsikan Matematika tidak menghafal! - untuk menghadapi
ujian
> kenaikan kelas. Masalah lain yang disinggung anak saya, bukan saja
jumlah
> mata pelajarannya sangat banyak, tetapi juga kandungan masing-
masing mata
> pelajaran sangat rinci, dan karena itu terlalu berat bagi seorang
siswa SLTP
> kelas II. Ini mudah dicermati jika Bapak Menteri sempat meme-riksa
buku-ajar
> standar yang dipakai di sekolah-sekolah kita. Mungkin Bapak Menteri
tidak
> memiliki waktu cukup untuk memeriksa dengan cermat isi buku-ajar
itu. Jadi,
> izinkan saya memberi contoh yang saya petik secara acak dari buku-
ajar anak
> saya.
>
>
>
> Untuk mata pelajaran ekonomi, seorang siswa SLTP kelas II
diharapkan mampu
> memahami mulai dari koperasi sampai pembangunan nasional. Dan,
masing-masing
> subjek bahasan diurai dalam rincian yang hanya dapat dipahami oleh
mereka
> yang kuliah ekonomi di perguruan tinggi. Misalnya, subjek bahasan
koperasi,
> dirinci mulai dari pengertian, asas, landasan (idiil, struktural,
mental,
> operasional), fungsi dan peran, macam-macam kegiatan dan jenis,
sampai
> segala peraturan yang terkait! Dan, subjek pembangunan nasional
dirinci
> sejak kegiatan negara dalam kehidupan ekonomi (seluruh aspek
budgeter,
> APBN-APBD, jenis-jenis pajak, bagaimana menghitung pajak, dan
peraturan yang
> terkait) sampai tahap-tahap pembangunan jangka panjang (Pelita I
sampai
> Reformasi). Hal yang sama juga terjadi dalam mata pelajaran lain.
Ambil
> contoh buku-ajar biologi untuk SLTP kelas II. Siswa diharapkan
memahami
> mulai dari sistem pencernaan (manusia dan hewan), sistem pernafasan
(manusia
> dan hewan), sistem transportasi (manusia dan hewan), sistem saraf,
sistem
> indera, dan seterusnya.
>
>
>
> Lagi-lagi, masing-masing subjek bahasan diberi rincian yang luar
biasa
>
> mendalam: siswa SLTP kelas II harus memahami perbedaan antara
Diapedesis
> dengan Fibrinogen, gambar penampang kulit lengkap (Anda tahu
Globmerulus dan
> di mana letak Kapsul Bowman?), gambar hubungan antarsel saraf (mana
bagian
> Akson, Dendrit, Vesikel Sinapsis?), dan seterusnya. Karena itu,
tidak heran
> jika seorang dosen biologi di sebuah universitas
berkomentar, "Kalau SLTP
> sudah sejauh ini, apa lagi yang perlu diajarkan di Universitas?"
>
>
>
> Perlukah saya menunjukkan materi PLKJ, mata pelajaran khusus untuk
siswa
> yang (kebetulan) tinggal di Jakarta, kepada Bapak Menteri? Seorang
siswa
> SLTP kelas II di Jakarta harus menghafal mati pasal-pasal mana
dalam KUHP
> yang dipakai untuk menghukum "perkelahian pelajar secara per
orangan yang
> mengakibatkan satu pihak luka atau mati", pasal-pasal mana untuk
> "perkelahian pelajar secara berkelompok", dan pasal-pasal mana yang
dipakai
> jika "pelajar menyerang guru"!
>
>
>
> Juga, jangan lupa, pasal-pasal KUHP mana yang dipakai jika "pelajar
> mabuk-mabukan, minum-minuman keras", atau jika terjadi "pemerasan
oleh
> pelajar", atau "pencurian di kalangan pelajar", atau "pelajar
membawa
> senjata api atau senjata tajam"...
>
>
>
> Bapak Menteri yang terhormat. Sengaja saya menguraikan secara rinci
beban
> mata pelajaran yang harus ditanggung anak saya setiap hari saat ia
pergi ke
> sekolah, dan khususnya saat ia menghadapi ujian kenaikan kelas.
Menurut
> saya, hanya anak jenius saja yang mampu menanggung semua beban itu
tanpa
> masalah berarti. Dan, saya harus akui dengan jujur, anak saya bukan
anak
> yang jenius, seperti juga anak-anak pada umumnya.
>
>
>
>
>
> Jumlah mata pelajaran yang begitu banyak, dan kandungan informasi
yang
> sangat padat tanpa memperhitungkan kesiapan mental maupun kognitif
anak
> sesuai tahap-tahap perkembangannya, membuat guru tidak memiliki
cara lain
> kecuali kembali pada sistem kuno: Telan Mentah-mentah! Jangan
Tanya, Hafal
> Saja! Itu pula yang dituntut oleh soal-soal ulangan umum. Mungkin di
> permukaan, cara itu kelihatannya berhasil. Tetapi, jika dipandang
dari sudut
> pendidikan, sesungguhnya kita telah gagal total! Kita telah ikut
> berpartisipasi menjadikan kata "sekolah" dan "belajar" momok yang
sangat
> menakutkan bagi anak-anak didik - mereka yang akan menggantikan
kita di masa
> depan.
>
>
>
>
>
> Seorang teman anak saya bahkan hampir bunuh diri, karena frustrasi
menghafal
> mata pelajaran Biologi. Saya tidak mau peristiwa itu terjadi pada
anak saya.
> Karena itu, Bapak Menteri, tolonglah! Anak saya bukan anak jenius!
Dan
> jutaan anak Indonesia juga bukan anak jenius! *
>
>
>
> Penulis adalah Direktur Eksekutif MADIA (Masyarakat Dialog Antar
Agama),
> Jakarta
>
>
>
>
>
>
>
>
>
> [Non-text portions of this message have been removed]
>