Seseorang pernah berkomentar, "Jika Anda merisaukan segala hal yang Anda inginkan tetapi tak Anda miliki, pikirkanlah segala hal yang tak Anda inginkan dan tak Anda miliki!" Semuanya selalu memiliki sisi yang positif. Bahkan, gaya hidup "ngutang" pun memiliki sisi positif. Dengan membeli barang-barang secara kredit, Mpiet di Jakarta (mudah-mudahan dia bukan jenis pembelanja (spender)), menjadi lebih kaya, dalam arti memiliki aset lebih banyak. Ia tak perlu menunggu sampai badannya bongkok dan kulitnya keriput untuk mendapatkan mobil yang dimilikinya saat ini.
Nyicil (Mpiet-Jakarta) Halo, panggil saya Mpiet saja. Saya seorang pegawai swasta yang tinggal di rimba beton Jakarta. Pertanyaan yang sedang terlintas di benak saya saat ini: Bagus nggak sih nyicil? Bisa iya bisa nggak kali ya.. (duh ini beneran deh jawaban seorang libra yang senang berada di 'grey area' :) Mencicil (atau menyicil ya?) rasanya sudah menjadi kecenderungan atau malah gaya hidup yang nyaris tak terelakkan di Indonesia. Lihat saja aneka bank atau lembaga keuangan berlomba-lomba menawarkan aneka paket pinjaman dari mulai kredit tanpa agunan, kredit pemilikan rumah, paket angsuran pembelian barang, dan sebagainya. Para pemasar tahu persis bagaimana mengemas paket pinjaman atau cicilan ini sehingga kita bisa tergoda dengan pembenaran seperti "nyicil jam tangan sebulan 100 ribu nggak akan berefek besar buat total pengeluaran saya", atau "ah nggak apa-apa nyicil, yang penting bisa beli cellphone baru buat kado valentine pacar", sampai "nggak apa-apa deh kita buat acara resepsi pernikahan di hotel, dananya kan bisa pinjam di bank X". Tentunya cicilan tidak melulu dihubungkan dengan hal yang negatif sepert sikap hidup konsumtif ya, karena cicilan juga bisa dilakukan untuk membeli barang yang bisa dijadikan investasi atau alat usaha, misalnya rumah atau ruko. Di antara teman-teman kantor pun rasanya hampir semua saat ini terlibat dalam urusan cicil-mencicil ini, mulai dari yang sekedar mencicil parfum atau tas tangan trendy seharga ratusan ribu rupiah ke teman (bayar dua kali sebulan), mencicil rumah ratusan juta rupiah (diharapkan lunas setelah 10 atau 15 tahun), sampai mencicil ini dan itu (saking banyaknya item yang harus dicicil) sehingga secara bercanda bisa dikatakan mengalami nasib bergaji "tiga puluh koma". Maksudnya tentu bukan bergaji tiga puluh juta koma sekian lho, tetapi karena harus menyetor cicilan kesana dan kemari setelah menerima gaji tanggal 28, maka tanggal 30 uang yang tersisa untuk hidup sebulan tinggal sedikit sekali, ibaratnya seperti orang yang koma. Kedengarannya bisa jadi agak mengenaskan (atau mengerikan?), tetapi ini situasi yang nyata bagi sebagian orang; entah karena terlalu gampang memutuskan untuk mengambil aneka cicilan yang jangan-jangan hanya bersifat konsumtif, atau karena memang pendapatannya dirasakan kurang memadai untuk memenuhi kebutuhannya yang seabrek-abrek. Lucunya, mungkin karena melihat banyak yang menjalani skenario sama, gaji 30 koma itu menjadi joke yang populer diantara kami sambil mentertawakan diri sendiri. Saya pribadi juga sedang mencicil - thank god 3 bulan lagi si Bubee, mobil saya, lunas. Setelah hampir tiga tahun secara mekanis setiap bulan menyisihkan sebagian dari penghasilan saya untuk membayar cicilan mobil - dan ini berarti secara signifikan mengurangi jatah keluarga untuk berbelanja aneka kebutuhan tertier seperti pernak pernik asesori penunjang penampilan, nonton di bioskop, nongkrong di cafe, dan sebagainya. Membayar cicilan mobil harus selalu tepat waktu, karena berdasarkan perjanjian dengan pihak bank, kelalaian membayar bisa berakibat mobil disita. Makanya saya excited memikirkan sebentar lagi cicilan ini lunas. Lepas dari 'kesengsaraan' atau paling tidak keterbatasan yang dirasakan selama periode mencicil itu, saya merasa ada kok yang bisa dipelajari dari situ. Pertama-tama saya belajar bahwa benar adanya pepatah yang berkata sedikit-dikit lama-lama menjadi bukit. Setiap bulan menyisihkan sejumlah uang untuk hal yang jelas ternyata memang ada manfaatnya. Lalu saya belajar bersabar dan mencoba mengerem keinginan untuk impulse shopping alias belanja mendadak. Saya juga jadi tergerak untuk lebih bertanggung jawab untuk komitmen yang sudah disepakati (komitmen membayar cicilan maksudnya). Hm.. bahkan sekarangpun saya sudah berandai-andai memikirkan apa saja yang bisa saya beli dan buat setelah cicilan mobil lunas 3 bulan lagi. Makan-makan bersama keluarga di resto? self make over alias belanja gila-gilaan untuk mengupdate penampilan? ambil cuti dan berlibur sebentar? berbagi rezeki alias syukuran dengan anak panti asuhan? berinvestasi? atau.. menjual bubee dan membeli mobil baru lagi? weleh-weleh.. kalau opsi terakhir yang saya pilih, hampir bisa dipastikan saya akan kembali menjalani rutinitas setor-ke-bank-untuk-melunasi-cicilan-mobil lagi yang rasanya melelahkan itu, demi kelihatan lebih keren saat melintas di depan lobby gedung yang full kaca itu. No, no.... hahaha....Salam, Mpiet [Non-text portions of this message have been removed]