Intel--Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia
Ken Conboy
Penerbit Pustaka Primatama, Jakarta 2007
ISBN: 978-9-793-93015-2
XIV + 294 halaman

Akhir-akhir ini media massa Indonesia--terutama televisi--mempunyai 
tradisi baru. Setiap kali terjadi peristiwa besar--terutama teror 
bom--maka sebagai bagian dari kemasan pemberitaannya, stasiun 
televisi gemar menghadirkan "pengamat intelijen" untuk melakukan 
analisa. 

Manullang, Suripto dan Almarhum Juanda adalah beberapa "pengamat 
intelijen" yang sering mengoceh di layar televisi kita. Tapi karena 
dilakukan dalam durasi yang sangat singkat maka tentu saja ocehan 
para "pengamat intelijen" tersebut menjadi terkesan sumir, menjemukan
dan acapkali bodoh. 

Ketika asap ledakan Bom Bali I atau II belum lagi pupus, maka 
para "pengamat intelijen" itu sudah mengoceh tentang teori "small 
nuclear bomb". Dan cilakanya sebagai pemirsa kita tak pernah mendapat
kesempatan untuk mendengar pertanggung-jawaban mereka, ketika 
ternyata hasil penyelidikan polisi menunjukkan bahwa bom tersebut 
adalah bom biasa yang berdaya ledak tinggi. 

Para "pengamat intelijen" tersebut juga gemar mengaitkan sebuah 
peristiwa--yang belum lagi diselidiki secara tuntas oleh polisi--
sebagai sebuah konspirasi negara asing untuk memecah-belah Indonesia.
Dan cilakanya mereka tak pernah mampu untuk menerangkan 
secara "masuk akal" bagaimana cara kerja dan ditil konspirasi 
tersebut dijalankan.

Memang kalau diocehkan hanya secara garis besar, kisah-kisah 
intelijen akan mejemukan. Kisah-kisah intelijen baru akan menarik 
kalau dituliskan secara panjang lebar dan dirangkai dalam gaya 
fiksi. 

Dan pada kenyataannya kisah-kisah intelijen memang boleh dikatakan 
sebagai fiksi. Karena sifat operasi intelijen yang serba samar-
samar, maka tidak akan pernah ada alat yang bisa mengukur atau 
memverifikasi apakah kisah-kisah tersebut memang benar demikian.

Kita tidak pernah tahu sejauh mana sebenarnya kebenaran yang ada 
dalam kisah tentang CIA, KGB atau Mossad, yang ditulis oleh mereka 
yang mengaku dekat atau pernah menjadi bagian dari institusi 
tersebut. Sebaliknya kita juga cenderung untuk percaya bahwa
fiksi "The Hunt for The Red October" juga mengandung kebenaran. Tapi 
karena si penulis mampu menghidupkan kisah-kisah tersebut maka tak 
terlalu perduli lagi terhadap fakta dan kebenaran. Kita hanya 
menikmati kisah-kisah tersebut. Dan memang demikianlah hakekatnya 
membaca kisah-kisah intelijen.

Berbeda dengan "pengamat intelijen" seperti Manullang, Suripto atau 
Juanda, Ken Conboy tidak mengoceh secara sumir di televisi. Ia 
menuliskan berbagai kasus dan peristiwa yang pernah terjadi dalam 
dunia intelijen Indonesia dalam uraian-uraian yang rinci, "masuk 
akal" dan enak.

Buku ini berisi berbagai kasus dan peristiwa yang terjadi dalam 
dunia Intelijen Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga tahun 2000-
an. Walau pun Ken Conboy hanya bercerita tentang "intel melayu", 
tapi ia mampu membuat kita terpukau seperti ketika membaca
kisah-kisah tentang Mossad dalam "The Way of Deception".

Dalam kisah "Durna"--misalnya--Ken Conboy bercerita tentang 
pertarungan perebutan kekuasaan dalam memanfaatkan intelijen. 
(Karena ruang geraknya yang serba tertutup maka intelijen selalu 
memiliki kecenderungan untuk merambah kemana-mana dan gampang
dimanfaatkan oleh fihak-fihak yang berkepentingan. Kisah-kisah 
tentang intrik politik dengan memanfaatkan intelijen, kisah-kisah 
tentang bagaimana seorang kepala negara harus "menjinakkan" 
intelijen agar selalu berfihak pada kepentingannya, kisah-kisah
"deception" dsb adalah kisah-kisah intelijen yang menarik untuk 
dibaca).

Dalam "Kerajaan Pertapa" Ken Conboy bercerita tentang intelijen 
Indonesia yang tak putus-putusnya menguping dan mengintip gerak-
gerik para diplomat Kore Utara. (Sebagaimana diketahui, pada masa 
Orde Baru isyu tentang komunis adalah sesuatu yang harus selalu
diwaspadai). Acapkali, setelah capek memasang alat penyadap dan 
menguping, maka yang didengar seorang agen di ujung sana hanyalah 
suara dua makhluk berlainan jenis yang sedang berkencan; bukan 
pembicaraan politik atau perencanaan teror. 

Dalam "Sasaran Sulit" Ken Conboy bercerita tentang bagaimana 
intelijen Uni Soviet merekrut beberapa perwira TNI untuk mensuplai 
informasi. (Dan kita tentu masih ingat skandal seorang kolonel 
Angkatan Laut yang tertangkap karena mensuplai peta-peta kelautan 
kita terhadap intelijen Uni Soviet).

Dalam "Faruq" Ken Conboy bercerita tentang Umar Faruq dan jaringan 
teror al-Qaeda di Indonesia. 

Sebagaimana kita ketahui pada tahun 2002 Umar Faruq tertangkap oleh 
BIN dan dikirim ke sebuah pangkalan AS di Afghanistan untuk ditahan. 
Memang dalam uraiannya Ken Conboy tidak sempat mengulas bagaimana Al 
Faruq di kemudian hari bisa lolos dari tahanan. (Kalau saja ada
sedikit simpul fakta tambahan, maka Ken Conboy pasti bisa menyajikan 
kisah lain yang menarik, yaitu tentang "siapa memanfaatkan 
siapa", "siapa mengumpan siapa" sebagaimana layaknya yang banyak 
terjadi di dunia intelijen. Tapi kerinduan kita untuk membaca 
kisah "siapa mengumpan siapa" bisa kita peroleh dalam tulisan Ken 
Conboy tentang "Komando Jihad").

Ken Conboy mendasarkan tulisan-tulisannya atas pemberitaan di media 
masa, atas wawancara dengan beberapa mantan aparat intelijen atau 
dengan mempelajari berkas-berkas di dinas intelijen yang karena 
perjalanan waktu sudah boleh diungkap kepada umum. Tapi, sebagaimana 
yang telah diuraikan di atas, kita sebenarnya tak perlu terlalu 
perduli dengan sumber-sumber si pengarang. Ini adalah kisah
intelijen, yang sampai "kucing bertanduk" pun sukar untuk 
diverifikasi. Seyogianyalah kita sadar bahwa buku yang kita baca ini 
bukanlah sebuah buku sejarah. Ini adalah sebuah buku fiksi, atau 
buku tentang sebuah fakta atau peristiwa tapi yang sarat dengan 
fiksi.

Sementara membaca buku ini pasti akan ada dari kita yang teringat 
dengan kasus kematian aktivis demokrasi Munir. Sebagaimana kita 
ketahui, dari hasil penyelidikan kepolisian yang diberitakan oleh 
media masa, sebelum kematian Munir pesawat telepon selulernya 
beberapa kali menerima panggilan yang--setelah dilacak--ternyata 
adalah nomor salah satu saluran telepon di kantor BIN (Badan 
Intelijen Negara) di bilangan Pasar Minggu. Kalaulah saja ada
beberapa tambahan "simpul" fakta yang lain, Ken Conboy pasti bisa 
menyajikan kisah intelijen yang menarik di seputar kasus kematian 
Munir. (Munir meninggal dengan dugaan bahwa ada seseorang yang 
meracuni minumannya. Dan di beberapa kisah dalam buku ini kita 
mengetahui bahwa ternyata praktek menaruh sesuatu di dalam
minuman atau makanan korban, agar si korban terberak-berak, 
menghabiskan waktu di WC, dan karena itu kamarnya bisa digeledah 
atau tasnya dicuri, merupakan praktek yang sudah biasa dilakukan oleh
agen-agen Bakin atau BIN).

Sementara membaca buku Ken Conboy ingatan kita juga akan dibawa 
melayang ke buku memoar Yoga Sugama, mantan kepala Bakin dan seorang 
tokoh yang sudah malang-melintang di dunia intelijen. Dalam buku 
memoar Yoga Sugama kita dapat membaca sebuah kisah tentang 
bagaimana seorang intelijen Indonesia "digarap" oleh intelijen lain 
yang juga orang Indonesia. Dalam perjalanan untuk memberi briefing 
dalam sebuah rapat para dutabesar kita di sebuah tempat di Eropa, si 
intelijen ini mampir semalam di Bangkok. Ketika bermalam di hotelnya 
di Bangkok, si intelijen kepincut dan menghabiskan malamnya dengan 
seorang perempuan. Sial baginya, ketika ia bangun pagi, tasnya yang 
berisi bahan-bahan briefing telah lenyap bersamaan dengan lenyapnya 
si perempuan. Peristiwa itu sampai ke telinga Pak Harto, dan Yoga 
Sugama mendapat teguran keras. Kalau Ken Conboy bisa mencari 
beberapa "simpul" fakta tambahan, maka kisah ini pasti akan menarik 
sekali untuk dibaca.

Sebenarnya masih banyak kisah-kisah intelijen Indonesia yang menarik 
untuk diuraikan dalam bentuk cerita. Tapi apa yang telah dilakukan 
oleh Ken Conboy dalam bukunya yang berjudul "Intel" ini sudah
merupakan sebuah lompatan besar. Buku ini tak kalah menarik dengan 
buku-buku penulis asing yang membahas CIA, KGB, atau Mossad. 

Ken Conboy telah membuktikan dirinya sebagai "pengamat intelijen" 
yang sebenarnya. Ia tidak sekedar "bercuap-cuap" di televisi tentang 
sebuah teori konspirasi yang sumir. Ken Conboy telah menulis
kisah-kisah yang rinci, runut dan masuk akal.

Mula Harahap



 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke