No Problem
Santiara Salinger- Zürich 
  
Sadar atau tidak pada umumnya orang punya kata favorit dengan alasan
tertentu sesuai pengalaman atau selera masing-masing. Bahkan ada orang yang
tidak tahu kenapa ia bisa sangat menyukai kata blue, fire, Karimun Jawa,
lembayung, sabhawana, dll. Mungkin cuma karena enak diucapkan atau didengar.
Kata favoritmu apa, Zev? Kayanya "wokeh", ya? Salah deh, hehe...sorry. Kalau
saya sih paling suka kalau ada orang bilang: no problem, tapi dalam arti
yang positif. 
 
Beberapa hari yang lalu saya mendapat tamu sesama orang Indonesia yang
mendapat undangan konferensi di Zürich dari sebuah NGO Internasional.
Kebetulan ini adalah kesempatan pertamanya ke luar negeri. Ia bahkan dengan
lugu mengaku kalau ke Jakarta saja belum pernah. Hari pertama melangkah ke
luar rumah adalah pengalaman besar baginya. Kelihatannya dia agak takut,
maklum semua serba asing. Bahasa Inggris bisa. Bahasa Jerman? Ah... guten
morgen saja. 
 
Saya benar-benar tidak bisa mengantar, jadi saya bilang: "Oke, ini peta kota
Zurich dan nomor-nomor tram yang harus kamu ambil. Nomor cellphone saya kamu
sudah punya. Good luck!" Sebenarnya sih ga tega, tapi positive thinking aja,
hitung-hitung mempercayai kemandiriannya. Lagian di Indonesia orang biasa
bilang: "Laki-laki panjang langkahnya." 
 
Malamnya dia muncul di depan pintu, lusuh banget, tapi wajahnya berseri-seri
waktu menceritakan petualangannya menahlukkan kota Zurich. Dia juga cerita
kalau menemukan alamat susahnya minta ampun. Pertama, salah ambil tram atau
salah turun. Bukannya balik malah berpetualang. Kehilangan orientasi di
daerah perumahan yang sepi tidak ada orang yang bisa ditanyai. Setelah jalan
mondar-mandir satu dua kilometeren ketemu juga seorang anak muda yang lewat.

 
Giranglah si Ariel langsung dia ambil jurus bertanya. Anak muda itu
sebenarnya tidak tahu, tapi mengerinyitkan kening juga sambil menelusuri
peta yand dia minta dari Ariel, lalu bilang: "Es tut mir leid, est ist
einbisschen weit. Sie müssen erst zurück kehren..."  ("Kasihan Anda. Alamat
yang Anda cari agak jauh. Pertama Anda harus balik...")
 
Mendengar kata balik lemaslah Ariel. Jadi jalan sampai kaki gempor tadi
hasilya  bukannya nol tapi minus. Untungnya kali ini tidak sendirian karena
anak muda itu berjalan ke arah yang sama sebelum akhirnya mengucapkan
selamat tinggal karena harus mengambil tram di jalan utama. Ariel pun ber-
bitte, bitte untuk dijelaskan lagi pakai bahasa Inggris. Sudah dijelaskan
Ariel masih belum paham juga, maklum ia ga mudeng dengan nama-nama jalan
yang aneh-aneh. Mungkin karena melihat ekspresi Ariel yang culun memelas,
anak itu menawarkan untuk mencari bersama-sama. Ternyata jauh juga, mana
jalannnya mendaki. 
 
Ariel  :  "You walk too fast, I can't catch up." 
Marc :  "Oh sorry."
 
Tapi Marc terus saja melangkah panjang-panjang. Ariel pun semakin kewalahan.
Kadang-kadang dia ketinggalan dan ngos-ngosan. Sebentar-sebentar Marc
menoleh dan memberi aba-aba dengan sebelah tangan: "Come on, man... It's
gonna rain!"  
 
Benar juga, hanya dalam hitungan menit hujan pun turun ke bumi. Untung
alamatnya ketemu juga. Ariel tidak sanggup mengucapkan terima kasih dengan
sempurna  karena menggigil kedinginan. 
 
Ariel  : "Danke...Danke"
Marc : "No problem." 
 
Lalu mereka berpisah di tengah hujan. Begitu saja. Masing-masing meneruskan
harinya. Ariel ke kantor NGO. Marc ke kampusnya.   

Tsunami aftermath, 2004. Anak-anak remaja yang tergabung dalam Pfadi
(Pramuka) sibuk menggalang dana. Caranya bermacam-macam mulai dari menggelar
aneka pertunjukkan sampai jualan mainan buatan sendiri atau makanan-makanan
kecil. Pada umumnya anak-anak Swiss itu pemalu tapi soal persahabatan mereka
bisa diandalkan. Oh ya, ada sebuah riset yang mengatakan kalau 80 persen
anak Swiss menganggap persahabatan itu penting. 
 
Nah, waktu itu saya tertarik untuk mampir ke salah satu stand Pfadi yang
menjual jus apel, glühwein (minuman hangat khas winter) dan kue-kue karena
salah sebuah poster A4 yang dipajang memperlihatkan kota Banda Aceh yang
rata dengan tanah. Saya mengenali itu adalah Banda Aceh dari gambar Mesjid
Raya yang masih berdiri di antara puing-puing berserakan, sangat
mengenaskan. Anak-anak tersebut dengan gesit melayani pembeli. Iseng-iseng
saya dekati satu. 
 
Santiara : "Apakah ada yang pernah ke Indonesia?" 
Pfadi      : "Nichts. Noch nicht. (Tidak ada. Belum)."
Santiara : "Kenal orang Indonesia di sini? punya penpals di Indonesia?"
Pfadi      : "Nein." (Tidak). 
Santiara : "Nanti uang yang terkumpul dikirimnya gimana?"
Pfadi      : "Mmmmm...weiss noch nicht. Vielleicht durch Caritas, Rote
Kreuz..."  (Belum tahu, mungkin lewat Caritas, Red Cross).
Santiara : "Wah mereka di Indonesia ga akan tahu dong kalau uang ini dari
kalian. Tidak ada yang bilang terima kasih, gimana?"
Pfadi      : "Kein problem." (Tidak masalah).  
 
Dan kata itu terucap begitu ringan di tengah kesibukan melayani pembeli dan
beres-beres. Brrr....dingin sekali waktu itu mana salju turun cukup lebat.
Anehnya saya merasa hangat seketika mungkin karena glühwine, mungkin karena
berada di tengah manusia-manusia yang meskipun masih muda namun sudah paham
apa arti cinta kepada sesama.  
 
Pada hari kematiannya ayah saya bilang begini: "Hati manusia itu cuma
sekepalan tangan tapi jangkauannya demikian luas karena sanggup memberi
tempat untuk semua orang, terbuka bagi dunia." 
 
Menyesal sekali pada hari itu saya gagal berada di sisinya. Perkataannya itu
saya dengar dari kakak saya lewat telepon. Beberapa hari sebelumnya saya
sempat bertukar cakap dengan ayah di telepon. Cuma lima menit karena
keadaannya saat itu sudah lemah. Saya minta maaf karena masih berada jauh
darinya. Apa jawab ayah saya?
 
"Tidak apa-apa"

Itulah kata terakhir ayah untuk saya. No problem.

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke