Srombotan dan Pecel Terik

BONDAN WINARNO

 


Belum lama ini saya mengalami kekecewaan ganda. Saya pergi ke Pasar
Tegallalang di dekat Ubud,Bali, untuk mencari lawar paku (pakis) kesukaan
saya. Pertama, saya tersesat karena ternyata pasar tradisional di
Tegallalang itu sudah berubah menjadi bangunan baru. Kedua, penjual lawar
paku itu ternyata sudah tidak berjualan lagi.

Untungnya, di pasar itu ada beberapa penjual nasi campur dan tipat santok.
Tipat adalah ketupat. Tipat santok adalah ketupat diiris halus dan dicampur
dengan sayur rebus bersaus kacang pedas - semacam pecel. Orang Bali suka
menyantap tipat santok sebagai menu sarapan.

Sore harinya, saya mengalami kekecewaan lagi. Saya pergi ke Bedulu untuk
mencari penjual tum dan pesan yang pada sore hari biasa menjajakan dagangan
di tepi jalan. Tum adalah makanan yang dibuat dari berbagai bahan - ayam,
sapi, babi, ikan - yang dikukus dalam bungkus daun pisang. Mirip bothok di
Jawa. Sedangkan pesan adalah pepes atau pais dengan isi yang sama, juga
dibungkus dengan daun pisang, tetapi tidak dikukus, melainkan dipanggang.

Ternyata, para pedagang tum dan pesan itu sudah tidak dapat lagi saya
temukan.
Akhirnya, saya meneruskan perjalanan ke Gianyar untuk melihat Pasar Senggol
- semacam pusat jajan serba ada yang muncul sore hari di areal Pasar Umum
Gianyar. Makanan yang dijajakan di pasar senggol ini sangat beragam. Mulai
dari babi guling yang memang merupakan makanan kebanggaan Gianyar, ayam
betutu dengan aroma yang sungguh khas, ayam panggang yang tampak sangat
menggiurkan, berbagai kue basah dalam tampilan yang menarik, serta berbagai
jenis hidangan lain.

Setidaknya ada dua pedagang srombotan di pasar senggol itu. Saya memilih
yang agak di ujung, tepat di tikungan. Soalnya, selain menjual srombotan,
ternyata ia juga menjual pesan yang memang sedang saya cari-cari. Antara
lain saya temukan pesan lindung (dari belut), pesan lele, pesan pindang
tongkol, dan pesan klengis (sari minyak kelapa). Favorit saya adalah pesan
klengis yang sungguh sangat gurih. Ternyata, sajian pesan yang saya dapati
di Pasar Senggol Gianyar ini justru lebih bagus kualitasnya daripada yang
saya jumpai di pinggir jalan di Bedulu. Sungguh juara!





Bondan Winarno


Pecel Terik Tegalgondo

Srombotannya juga tampil bersih dan berkualitas. Sayur-mayur rebusnya
beragam, mulai dari kangkung, kacangpanjang, tauge, wortel, dengan tingkat
kematangan yang pas. Di atas sayur-mayur rebus ini ditumpangi parutan kelapa
yang sudah dibumbui - seperti layaknya urap di berbagai daerah Nusantara.
Tetapi, bukan srombotan kalau dia tidak istimewa. Ternyata, di atas topping
kelapa parut ini masih lagi disiram dengan saus kacang seperti layaknya
pecel. Dengan kata lain, srombotan adalah gabungan antara pecel dan urap.

Sentuhan akhirnya adalah taburan kacang goreng dan kedelai goreng yang
merupakan ciri khas sajian Bali. Harus ada klethik-klethiknya. Percaya
tidak? Harga seporsi atau sebungkus srombotan hanya Rp 1.500. Alamak,
murahnya! Padahal, sajian sehat ini sungguh bermutu dan bercitarasa tinggi. 

Srombotan di Bali juga mengingatkan saya pada pecel terik yang belum lama
ini saya  cicipi di Tegalgondo, dekat Delanggu, Jawa Tengah, antara
Solo-Yogya. Pecel terik adalah hasil kreativitas (local genius) yang patut
dipuji. Pemilik warungnya adalah seorang sarjana yang agaknya memang
berpikir keras untuk menampilkan pecel yang tidak biasa. Maklum, selain
Madiun, Kediri, dan Malang, Solo juga terkenal dengan pecel maupun sambal
tumpangnya.

Di Yogyakarta dan Muntilan sudah ada pecel yang disajikan khusus dengan ikan
wader goreng. Pecel unik ini langsung populer dan laris karena disukai
orang. Maka, pecel di Desa Tegalgondo ini pun diberi side dish yang menarik,
yaitu terik daging sapi. Yang satu ini adalah masakan seperti semur daging
dengan tambahan gula merah yang cukup banyak, dan dimasak sampai sebagian
besar kuahnya menguap. Hasilnya adalah semacam saus hitam manis yang melekat
pada irisan daging yang sudah empuk.

Yang penting beda! Kalau pecel madiun diberi side dish berupa dendeng ragi,
maka pecel dari Tegalgondo ini memakai terik daging sapi yang manis dan
empuk.

Pecelnya juga memakai sayuran yang unik, yaitu: ketimun, kecambah (tauge),
kenikir, dan kacang panjang. Sambal kacangnya diuleg kasar, sehingga masih
terasa kres-kres kacangnya di mulut. Pecel itu disajikan langsung di atas
nasi putih, lalu diberi lauk terik daging sapi. Saya lihat banyak orang yang
juga minta ditambahkan belut goreng kering sebagai lauk. Tradisi ini juga
ada di pecel madiun dengan berbagai lauk tambahan seperti telur mata sapi,
empal, dan lain-lain - di samping rempeyek yang merupakan keharusan.

Wuih! Ternyata sajian sederhana ini sangat memuaskan. Gurih banget!
Tendangan manis dari terik daging seperti menetralisir pedasnya pecel.
Sedangkan belut goreng kering memberikan sensasi kriuk-kriuk menggantikan
rempeyek kacang.

Saya perhatikan para tamu di rumah makan ini kebanyakan juga memesan sayur
lodeh. Wah, sebagai penggemar lodeh, ini kesempatan yang tidak ingin saya
sia-siakan. Saya pun segera memesannya.

Sayur lodehnya bersantan tipis. Isinya terong, pete, daun melinjo, buah
melinjo muda, kacang panjang. Rasanya nendang banget. Nuansa terasi yang pas
terasa di lidah. Tidak heran bila sayur lodeh yang disajikan panas-panas itu
menjadi favorit para tamu.

Sajian lain yang populer di warung ini antara lain adalah: oseng kikil,
oseng udang galah, oseng daun pepaya, oseng pare, oseng rebung, dan
lain-lain. Bothok tempe mlanding (petai cina)-nya juga enak. Sajian
murah-meriah yang sungguh berkualitas dari segi citarasa.

Lain kali, bila Anda melintas di antara Solo-Yogya, buka mata lebar di
sekitar Delanggu. Pasti akan ketemu papan nama warung yang ramai ini. Rugi
kalau tidak singgah!

 


 




 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke