Lintas generasi? Ini hanya untuk menggambarkan bahwa bubur ayam Cikini disukai orang dari berbagai usia; dari kakek nenek sampai anak-anak yang merupakan cucu dari si kakek nenek itu.
Keluarga HR Sulaiman asal Cirebon, Jawa Barat merintis usaha bubur ayam di Cikini, Jakarta Pusat tahun 1987. Awalnya keluarga itu berdagang martabak telur. Salah seorang nenek moyang HR Sulaiman kebetulan berdarah India dan mewariskan resep untuk membuat martabak telur. Haji Rustanjam, anak HR Sulaiman, menuturkan, semula keluarganya berdagang martabak telur di Tegalan, Jakarta Timur tahun 1957. Dari Tegalan lalu pindah ke Cikini. Dalam perjalanan waktu, selain martabak, keluarga itu juga menjual bubur ayam. Yang kemudian terkenal justru bubur ayam. Martabak sampai sekarang tetap dijual. Gerobaknya berdampingan dengan bubur ayam. Tapi itu tadi, martabak kalah pamor sama si bubur. Karena hanya berbentuk gerobak dorong dan tanpa nama, bubur ayam keluarga itu disebut orang sebagai Bubur Cikini. Itu karena lokasinya di Jalan Cikini Raya. Nama bubur ayam Cikini jadi ngetop. Sejumlah pedagang bubur ayam oportunis di belahan lain Jakata lalu menggunakan nama itu untuk menarik pembeli. Mereka tidak ada hubungan dagang apalagi keluarga dengan HR Sulaiman. Secara legal mereka tidak salah. Keluarga HR Sulaiman tidak mematenkan nama itu. Jadi mereka bukan pemegang hak merek Bubur Cikini. Sadar akan posisi itu maka sebagai pembeda, keluarga HR Sulaiman lalu membuat nama baru yang terdengar agak panjang yaitu Bubur Ayam Cikini HR Sulaiman. Dengan 'merek dagang' itu kini mereka akan berekspansi ke beberapa tempat di Jakarta. "Tanggal 30 Desember 2006 kita membuka cabang di Rukan Gading Batavia di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Nanti tahun 2007 kita juga buka cabang baru di Jalan Pecenongan, Jakarta Pusat. Kita sudah sewa lahan di halaman sebuah gedung di sana," kata Toto, karyawan yang mengaku sudah 18 tahun bekerja pada keluarga HR Sulaiman. Sebagaimana pengelolaan bubur ayam Cikini telah dialihkan dari HR Sulaiman ke anaknya Rustanjam, pelanggan mereka pun demikian. "Ada pelanggan kami, ada yang datang ke sini sejak kami masih menjual bubur dengan harga Rp 500 per mangkuk. Sampai sekarang mereka masih datang, bawa anak dan cucu. Anak dan cucu mereka juga suka, lalu datang sendiri," kata Rustanjam. Toto menuturkan, pernah ada seorang pembeli yang memesan bubur ayam untuk di bawa ke Singapura. "Dia bilang mau dibawa ke Singapura buat ibunya. Entah bagaimana dia bawanya ke sana," kata Toto. Apa istimewanya bubur ayam ini? "Soal resep tentu rahasia negara haha..." kata Toto. "Yang pasti kami beras kualitas bagus. Kami pakai beras yang harganya Rp 7.000 per liter. Cari saja itu beras apa. Rempah-rempah juga kami pakai yang kualitas bagus," kata Haji Rustanjam Kelebihan lain, kata Rustanjam, mereka menggunakan kecap khusus produksi Cirebon. "Kecap kami tidak sembarangan, lihat saja ini," kata Haji Rustanjam sambil menujuk botol kecap manis produksi Oedang Sari dari Cirebon dan kecap asin merek Tjap Tiga Jari, juga produksi Cirebon. Selain melayani pelanggan perorangan, mereka juga kadang melayani permintaan pesanan dalam jumlah besar. "Pernah dari Garuda sebanyak 400 mangkuk. Waktu itu juga pernah dari Manulife (Insurance) sebanyak 1.000 mangkuk. Kalau pesan seperti itu kita mintanya minimal 400 mangkuk," kata Haji Rustanjam. Berapa omset tempat yang buka dari pukul 17.00 sampai 01.00 ini semalam? "Paling sekitar 300 mangkuk," kata Toto. Itu berarti sekitar Rp 3 juta. Harga bubur ayam di sini Rp 9.000 per mangkuk tanpa sebutir telur ayam mentah dan Rp 10.000 kalau pakai telur mentah. Meski demikian, Haji Rustanjam mengaku jumlah pembelinya sedang menurun. "Dulu zaman Soeharto sampai zaman Gus Dur enak cari duitnya. Sekarang sudah turun. Dulu kita habiskan 20 liter beras semalam, sekarang paling hanya 15 liter," katanya. [Non-text portions of this message have been removed]