*Law of Attraction: Positive Thinking* Seorang member di Milis Bicara bertanya kepada Saya terkait dengan posting ini <http://milis-bicara.blogspot.com/2007/04/game-of-success-tips-151-saya-ingin.html>. Bunyi dari pertanyaan itu adalah begini.
*"Punten Mas, Om ato Eyang Sopa, baru mau coba ikut nimbrung nih... boleh kah? He he he he... Mensukseskan sesuatu di luar Anda itu harusnya tidak lepas dari ide sukses itu sendiri yang asalnya dari dalam diri kita. Sukses itu sendirikan cuma masalah cara pandang. Tiap-tiap orang punya takaran suksesnya sendiri dan bahkan ide yang berbeda-beda tentang kesuksesan itu sendiri. Ada yang bilang mending hidup bahagia ama anak bini daripada punya bisnis betebaran di mana-mana tapi istrinya selingkuh, anaknya jadi pecandu de el el. Sementara yang punya bisnis bertebaran di mana-mana sendiri berpendapat istri selingkuh dan anak jadi pecandu hanyalah resiko dari kesuksesan (sori nih contohnya ekstrem) dibanding aman ama anak bini tapi cuman jadi penonton dan ngomentarin orang lain. Nah kalo udah begini kan ribet jadinya... Sekarang kalo Om Sopa bilang mau mensukseskan orang lain itu dengan menggunakan ide suksesnya siapa? Ide Om Sopa apa ide orang itu sendiri? Dan tentunya gimana caranya Om Sopa merasa udah mensukseskan orang lain kalo orang lain itu menggunakan ide suksesnya sendiri yang kemungkinan besar beda ama ide sukses Om Sopa? Tentunya secara ego Om Sopa pasti ngerasa gak berhasilkan? Mungkin sebelumnya kita perlu menggali ide sukses itu sendiri secara universal (ada gak ya..?) sehingga kita punya patokan yang jelas. Cuman usul doang lo... mohon tanggapanya ya?" JT.* Saya menjawabnya begini. *"Ente udah bener lho yang pertama. Sukses itu tergantung takaran masing-masing orang. Kalo aku mau suksesin orang, ya tentu saja pake takaran sukses orang itu dong. Kalo kita ambil contoh tentang sukses dalam keahlian berbicara misalnya, so pasti itu universal sifatnya. Ya nggak? Sebab, setiap orang pasti sepakat untuk satu hal, misalnya bahwa berbicara harus nyambung. Itu artinya, takaran sukses orang berarti sama dengan takaran sukses saya (dalam hal ini). Kalo kita ambil contoh soal kaya, di sini baru berbeda. Kayanya seperti apa, banyaknya berapa. Pasti, setiap orang berbeda takarannya. Dalam hal ini, berlaku hukum subjektifnya bahwa sukses berbeda-beda bagi setiap orang. Tapi satu hal yang pasti dan obyektif, sukses itu adanya di kepala. Alias, kepala orang nggak ada yang sama. Jadi bener seperti ente bilang sukses itu berbeda-beda. Btw, sukses Mas apa? Monggo tak bantuin. Jadi, aku langsung mempraktekkan mensukseskan orang lain. Kalo berhasil, berarti aku sukses toh? Mas gabung di Milis Bicara <http://groups.yahoo.com/group/bicara/> ini, bisa berarti pengen sukses bicara. Ya ayo atuh tak bantuin. Mas bisa jadi ketua panitia Tedar V misalnya. Kalo ente sukses, berarti Tedar sukses, berarti Milis Bicara sukses, berarti saya sebagai founder dan moderator Milis Bicara sukses. Atau, ikut Workshop E.D.A.N.<http://milis-bicara.blogspot.com/2007/04/tentang-workshop-edan.html>Kalo ente sukses jadi jauh lebih PD, maka saya sukses dong ya? Hua...ha....ha.... Bener kok. Saya Ingin Ente Sukses, Saya Harus Membuat Ente Sukses. Sopa."* Tanya-jawab di atas membuat Saya ingin lebih "klik" tentang peran berpikir positif dalam "The Law of Attraction". Para pakar menyebut bahwa *positive thinking* itulah "The Law of Attraction". Saat Saya mengusulkan *"Mas bisa jadi ketua panitia Tedar V misalnya. Kalo ente sukses..."* di dalamnya terkandung *positive thinking* sehingga yang Saya katakan sebenarnya adalah, *"Mas bisa jadi ketua panitia Tedar V misalnya. Sebab menjadi ketua panitia Tedar, adalah melatih berbicara sekaligus memimpin di depan orang banyak. Latihan semacam itu akan membuat Anda lebih baik dalam berbicara." * Kemudian barulah Saya teruskan, *"Kalo ente sukses..."* Bagaimana jika Mas JT mau melakukannya, tapi tidak sukses sebagai ketua panitia? Gagalkah Saya? Tidak. Saya tetap sukses. Mengapa? Sebab, Saya punya visi tentang *multiple goals* di Milis Bicara. *Berhasil* membuatnya mau jadi ketua panitia saja, sudah sebuah kesuksesan tersendiri bagi Saya. (Perhatikanlah bahwa Saya bisa menggunakan kata "berhasil" atau yang sejenisnya, tapi tidak bisa menggunakan kata lain apapun yang artinya berlawanan). Sekarang, bagaimana jika Saya menggunakan *negative thinking*? Misalnya begini: *"Mas bisa jadi ketua panitia Tedar V misalnya."* Tapi, di dalam hati Saya meneruskannya dengan begini: *"Rasain loh. Mudah-mudahan gagal dan ente jadi malu!"* Jika Mas JT menjadi ketua panitia dan kemudian berhasil, sukseskah Saya? Tidak. Saya pasti kecewa. Jika Mas JT menjadi ketua panitia dan kemudian benar-benar gagal, sukseskah Saya? Tidak. Sebab bukan itu yang menjadi visi Saya dengan mengumpulkan member di Milis Bicara. Inilah rahasianya. Kesuksesan tidak ditentukan oleh *outcome*, melainkan oleh *template input*-nya yaitu mindset. Jika mindset Saya negatif, maka Mas JT sukses atau gagal, sama sekali tidak ada bedanya buat Saya. Saya, tetap saja tidak sukses. Kita bisa menggunakan contoh lain yang mirip contoh ekstrem Mas JT. Tuan A bercurhat kepada Saya sehubungan dengan memburuknya hubungan ia dan istrinya. Curhat itu sebenarnya tidak pada tempatnya, tapi Tuan A tak kuat lagi menahan deritanya sehingga dengan terpaksa ia buka mulut kepada Saya. Tuan A, ingin rukun kembali dengan istrinya. Apakah Saya bisa membantu mensukseskannya, padahal Saya bukanlah penasehat perkawinan? Saya bisa memberi masukan kepadanya, tentang seorang penasehat perkawinan yang profesional dan dikenal pandai merukunkan kembali pasangan yang hubungannya mulai retak. Saya juga bisa memberi masukan kepadanya, tentang seorang penasehat perkawinan yang Saya ketahui lebih sering menghasilkan perceraian daripada kerukunan. Jika Saya memilih usulan yang pertama dan kemudian Tuan A rukun kembali dengan istrinya, maka Tuan A sukses dan Saya sukses. Jika Saya memilih usulan yang pertama dan kemudian Tuan A tetap bercerai dari istrinya, maka Tuan A gagal tapi Saya tetap sukses. Merasa bersalah atas kegagalan Tuan A? Tidak perlu. Bukankah dengan *positive thinking* Saya telah memilih usulan yang terbaik dari dua pilihan usul? Mengapa pilihan Saya itu bisa dikatakan yang terbaik? Karena dengan *positive thinking*, Saya mengatakan bahwa usul itulah yang sejalan alias kongruen dengan target sukses Tuan A. Jika Saya *negative thinking*, maka bukan usulan itu yang Saya anggap terbaik. (Perhatikanlah fenomena bertolak belakangnya " *negative thinking*" melawan "terbaik". Inilah kebalikan dari "The Law of Attraction", ini namanya "detraction"). Jika begini mindset Saya, maka pilihan Saya akan jatuh pada usul kedua. Saya tetap bisa memaksakannya sekalipun sebenarnya berangkat dengan "salah mikir". Langkah Saya berikutnya pasti akan salah. Jika Saya memilih usulan yang kedua dan kemudian Tuan A benar-benar bercerai dari istrinya, maka Tuan A gagal dan Saya juga gagal. Tuan A gagal karena tidak mencapai apa yang diharapkannya, Saya gagal karena mindset negatif Saya yang tidak kongruen dengan target Tuan A. Jika Saya memilih usulan yang kedua tapi ternyata Tuan A malah rukun lagi dengan istrinya, maka Tuan A sukses tapi Sayalah yang gagal. Tuan A berhasil karena memang itulah yang diinginkannya, Saya tetap gagal karena bukan itu yang Saya inginkan terjadi pada Tuan A. Saya kan *negative thinking*. Jadi sekali lagi, sukses itu mindset Anda, dan mindset Anda haruslah positif. Jika selama membaca posting ini di kepala Anda terlintas pikiran "Ah... Pak Sopa, yang beginian aja kok diurusin..." Inget lho. Anda mustinya tetap *positive thinking* pada Saya. He...he...he... Begitulah, inti "The Law of Attraction" adalah *positive thinking*. Saya Ingin Anda Sukses, Saya Harus Membuat Anda Sukses. Ikhwan Sopa Trainer E.D.A.N. 021-70096855 ikhwan dot sopa at gmail dot com http://milis-bicara.blogspot.com [Non-text portions of this message have been removed]