Renungan : PERSAHABATAN YANG KHUSNUL KHOTIMAH

 

Pernahkah kita coba menghitung berapa jumlah teman yang kita miliki? 

Pernahkah pula kita membuat daftar dan menghitung jumlah sahabat yang saat
ini 

benar-benar masih layak disebut sebagai sahabat?

 

Sangat boleh jadi, sebagian dari teman dan sahabat itu sudah tidak kita
ketahui 

kabarnya untuk beberapa tahun belakangan. Bahkan, bertegur sapa pun mungkin
tidak 

karena kita telah lost contact atau kehilangan kontak dengannya. 

Jangankan untuk kabar teman lama, sahabat lama pun bisa saja kita sudah tak
tahu kabar mereka.

Atau, malahan mereka telah menjadi mantan& yang tak ingin lagi kita temui.
Ow!

 

Istilah teman dan sahabat secara tidak sengaja memang ada pada klasifikasi
masing-masing, 

mulai dari teman biasa yang ada secara kebetulan (semisal teman sekolah,
tetangga, 

dan sebaginya) pasti sebagian dari mereka ada yang kita akrabi dan ada yang
tidak. 

Untuk sahabat, boleh jadi kedekatan karena ada pada ruang dan waktu yang
sama, 

boleh jadi pula ada sahabat yang sesahabat-sahabatnya. Sahabat kental akan
menjadi 

belahan jiwa yang akan terasa hambar tanpa kehadirannya. 

Maka ruang dan waktu pun tak akan cukup membatasi jalinan yang ada.

 

Diantara tingkatan-tingkatan itu, semuanya ada pada range pertemanan dan
persahabatan. 

Apapun klasifikasinya, persahabatan akan selalu ada dalam hidup kita, meski
dengan 

orang yang berganti-ganti.

Tengoklah sahabat waktu di SD, biasanya berbeda dengan ketika duduk di
bangku 

SMP atau SMA, apalagi di bangku perkuliahan. Sahabat selalu berganti dan
bervariasi.

 

Lalu, factor apa saja yang biasanya membuat kita dekat satu sama lain? 

Karena kita punya kelas yang sama,

punya kegiatan yang sama, punya hobi yang sama, punya idola yang sama, atau,


punya tujuan yang sama. Tak ayal, dari berbagai tujuan itu muncullah
kelompok, 

organisasi atau perkumpulan yang kita ikuti karena di situlah ada sinergi. 

Ketika kelompok ini mulai berganti, ketika jarak dan waktu tak memungkinkan
lagi 

untuk berkumpul, beraktivitas bersama atau sekadar bercengkerama bersama, 

masing-masing dari kita pun mulai mengambil jarak dan kelompok-kelompok
baru,sahabat-sahabat baru. 

Sahabat yang lama pun mulia jarang bertemu, pun tingkat keakraban serta
merta melonggar.

 

Gambaran tersebut belum memperhitungkan kemungkinan adanya konflik yang pada


beberapa kasus boleh jadi menjadi sekat dan dendam kesumat yang memisahkan
persahabatan. 

Maka, bergantinya sahabat dari masa ke masa telah menjadi sebuah
keniscayaan. 

Menilik persahabatan demi persahabatan yang telah kita semai,akhirnya akan 

muncul satu penyimpulan bahwa: persahabatan pun ada masanya. 

 

Ada masa ketika kita begitu lekat dan cair, ada masa ketika kita mulai 

meninggalkan. Namun, satu yang pasti, bahwa persahabatan tetaplah didasari 

oleh sebuah kepentingan. 

Bagi saya, persahabatan tanpa pamrih adalah bulshit, sekadar pengelakan 

dan upaya untuk menjaga sebuah ketulusan dalam persahabatan.

 

Ketika kita memulai persahabatan dengan seseorang, baik secara individu 

maupun dalam kelompok/ komunitas, kepentingan itu dapat berupa penyaluran
hobi, 

keinginan berbagi dan mendapatkan wawasan dan atau pencerahan . 

atau, malahan, kepentingan untuk merubah? 

Nah, itulah kepentingan! Untuk melebur bersama, seringkali kita coba elak 

untuk disebut sebagai kepentingan atau pamrih.

Maka, ketika kepentingan itu mulai tak ada, di situlah persahabatan akan
memudar 

bahkan terputus. Kadang kala, perpisahan itu terjadi begitu saja tanpa kita
sempat 

(dan menyempatkan diri) untuk berpamit dan menorehkan kenangan perpisahan
secara 

manis menjelang perpisahan. Dus, tiba-tiba jarak pun membentang, memunculkan
rasa 

sungkan dan canggung ketika bertemu kembali.Kenangan-kenangan masa silam
hanya 

menjadi sebuah nostalgia yang hanya sesakali bisa kita lihat dan tengok 

di saat-saat tertentu dalam wujud reuni dan sekadar mengenang. 

Dan tentu, sangat susah untuk kita kembalikan seperti masa keakraban dulu. 

Waktu telah menggeser rasa, rasa persahabatan yang kita cecap. 

Disanalah kita diingatkan bahwa kita telah terlambat bersyukur, 

betapa nikmatnya sebuah kebersamaan dalam persahabatan.

 

Akankah persahabatan itu mengalir untuk terlupakan, mengalir untuk dikenang 

dalam diam menjelang turunnya lelap di malam hari. Atau, lebih dari itu, 

mengalir untuk sesekali kita tengok secara riil lewat sekadar sapaan hallo 

dan menanyakan kabar terakhir, saling membantu dan bekerjasama dalam keadaan
yang baru?

 

Ya, terkadang kita lupa berdoa agar persahabatan pun menjadi khusnul
khotimah, 

berakhir dengan baik. Apa pun konfllik yang sedang terjadi, dari masa ke
masa,

kita seringkali lupa untuk menyempatkan berdoa semoga di masa mendatang akan
berakhir dengan baik.

 

Rasululloh sendiri pernah mengingatkan agar kita jangan terlalu mencintai 

sesuatu karena boleh jadi apa yang kita cintai itu akan menjadi kita benci. 

Pun sebaliknya, jangan terlalu membenci sesuatu karena boleh jadi apa yang 

kita benci akan menjadi kita cintai di kelak kemudian hari.

 

Apapun itu, doa agar persahabatan, sebaik atau seburuk apapun saat ini, 

semoga akan menjadi khusnul khotimah, tetaplah butuh usaha.

Rasululloh pun meneladankan usaha memupuk persahabatan ini, 

yakni dengan menjalin tali silaturahmi, saling berkunjung, saling bertegur
sapa. 

Baik untuk masa sekarang, baik juga untuk masa mendatang. 

Tentu saja, khusnul khotimah, baik pada akhirnya.

 

------------------------

 

dagen_pvr, catatan pertengahan November

Maya de Fitri

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to