Cinta yang Tak Rumit

dari: Faiz oleh: Helvy

                                                                            

 Apa yang menyebabkan kita menyapa atau tidak menyapa, saat bertemu         

 seseorang Kebanyakan kita menyapa karena kita mengenal atau minimal        

 mengetahui seseorang itu. Bisa juga karena kita menyukai atau menghormati  

 orang tersebut, karena memang kebiasaan, atau punya keperluan.  

           

 Mungkin juga sekadar basa basi. Apa pun itu, saya belajar banyak soal ini  

 dari seorang anak kecil yang berbeda umur 16 tahun dari saya.              

 Setiap hari saat berjalan kaki menuju sekolahnya yang tak begitu jauh dari
rumah, 

 Faiz akan melewati deretan panjang rumah yang ada di sekitar kami.  

 Empat tahun yang lalu, ketika Faiz masih TK, saya takjub menyaksikan       

 bagaimana cara ia menyapa! Semua tetangga yang kebetulan dilewati atau     

 ditemuinya di jalan, tak akan luput dari teguran ramah disertai senyum     

 lebar Faiz.   

                                                                   

 "Selamat pagi, Pak, selamat pagi, Bu...."                                  

 "Assalaamu'alaikum...."                                                    

 "Mari Oma, mari Opa..."                                                    

 "Dari mana, Tante?"                                                        

 "Wah hari ini Kakak berseri sekali!"                                       

 "Mau kuliah, Bang?"                                                        

 "Eh, ketemu adik cakep. Mau kemana pagi-pagi sudah rapi?"                  

 Dan seterusnya....                                                         

                                                                            

 Saat ia duduk di kelas II SD, saya pernah bertanya pada Faiz," 

 Mas Faiz,apa kamu tak lelah menyapa begitu banyak orang setiap pagi?"Faiz
tertawa.  

 "Tidaklah, Bunda. Aku senang karena senyum dan sapaku mungkin bukan        

 mengawali pagiku saja. Tapi mengawali pagi orang lain. Lagipula senyum itu 

 kan sedekah, Bunda."


 Saya nyengir. 

 

 Pernyataan yang unik dari anak yang waktu itu belum berumur delapan tahun.


 Subhanallah. Kalau dihitung dengan uang, sedekahmu mungkin 

 sudah milyaran," ujar saya sambil mencium pipi Faiz yang memerah.

       

 Setiap kali hadir pada arisan yang diadakan ibu-ibu sekitar rumah, mereka  

 kerap membicarakan Faiz."Waduh, Faiz itu ramah sekali ya, Bu. Kalau        

 bertemu saya selalu menegur lebih dulu, senyumnya manis sekali."


 "Kok bisa seperti itu sih, Bu? Bagaimana mendidiknya?"   

                  

 Saya tersenyum. Bagaimana mengatakannya? Sesungguhnya saya tak pernah      

 mendidik Faiz secara khusus untuk menyapa dan tersenyum. Sayalah yang      

 banyak belajar dari Faiz!                                                  

 Terbayang lagi berbagai peristiwa yang terjadi sejak Faiz mulai duduk      

 dibangku SD.                                                               

 Ketika ia ada di teras rumah, semua pengemis yang lewat selalu
dipanggilnya,                                                              

 diajak makan dan minum. "Hari ini di rumah masak sop dan perkedel." Atau   

 "Bapak mau bawa kopi untuk di jalan biar tidak mengantuk?                  

 Mau teh manis dingin?" Ia akan berlari ke kamar, mengambil celengan dan    

 mengeluarkan lembaran kertas dari sana untuk diberikan pada mereka.        

 Belum lagi, semua tukang jualan, tukang sol sepatu, yang lewat pun disuruh 

 mampir.                                                                    

 Ada saja yang ditawarkannya. "Istirahat dulu di sini, Pak.Kan capek.       

 Hari panas sekali. Sini, makan kue dan minum dulu. Atau mau makan nasi?"   

 Selain itu ia pun akan bisik-bisik pada anggota keluarga lainnya untuk     

 membeli sesuatu dari tukang jualan itu, meski kami tak terlalu
membutuhkannya.     

 "Apa salahnya sih menolong orang?" ujarnya.Maka di rumah mungil yang kami  

 tempati, tak pernah ada hari di mana kami memasak sekadar pas untuk
keluarga.                                                                  

 Selalu ada tamu-tamu istimewa yang entah siapa. Faiz mengundang mereka     

 secara tak terduga.                                                        

 "Ikhlas yaaa, Bunda...," katanya sambil tersenyum manis.                   

 Lalu apakah ada lagi yang bisa saya ucapkan, meski dengan terbata? Saya    

 hanya mampu memeluk Faiz kuat-kuat.


                                                                            

                                                        



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke