Wolfowitz dan Kredibilitas Bank Dunia

Oleh Ahmad Erani Yustika 

Setelah berupaya membela diri dengan beragam argumentasi, akhirnya Presiden
Bank Dunia Paul D. Wolfowitz secara resmi harus berhenti dari jabatannya
pada 30 Juni 2007. 

Dugaan skandal Wolfowitz dengan kekasihnya, Shaha Ali Riza, yang dulu juga
bekerja di Bank Dunia, dengan menaikkan gaji di atas kewajaran mengakibatkan
kredibilitas Wolfowitz dan Bank Dunia runtuh. Kalangan internal Bank Dunia
dan negara-negara anggota beramai-ramai memakzulkan Wolfowitz dari jabatan
yang sangat prestisius tersebut. 

Kasus Wolfowitz itu segera menerbitkan dua hal pokok di Bank Dunia. Pertama,
lembaga yang sangat peduli dengan isu korupsi tersebut ternyata juga
mengidap patologi serupa. Tubuhnya diselimuti dengan banyak praktik korupsi,
dan skandal Wolfowitz hanyalah bagian kecil yang terungkap. 

Kedua, korupsi yang lebih parah dan sistematis mestinya segera ditelusuri di
Bank Dunia, yakni ketidakpeduliaan mereka terhadap kasus "korupsi
kebijakan".

Korupsi Kebijakan

Sampai kini tidak ada lembaga multilateral yang paling berpengaruh melebihi
institusi Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Kedua lembaga itu
merupakan bentukan saat berlangsung Konferensi Bretton Woods seusai Perang
Dunia II, dengan tujuan utama merekonstruksi infrastruktur dunia dan
membantu pembangunan negara-negara anggota. 

Menarik untuk dicermati bahwa kedua lembaga ini juga memiliki fungsi lain
yang penting, yakni menghadang pengaruh negara-negara sosialis dalam
memperluas ide dan sistem ekonominya (Kloby, 1997: 171-172). 

Jadi, tidaklah mengherankan bila sejak awal lembaga tersebut sangat getol
menyalurkan dana ke negara-negara Dunia Ketiga dengan persyaratan yang lunak
(soft loan), yaitu bunga ringan dan tenggat pembayaran (gestation period)
yang lama. 

Dengan prosedur itu, diharapkan lembaga tersebut bisa memengaruhi negara
Dunia Ketiga untuk mengikuti gagasan pembangunan ekonomi mereka.

Sungguhpun begitu, secara prinsip sebenarnya terdapat perbedaan tugas yang
jelas antara IMF dan Bank Dunia. Fungsi IMF dibatasi pada urusan ekonomi
makro (macroeconomics). Di antaranya lebih banyak bersinggungan dengan aspek
defisit anggaran pemerintah, kebijakan moneter, inflasi, defisit
perdagangan, dan utang luar negeri. 

Sebaliknya, Bank Dunia lebih banyak berurusan dengan isu-isu struktural
(structural issues), seperti bagaimana pemerintah harus mengalokasikan
anggaran, kelembagaan keuangan negara, pasar tenaga kerja, dan kebijakan
perdagangan (Stiglitz, 2002: 14). 

Namun, dalam realitasnya, perbedaan tugas itu sering tumpah tindih di
lapangan. Bank Dunia, misalnya, bergerak jauh dengan menjamah aspek-aspek
yang sebetulnya menjadi area IMF, seperti manajemen utang luar negeri. Lebih
musykil, Bank Dunia bergerak ke wilayah yang sangat operasional, semisal
membuat desain penanganan kemiskinan (seperti yang diamalkan di Indonesia). 

Sepak terjang Bank Dunia menjadi tidak bisa dikendalikan lagi ketika mereka
memformulasikan kebijakan Konsensus Washington/KW (Washington Consensus). KW
ini didasarkan upaya stabilisasi ekonomi lewat jalur kebijakan penyesuaian
struktural yang direkomendasikan organisasi Bretton Woods dan pengambil
kebijakan ekonomi pemerintah AS. KW menekankan kepada pembuatan kebijakan
finansial dan makroekonomi yang hati-hati (prudent), nilai tukar mata uang
yang kompetitif, liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan, privatisasi,
dan deregulasi (Rodrik, 1996: 17). 

Kebijakan tersebut secara implisit mengajak pemerintah mengasingkan diri
dari kegiatan ekonomi, serta lebih memfokuskan kepada kebijakan moneter,
menjamin hak kepemilikan (property rights), dan menyiapkan infrastruktur
pendidikan dasar. Spririt liberalisasi inilah yang dapat dianggap "korupsi
kebijakan" terbesar yang pernah dilakukan Bank Dunia. 

Opsi Bank Dunia

Menyikapi persoalan tersebut, Indonesia bisa menempuh dua opsi untuk
membangun relasi dengan Bank Dunia di masa depan. Pertama, opsi moderat
dengan meminta Bank Dunia melakukan audit internal manajemen operasional.
Pilihan ini harus diambil agar malpraktik kekuasaan seperti yang dilakukan
Wolfowitz bisa diungkap seluruhnya. 

Selain itu, audit eksternal perlu dilakukan berkenaan dengan "korupsi
kebijakan" yang digelindingkan Bank Dunia, khususnya lewat kebijakan KW.
Audit kebijakan diharapkan membuka konsesi-konsesi ekonomi/politik di balik
kebijakan liberalisasi yang dijejalkan ke negara berkembang, termasuk
Indonesia. 

Apabila Bank Dunia terbukti bersih dari dua jenis audit tersebut, Indonesia
dapat berhubungan kembali dengan Bank Dunia seperti sediakala dengan prinsip
kesetaraan (di antaranya menghilangkan dominasi AS dalam proses pengambilan
keputusan).

Kedua, opsi radikal dengan jalan keluar dari keanggotaan Bank Dunia apabila
dua jenis audit di atas tidak diindahkan. Jika Bank Dunia tidak mau
mengerjakan proses tersebut, berarti secara etis mereka memang tidak ingin
menyelenggarakan praktik tata kelola yang bersih. 

Dengan begitu, secara etis pula mereka telah kehilangan legitimasi untuk
memaksakan konsep pemerintahan dan tata kelola ekonomi yang bersih ke negara
berkembang. Sebagai ganti, Indonesia dapat menggalang aliansi dengan
negara-negara Asia (Timur/Pasifik) untuk membangun lembaga pendanaan
pembangunan yang lebih kredibel dan sejajar. 

Proses inilah yang sedang diinisiasi negara-negara di Amerika Selatan,
dengan Presiden Venezuela sebagai penggagas. Wilayah Asia jauh lebih
berpotensi untuk mendirikan lembaga pendaaan ini karena banyak negara Asia
yang ekonominya memasuki musim semi, seperti China, India, Korsel,
Singapura, dan lain-lain. Pilihan ini merupakan investasi yang rasional
untuk membangun keadilan dunia di masa depan.


Ahmad Erani Yustika, PhD, dosen Fakultas Ilmu Ekonomi Unibraw, direktur
eksekutif Ecorist (The Economic Reform Institute) 

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to