HIMtv

Selama ini sinetron masih berjaya di dalam tangga program AC Nielsen,
khususnya yang dibuat dengan bersambung dan ditayangkan nyaris setiap hari.
Uniknya, dengan bejibunnya program sinetron yang tayang di layar kaca, apa
kabar ajang penghargaan "Festival Sinetron Indonesia" ? 

Tokh ada beberapa sinetron yang tidak dibuat bersambung namun relatif
"berhasil" menarik pemirsa. TransTV boleh dianggap piawai dalam memakai trik
program ini untuk membendung berjejalnya sinetron2 ala RCTI. Lihat saja di
jam primetime-nya, selain ExtraVaganza, TransTV memajang Hikayah, Hidayah (
sudah pindah ke jam siang ), Dongeng, dan Legenda dengan konsep sekali
tayang ceritanya langsung habis. Trans7 pun kalau anda simak, bisa dibilang
tidak ada slot sinetronnya. Mungkin masih betah dengan "Empat Mata". Yang
paling ekstrem tentu saja MetroTV, sekedar selingan dari porsi utamanya
yakni berita, boleh ada program film, documenter, olahraga, varietyshow,
kuis, talkhsow, asal jangan sinetron.

SCTV di era 90an pernah sukses menayangkan FTV bahkan sempat menjadi program
terfavorit kala itu. Sayangnya di beberapa episode sempat dicurigai alur
ceritanya mirip2 film luar negeri, sehingga popularitasnya pun tergerus.
ANTV pun pernah populer dengan sinetron ala "Oh mama oh papa", yang kemudian
dilanjutkan saat berganti nama menjadi StarANTV dengan program "i-sinema".
Tapi yach itu tadi kendalanya ada pada perolehan rating.

Sebenarnya ada satu lagi konsep program yang bisa digali dari sinetron ini,
buatlah miniseri ! Mengapa beberapa dari kita gandrung dan begitu fanatic
dengan sinetron2 dorama Jepang, Korea, atau Taiwan karena format cerita
mereka tidak sengaja dibuat untuk berpanjang-panjang. Paling juga antara
15-20 episode sudah habis. Yang ada justru beberapa sinetron kita dituding
"menjiplak" karya2 dorama tersebut dengan alur cerita yang terkesan
mengada-ada. Lalu bandingkan dengan jumlah episode sinetron2 bersambung kita
yang lebih mirip durasi tayangan opera sabun / telenovela. Ach, omong2 soal
telenovela jadi inget Maria Mercedez, Kassandra, Rosalinda, sampai Little
Missy. :-)

 

HIMtermezzo

Beberapa bulan yang lalu, penulis mendapat telepon mengenai penawaran kartu
kredit dari bank tempat penulis membuka rekening tabungan. Entah apakah
proses approval tersebut sudah jamak atau tidak di kalangan perbankan,
mereka hanya sedikit berkisah soal benefit bila kita segera menyetujui
pembuatan kartu kredit tersebut. Tak lupa iming2 standar seperti bebas iuran
tahun pertama atau mendapatkan barang elektronik untuk sekedar gesek di
merchant dengan jumlah pembelian tertentu.

Dan beberapa hari yang lalu, penulis mendapat telepon kembali dari
telemarketing sebuah perusahaan asuransi yang intinya tentu mengajak
bergabung untuk membuka rekening dengan fasilitas semacam proteksi maupun
investasi. Yang membuat kaget, sang telemarketer itu bukan berasal dari
afiliasi tempat penulis membuka tabungan selama ini. Entah darimana mereka
bisa tahu data2 yang tergolong bersifat rahasia tersebut bisa "jatuh" ke
pihak lain yang tak berkepentingan.

            Tapi syukurlah sampai saat ini belum ada ( bahkan jangan sampai
ada dech ), debt collector yang menelpon penulis lalu mencak-mencak minta
hutang dibayar karena orang yang tidak kita kenal mencantumkan nama kita
dalam form aplikasi kartu kredit. Rahasia umum yang kerap kita dengar soal
tindak tanduk kebanyakan debt-collector ini adalah tingkah mereka yang
menyebalkan, menteror keluarga terdekat kita siang malam, mengeluarkan
umpatan dengan perbendaharaan penghuni kebun binatang, dan itu seringkali
dilakukan via telepon. Sudah banyak surat pembaca mengeluhkan soal ini dan
tanggapan rata2 pihak penerbit kartu kredit baru sebatas : mohon maaf atas
ketidaknyamanan tersebut.

Mbok yach sistem perekrutan nasabah barunya lebih diperketat gitu. Jangan
terkesan kartu kredt itu seperti barang obralan atau mentang2 bank sedang
kebanjiran dana. Bukan sekedar menjaring nasabah penggesek
sebanyak-banyaknya tanpa mengkonfirmasi ulang keabsahan surat aplikasi yang
terlampir. Yang penting kualitas, bukan kuantitas. Bukankah kalau nasabah
membayar lancar, cashflow perbankan pun tidak bermasalah. Mau tanya, berapa
persen porsi kredit macet pada segmen layanan kartu kredit sekarang ini ?

 

HIMedia 

Penulis agak heran loch ketika kasus anak2 terkena demam smackdown,
gejalanya begitu merambat luas di banyak daerah. Korban2 banyak berjatuhan
yang "memaksa" stasiun tv penayang akhirnya menyetop tayangan gulat bebas
bo'ongan ini. Akhir2 ini dalam beberapa program berita tv tengah mewabah
kabar para guru memberi "hukuman" kepada anak didiknya, entah itu dengan
alasan si murid kagak sopan, tidak disiplin, atau bahkan karena murid tidak
mengerjakan pr-nya. Lalu mahasiswa2 di beberapa perguruan tinggi juga
belakangan ini kerap ditayangkan tengah berantem di halaman kampusnya
sendiri. Heran, kok bisa serentak gitu yach trend-nya ?

Yang juga menarik adalah kasus Tukul yang kena protes anak2 SD gara2 sering
cipika cipiki dengan bintang tamu khususnya kaum wanita. Disebuah milis ada
member yang menimpali begini : "Aneh, kok kecil2 mereka bisa berkomentar
seperti itu ?". Dan anda mungkin akan terperangah ( atau mungkin malah
terbiasa ? ) bila tiba2 si kecil dapat menirukan jargon2 khas ala Tukul,
seperti : katro, wong ndeso, sampai kutukupret.

Penulis bukan hendak memperpanjang soal diatas, namun hendak menekankan
bahwa begitu besarnya pengaruh media (tv) bagi anak-anak. Beberapa stasiun
tv kadang memasang logo bahwa tayangan tersebut berkategori BO alias
"Bimbingan orangtua", tetapi sampai sebegitu ketatnyakah orangtua bisa
menyensor hari demi hari dan jam demi jam mengenai apa yang disaksikan anak2
lewat media audio visual tersebut ? 

Televisi bisa diibaratkan sebagai pedang bermata dua. Dalam program2 berita
yang ditayangkan, terlihat mereka terkesan (sok?) moralis mengomentari carut
marutnya wajah perilaku pejabat publik negeri ini, namun disisi lain mereka
pun tidak mau "mengorbankan" diri untuk menayangkan program2 yang
mencerdaskan pemirsanya karena menurut "petunjuk" rating, hal tersebut tidak
menarik minat pemasang iklan. Realitanya lihat saja, sebagai salah satu
contoh : TPI yang dulunya menyandang misi sebagai "Televisi Pendidikan
Indonesia" kini format programnya bagaimana menurut anda ? 

 

 

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to