Sukses Dari Memberi Dengan Tulus

 

Memberi dan memberi dapat sangat berbeda arti. Maksudnya dalam arti
konotatifnya. Ada yang memberi pertama-tama demi diri sendiri. Atau memberi
demi liyan (orang lain) yang ujung-ujungnya juga pasti akan menguntungkan
sendiri juga.

 

Memberi untuk sendiri.

 

Pada umumnya orang lebih fokus mengejar kepentingan pribadi semata-mata. Ini
wajar saja dan tidak ada yang salah dengan itu. Untuk mengejar kepentingan
pribadinya orang bersedia banyak berkorban. Korban tenaga, perhatian dan
waktu. Semuanya dikonversi ke dalam bentuk "akumulasi energi" yang
dikeluarkan untuk itu. Hal ini dinamakan "cathexis" dalam bahasa Yunani.
Akar katanya berarti "mengikat". Energi yang telah dikeluarkan "diikat" pada
obyek yang dijadikan fokus atau target sasaran. Ibarat besi lunak yang
dililit kawat yang dialiri energi listrik. Besi lunak itu kemudian bersifat
seperti sebatang magnit yang penuh daya tarik. Yang ahli menjadi semakin
ahli karena "magnit cathexis" itu. Yang bodoh, apa yang ada di memorinya
akhirnya musnah dan terlupakan juga.

 

Minimal untuk urusan pendidikan orang bergiat untuk kepentingan diri
sendiri. Ia mengejar keahlian dalam bidang ilmu tertentu demi kepentingan
applikasi bagi dirinya sendiri. Demikian juga bila ia mengejar kemampuan
ketrampilan khusus tertentu lainnya. Entah itu seni tari, musik, bela diri,
sport, hobby, sastra, drama, metafisik dan sebagainya.

 

Memberi untuk sendiri juga seringkali salah kaprah. Kok bisa begitu? Tentu
bisa saja. Misalnya, tubuh kita membutuhkan energi dari makanan yang kita
konsumsi. Benarkah yang dimakan itu telah dan selalu sesuai yang dibutuhkan
oleh tubuh itu sendiri? Ada yang misalnya tidak suka makanan sayur hijau.
Apalagi yang rasanya pahit. Sawi pahit, misalnya, atau daun pepaya, atau
buah pare. Boro-boro mau minum rebusan brotowali atau kulit kina. Empedu
setiap orang membutuhkan zat pahit supaya dapat berfungsi untuk
menghancurkan lemak. Bila tidak pernah ada asupan zat pahit dari apa yang
dimakan pasti akan terjadi defisit zat pahit. Akibatnya, empedu terganggu
fungsinya dan terpaksa makan obat kimia yang mengandung zat pahit seperti
"cholagogum" atau sejenis.

 

Tubuh kita membutuhkan lemak tetapi tidak sebanyak yang kita konsumsi. Kita
melahap makanan serba goreng-gorengan. Akibatnya kholesterol meningkat dan
tubuh mengembang bergelambir oleh lemak jenuh. Kita membutuhkan hidrat arang
tetapi kalau kurang gerak maka menumpuk menjadi gula. Akibatnya bisa
mengidap diabetes karena kelebihan zat gula. Lalu apakah benar kita memberi
kepada diri sendiri apa yang tubuh butuhkan. Ternyata tidak. Artinya, kita
bisa egois juga kepada diri kita sendiri sekalipun. 

 

Banyak merokok dan minum alkohol, misalnya, bukan hanya merusak paru-paru
atau lever tetapi juga merusak otak. Kok bisa begitu?

 

Semakin banyak merokok, semakin banyak oksigen diikat oleh nikotin.
Akibatnya, otak kekurangan oksigen karena terlanjur dirampok oleh nikotin di
tengah jalan. Kalau otak kekurangan oksigen maka daya pikir lamban dan
berkurang.

 

Banyak menenggak alkohol membuat lever kerja ekstra keras. Untuk
menetralisir satu sloki alkohol dibutuhkan kerja rodi lever lebih dari 8
jam. Lalu bagaimana kalau menenggak setengah lusin arak Cap Tikus? Berapa
banyak waktu dibutuhkan dan berapa banyak alkohol tersisa tak teruraikan
oleh lever dan kemudian akhirnya oleh ginjal?  Belum lagi kerusakan organ
kesetimbangan di telinga/otak dan kerusakan fungsi bahasa di korteks
sehingga omongannya mulai menceracau tidak keruan.

 

Tubuh kita membutuhkan olahraga supaya otot tidak mengecil dan mengerut.
Tetapi kita lebih suka bersantai dengan duduk atau rebahan. Kita tidak lagi
menjadi 'homo ambulans" (pejalan) karena lebih nikmat menjadi "homo
sedenter" (duduk).  Atau tubuh memerlukan air yang banyak karena 70 persen
lebih organ tubuh mengandung air tetapi kita hanya minum sehabis makan saja.
Akibatnya, fungsi ginjal terganggu karena kekurangan air dan akhirnya
sedimentasi meningkat di dalamnya. Salah-salah akhirnya terbentuk batu
ginjal.

 

Sebagai makhluk sosial kita juga membutuhkan sosialisasi dan pertemanan.
Namun, dalam banyak kejadian bahkan dalam pertemanan orang lebih
mementingkan dirinya sendiri. Pongah dan pamer kehebatan diri sendiri.
Dengan orang yang suka mencaci, menghina, meremehkan orang lain, terlebih di
muka publik, siapa pula ingin bersosialisasi dengannya. Mungkin ia mempunyai
seribu alasan untuk meremehkan orang lain tetapi mana ada orang yang mau
diremehkan? Mungkin ia merasa sangat pintar dan hebat sehingga semua orang
dianggap moron atau imbesil di matanya. Karena itu ia menuntut orang lain
supaya bungkem saja kalau otaknya hanya berisi tahu air atau cincau.
Sedangkan dirinya sendiri hanya mau berbagi kalau dirasakannya bakal
menguntungkan atau mengharumkan namanya saja. Maka dari itu ia lebih banyak
mencaci tinimbang berbagi.

 

Memberi untuk orang lain.

 

Kerap orang bermegah diri saat ia memberi untuk orang lain. Kalau perlu
mengundang reporter TV supaya disorot kamera. Padahal sebenarnya ia hanya
memberi untuk dirinya sendiri justru dengan memanfaatkan orang lain.

 

Memberi kepada orang lain harus memenuhi beberapa prasyarat.

 

Pertama, pemberian itu harus tulus. Tidak ada orang yang mau menerima
pemberian yang tidak tulus kecuali sangat terpaksa. Pemberian yang tidak
tulus juga menjadi beban bagi pemberinya sendiri. Ia sibuk berhitung-hitung
berapa kerugian energi yang telah dideritanya.

 

Kedua, pemberian yang tulus harus mulai dari kebutuhan nyata dari liyan.
Misalnya, saya tidak bisa dan tidak suka main golf. Kalau seorang boss
memberi saya seperangkat komplit stick golf yang harganya jutaan, maka saya
juga tidak akan merasa senang, berterima kasih, atau bakal memanfaatkan
pemberian tersebut. Mungkin ada yang berkata saya tak tahu terima kasih
karena harganya jutaan rupiah dan diberikan dengan senang hati. Tetapi
apalah daya karena saya memang tidak membutuhkannya sama sekali, boro-boro
lagi untuk dianggap hobby.

 

Ketiga, semua orang membutuhkan empati. Tidak ada manusia yang tidak butuh
empati. Mungkin ia tidak butuh simpati tetapi tetap menghargai settiap
empati yang bisa diperolehnya atau ditawarkan kepadanya.

 

Pemberian yang tidak tulus tidak mungkin pula bersifat empatik. Pemberian
yang tidak sesuai kebutuhan tentu pula tidak berdasarkan empati yang
memadai. Misalnya, saya tidak butuh kemeja berlengan panjang dan dasi, maka
pemberian seperti ini walaupun jumlahnya lusinan tetap akan menumpuk saja di
lemari pakaian saya atau akhirnya dikarduskan untuk disumbangkan ke panti
sosial atau apa.

 

Dalam bisnis juga demikian. Kebanyakan orang berorientasi kepada produksi
dan produk yang ingin ditawarkannya. Kebanyakannya latah karena malas
berpikir atau kurang kemampuan kreatifnya.  Jarang sekali ada pengusaha yang
menawarkan produk yang sungguh-sungguh dibutuhkan oleh masyarakat dengan
melakukan penelitian pasar terlebih dahulu.  Handphone "dual function" yang
bisa untuk GSM dan CDMA merupakan produk yang diduhului oleh riset pasar.
Orang merasa berabe mengantongi dua atau tiga handphone sekaligus. Maka
kalau ada produk yang dual function maka pasti disukai konsumen walaupun
masih tergantung kepada daya belinya juga. Begitu pula produk i-pod dan
flash disc, semuanya berdasarkan riset pasar yang benar-benar lihay.

 

Dalam manajamen jarang ada pimpinan yang memperhatikan keinginan dan
kebutuhan nyata karyawannya. Terutama perusahaan yang berangkat atau
bertahan dalam posisi perusahaan keluarga. Perusahaan tempat anak saya
bekerja, misalnya, tidak libur pada hari Sabtu padahal hampir semua
perusahaan kini libur pada hari Sabtu. Demikian pula cuti karyawan tidak
pernah diizinkan padahal sudah merupakan hak normatif karyawan. Bila
karyawan harus tidak bekerja karena keperluan apapun maka upahnya langsung
dipotong saja. Motto yang berlaku ialah kalau masih betah silahkan tinggal.
Kalau merasa tidak cocok silahkan hengkang. Karyawan diperlakukan tidak
lebih berharga daripada sebuah sekrup atau maksimal suku cadang. Ini
diperburuk oleh situasi tingkat pengangguran yang sangat tinggi di negeri
ini. Kilah mereka, satu karyawan keluar sudah tersedia seribu yang antri
untuk menggantikan posisinya. Inilah manajemen yang tidak berbasis nurani.

 

Kesimpulan, sukses dalam hidup ini timbul dari sikap dan perilaku altruis
yang memberi pelayanan kepada pihak lain sesuai dengan kebutuhan nyata
mereka dan diberikan dengan tulus hati dan empatik. Konsekuensi dari prinsip
hidup ini antara lain pasti mendatangkan sukses. Entah sukses itu harus
berarti sukses bisnis, pergaulan, maupun secara lebih internal dan dalam
bentuk kepuasan pribadi pada pihak pemberinya.

Jakarta, 19 Mei 2007.

Mang Iyus

 

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke