* Tommy Diduga Cuci Uang Koran Tempo - Rabu, 23 Mei 2007
JAKARTA -- Kepolisian menyatakan aliran dana Tommy Soeharto patut diduga sebagai tindak pencucian uang. Kepolisian akan menyelidiki asal-usul uang tersebut. "Meskipun di media massa disebutkan bahwa mekanisme aliran dananya seperti itu (dari perusahaan Tommy ke BNP Paribas), patut diduga kalau itu adalah money laundering," kata Direktur II Bidang Ekonomi Khusus Kepolisian RI Wenny Warouw dalam rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah di Jakarta kemarin. Dalam rapat kerja yang membahas Rancangan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang itu Wenny juga menyatakan polisi sudah mempersiapkan penyelidikan kasus ini. "Rencana penyelidikan sudah kami paparkan kepada Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri," katanya. Menurut Wenny, dugaan awal itu didapat setelah beberapa pekan lalu kepolisian menerima laporan transaksi keuangan mencurigakan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Polisi akan menyelidiki aliran dana Tommy dari BNP Paribas, termasuk bank-bank yang mengalirkan dana itu. "Tugas kami menyelidiki asal uang itu dan berapa sisa yang masih ada di luar negeri," ujarnya. Terkait dengan dana Tommy di BNP Paribas cabang Guernsey, Kejaksaan Agung tengah mempersiapkan sejumlah bukti yang menyatakan bahwa uang itu adalah hasil korupsi. Dengan bukti-bukti itu, kejaksaan berharap dapat membekukan dana 36 juta euro (Rp 421 miliar). Dalam persidangan hari ini, pengadilan Gurnsey akan memutuskan berlanjut-tidaknya pembekuan dana itu. Pengadilan juga akan memutuskan permohonan pengungkapan asal-usul dana Tommy di BNP Paribas Guernsey tersebut. Bukti yang dipakai kejaksaan di antaranya dugaan korupsi dalam tata niaga cengkeh Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dibentuk oleh Soeharto pada 1992. Selain ada Tommy yang datang dengan bendera PT Kembang Cengkeh Nasional, dalam BPPC ada Induk Koperasi Unit Desa (Inkud) dan PT Kerta Niaga (badan usaha milik negara). Kejaksaan melihat adanya pelanggaran dalam penggunaan kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI) Rp 175 miliar untuk BPPC. "Dalam ketentuannya, pinjaman lunak dari KLBI harus digunakan untuk membeli cengkeh langsung dari petani guna meningkatkan taraf hidup petani," kata juru bicara Kejaksaan Agung, Salman Maryadi, kemarin. Kenyataannya, menurut Salman, bukan itu yang dilakukan oleh BPPC. Namun, Salman tak menjelaskan secara terperinci penyimpangan BPPC. Badan itu bahkan diduga masih nombok Rp 1,9 triliun kepada petani. Kuasa hukum Tommy Soeharto, Otto Cornelis Kaligis, mengatakan kasus ini tidak bisa menjadi bukti dalam sidang di Guernsey karena tidak ada orang yang Iterlibat kasus ini yang terbukti korupsi. "Bagaimana BPPC dipakai sebagai bukti korupsi kalau dulu Nurdin Halid (mantan Direktur Utama Inkud) bebas?" kata Kaligis di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, kemarin. Selain itu, kata Kaligis, bukti bahwa Tommy tidak terlibat korupsi adalah bisa dicairkannya dana di BNP Paribas cabang London sekitar Rp 90 miliar. "Itu bukti bahwa Paribas mengakui uang itu milik Tommy, bukan uang negara Republik Indonesia," ujarnya. DESY PAKPAHAN | FANNY FEBIANA | RINI KUSTIANI Sumber: Koran Tempo - Rabu, 23 Mei 2007 ========================== http://www.fajar.co.id/news.php?newsid=35654 * Kasus BPPC Dibuka Lagi (22 May 2007, 220 x , Komentar) *Kejakgung Segera Panggil Nurdin Halid dan Tommy JAKARTA - Setelah hampir sepuluh tahun terpendam, kasus dugaan penyalahgunaan tata niaga cengkeh oleh Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) akan dibuka lagi Kejaksaan Agung. Kasus yang terjadi antara tahun 1992 hingga 1998 itu bakal menyeret kembali Nurdin Halid, mantan direktur utama Puskud Hasanuddin dan putra kesayangan mantan Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto.Rencana akan dimulainya penyidikan ini, terungkap setelah kejakgung mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik) pada 7 Mei lalu. "Sprindiknya sudah dikeluarkan sebelum tim jaksa berangkat ke Guernsey. Kalau nggak Senin sore (7 Mei), ya Selasa (8 Mei)," kata Direktur Penyidikan Kejakgung M Salim saat ditemui sebelum mengikuti rapat dengan Jaksa Agung Hendarman Supandji di gedung Kejakgung, malam tadi. Dari catatan koran ini, kasus BPPC sebenarnya pernah disidik kejaksaan pada 2000 silam. Ini didasarkan sprindik No Print- 135/F/F.2.1/11/2000, yang dikeluarkan pada 16 November 2000. Kejakgung memang tak pernah mengumumkan sprindik tersebut. Meski demikian, informasi sprindik tersebut termuat dalam bahan tertulis jaksa agung dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi Hukum DPR pada 18 Juni 2001. Dalam sprindik tersebut, mantan Presiden Soeharto ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus BPPC setelah terindikasi melakukan perbuatan melawan hukum saat menerbitkan Keppres No 20 Tahun 1992 dan Inpres No 1 Tahun 1992 yang memberikan kemudahan monopoli pembelian cengkeh oleh BPPC. Sayangnya, kelanjutan penyidikan kasus BPPC kala itu "tenggelam" seiring pergantian beberapa jaksa agung. Dalam penjelasannya kemarin, Salim sama sekali tidak menyinggung sprindik yang dikeluarkan pada 2000 silam. Salim hanya menjelaskan, penerbitan sprindik pada 7 Mei 2007, didasarkan hasil penyelidikan tim jaksa. Salim juga tak menyebut tahun penyelidikan kasus tersebut. Yang jelas, kasus tersebut pernah diselidiki tim gabungan pemberantasan tindak pidana korupsi (TGTPK) pada 2000 silam. "Ini pernah ditangani kejaksaan melalui TGTPK," tegas Salim. Tim jaksa yang lama telah menyerahkan laporan yang akan ditindaklanjuti tim baru beranggotakan Djoko Widodo, Sahat Sihombing, Baringin Sianturi, Yusfidli, dan Susdiarto. Salim mengatakan, tim jaksa menemukan indikasi kuat terjadinya tindak pidana korupsi. Di antaranya, ada persyaratan yang tidak dilaksanakan terkait Keppres No 20/1992 jo Inpres No 1/1992 tentang Pembentukan BPPC. "Ada ketentuan yang disalahgunakan," kata Salim. Ditanya kapan terjadinya kasus BPPC, Salim menolak menjawab detail. "Pokoknya di bawah 1999," jelas mantan wakil kepala Kejati Jawa Tengah ini. Dia juga menjawab, kasus tersebut bakal dijerat menggunakan undang-undang pemberantasan korupsi yang lama, UU No 3 Tahun 1971. Menurut Salim, kejaksaan berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menentukan nilai kerugian negara. "Kami menaksir nilainya miliaran rupiah," jelas Salim. Salim menambahkan, saat ini, tim jaksa mendalami temuan korupsi dalam kasus BPPC. "Malam ini (kemarin) akan dirumuskan peran beberapa pihak yang terlibat. Kami juga akan melapor ke jaksa agung," beber Salim. Tim jaksa merasa optimistis, tidak kehilangan barang bukti, mengingat kasus tersebut diselidiki tujuh tahun silam. Soal nama-nama yang akan dipanggil, lanjut Salim, kejaksaan masih menyusun jadwal pemeriksaan. Tim jaksa akan memanggil beberapa nama yang diduga terlibat, termasuk Tommy dan Nurdin Halid, mantan direktur utama Puskud Hasanuddin dan mantan dirut Inkud. "Siapapun akan kami panggil," tegas jaksa senior ini. Ditanya penyidikan kasus BPPC terkait persidangan kasus Tommy di Guernsey, Salim tidak membantah. "Kalau dikait-kaitkan, boleh-boleh saja," jawab Salim. Yang pasti, kejaksaan berpegang pada hasil penyelidikan yang dilaksanakan bersama TGTPK. Menurut Salim, kejaksaan sengaja mendahulukan penyidikan kasus BPPC di banding kasus program mobil nasional (mobnas) PT Timor Putra Nasional (TPN). Alasannya, kasus BPPC paling cepat pembuktiannya. "Soal siapa tersangkanya, kami belum menetapkannya. Kami masih mendalaminya," kata Salim. Terpisah, Direktur Perdata Kejakgung Yoseph Suardi Sabda mengatakan, berkas penyidikan kasus BPPC dibeber dalam persidangan di Guernsey. "Untuk memperkuat kasus BPPC, kami menyertakan laporan ICW (Indonesian Corruption Watch) mengenai kerugian negara atas peran Tommy dalam mengelola BPPC," jelas Yoseph. Selain itu, lanjut Yoseph, kejaksaan selaku kuasa pemerintah RI memasukkan surat perintah penyelidikan (sprinlid) kasus TPN untuk memperkuat alat bukti bahwa Tommy masih terlibat kasus pidana di kejaksaan. "Ini sekaligus menanggapi surat Menkumham Hamid Awaluddin 5 April 2005 yang menyatakan Tommy tidak terlibat perkara apapun di Indonesia," jelas Yoseph. Menurut Yoseph, kubu Tommy tidak dapat menjadikan surat Hamid untuk menyatakan bebas berperkara, mengingat Depkumham bukan lembaga penyidikan. "Hakim di Guernsey sendiri menanyakan apakah Hamid masih menjabat menteri atau tidak. Rupanya, hakimnya juga mengikuti perkembangan reshuffle kabinet," jelas jaksa berkaca mata tebal ini. Terpisah, Koordinator Badan Pekerja (BP) ICW Teten Masduki pernah menyurati jaksa agung pada 26 Maret lalu, agar kejaksaan memproses hukum kasus BPPC. Dalam surat bernomor SK/BP/ICW/III/2007, Teten melaporkan temuan ICW pada 2000 silam tentang dugaan penyelewengan kekuasaan dalam tata niaga cengkeh oleh BPPC. "Ini merupakan satu kasus yang dapat ditindaklanjuti," kata Teten. Dalam suratnya, Tetep menuliskan, kronologis kasus BPPC. Dia mengawali sejarah pembentukan BPPC sebagai badan yang dibentuk berdasarkan Keppres No 20/1992 jo Inpres No 1/1992. Dari dua aturan tersebut, mantan Presiden Soeharto telah memberikan monopoli penuh kepada BPPC untuk membeli dan menjual hasil produksi cengkeh dari petani. Seluruh hasil produksi cengkeh oleh petani harus dibeli oleh BPPC dengan harga yang telah ditentukan, sedangkan Pabrik Rokok Kretek (PRK) harus membeli cengkeh dari BPPC dengan harga yang telah ditentukan juga. BPPC sendiri didalamnya terdiri dari berbagai unsur, yakni Inkud dari unsur koperasi, PT Kerta Niaga dari unsur BUMN dan unsur swasta melalui PT Kembang Cengkeh Nasional yang merupakan perusahaan milik Tommy. Tommy sendiri berstatus sebagai pimpinan BPPC. Dari hak monopoli tersebut, BPPC diperkirakan mengeruk keuntungan Rp 1,4 triliun. Terhitung sejak dibubarkannya pada 1998, BPPC masih menyisakan kewajiban-kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dana- dana milik dan hak petani cengkeh selama tata niaga cengkeh berlangsung, yakni sumbangan diversifikasi tanaman cengkeh (SDTC) Rp 67 miliar, sumbangan wajib khusus petani (SWKP) Rp 670 miliar, dana konversi Rp 74 miliar dan dana penyertaan modal (DPM) Rp 1,1 triliun yang keseluruhannya dipungut dari petani cengkeh dan pabrik rokok cengkeh. (agm ============= * Tommy's defeat a sure thing, AG's office says National News - Tuesday, May 22, 2007 The Jakarta Post, Jakarta The Attorney General's Office (AGO) is confident a Guernsey court will grant full disclosure and an extension of a freezing order on the allegedly ill-gotten funds of former president Soeharto's son Hutomo "Tommy" Mandala Putra. "I'm hoping we'll win. Let's see Thursday, they have impartial judges there," said Yosef Suardi Sabda, the AGO's civilian case director for state administrative cases, on Monday. The British Royal Court in Guernsey, a British crown dependency off the northern French coast, will decide Wednesday on the government's request for a full disclosure of the case and a freezing order extension on US$46 million belonging to Tommy, which is being held at the Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas in Guernsey. The requests -- a form of legal intervention -- came after the bank refused to release the money, citing the possibility that it was obtained through graft. Tommy's Garnet Investment Ltd., the company the money was deposited on behalf of, then brought the bank to trial seeking the money's release. The AGO said it had submitted documents asserting that the money -- claimed by Tommy to have been collected through the sale of his shares in automotive company Lamborghini -- was in fact laundered. The AGO believes the funds were part of a sum collected through illegitimate means during the reign of Tommy's father, Soeharto, in an era spanning three decades when corruption practices were rife. "If the government wins, we can withdraw the money through legal and civil avenues. The civil avenue can be worked out in either Indonesia or Guernsey, while the legal one is by demanding funds to substitute the state's loss," Yosef was quoted as saying by detik.com news portal. Full disclosure of the case would mean that the court will expose the origin and flow of the funds in question, which have been frozen since Jan. 22. Tommy's head legal representative for the Guernsey trial, O.C. Kaligis, said he had prepared 800 pages of documents stating that the funds were legitimate and free from corruption. The case surfaced in the wake of the disclosure of another case involving Tommy and $10 million that he withdrew from BNP Paribas in London using a government account at the Justice and Human Rights Ministry's Directorate General of General Legal Administration. The money, withdrawn in February 2005, is claimed to belong to another of Tommy's companies, Motorbike Corp. The withdrawal was cleared with the alleged approval of Yusril Ihza Mahendra and Hamid Awaluddin. Yusril was justice and human rights minister when the request for clearance from BNP Paribas was made. He authorized the transfer, but was replaced by Hamid just prior to the withdrawal taking place. Both were recently dismissed in last week's Cabinet reshuffle. Legal experts have insisted that the use of a government account for private means constitutes money laundering and violates the 2003 UN anti-corruption convention and the 2003 money laundering law. ============= * Police hunt Tommy's illegal fortune National News - Wednesday, May 23, 2007 Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post, Jakarta Paralleling an investigation by the Attorney General's Office, the National Police are assuming a proactive role in tracking down the assets of Hutomo "Tommy" Mandala Putra believed to have been derived from money laundering. Deputy chief of National Police Comr. Gen. Makbul Padmanegara said Tuesday the police were investigating the assets of the youngest son of former president Soeharto, which are being held in several companies, including his overseas-based Motorbike Corp. "The police will continue hunting for Tommy's illegal assets, including the 36 million euros he allegedly laundered by depositing the funds in the Bank Nationale de Paris Paribas in London," Makbul told a Regional Representatives Council (DPD) hearing here. "We are investigating where he obtained the money from. We are also still looking for supporting evidence from a number of companies in which the money had allegedly been invested," he said. While the National Police have just recently initiated their investigation, the AGO has been intensively investigating the matter under the leadership of the then-attorney general Abdul Rahman Saleh. The office said recently it was also investigating alleged corruption in connection with Tommy's role in the liquidated Clove Marketing and Buffer Agency (BPPC) and the now-dissolved PT Timor Putra National. Tommy, 44, got an early release from prison in October 2006 after serving only one third of a 15-year jail term for ordering the July 2001 murder of a Supreme Court justice. Former state secretary Yusril Ihza Mahendra and former minister of justice and human rights affairs Hamid Awaluddin were recently sacked from the cabinet partly because of their alleged role in helping Tommy withdraw the money from the French bank. Makbul called on the Financial Transaction Reports and Analysis Center (PPATK) to speed up its investigation into Tommy's assets and hand over its findings to the police so they could follow them up in accordance with the law. He also called on the DPD and the House of Representatives to clarify the roles of PPATK and the police in their deliberation of the bill on money laundering in order to avoid overlapping investigations into money laundering cases. "To us, PPATK has the authority to carry out preliminary investigations into money laundering cases, while the official investigations into such cases should be left for law enforcers, including the police and the Attorney General's Office," he said. =================== * Indonesian police hunt Tommy Soeharto's illegal fortune May 23, 2007, People's Daily Online --- http://english.people.com.cn/ Paralleling an investigation by the Attorney General's Office, the Indonesian Police are assuming a proactive role in tracking down the assets of Tommy Soeharto believed to have been derived from money laundering, local press reported Wednesday. The police were investigating the assets of the youngest son of former President Soeharto, which are being held in several companies, including his overseas-based Motorbike Corp., English daily The Jakarta Post reported. "The police will continue hunting for Tommy's illegal assets, including 36 million euros he allegedly laundered by depositing the funds in the Bank Nationale de Paris Paribas in London," deputy chief of National Police Comr. Gen. Makbul Padmanegara was quoted as saying. "We are investigating where he obtained the money from. We are also still looking for supporting evidence from a number of companies in which the money had allegedly been invested," he said. Tommy, 44, got an early release from prison in October 2006 after serving only one third of a 15-year jail term for ordering the July 2001 murder of a Supreme Court justice. Makbul urged the Financial Transaction Reports and Analysis Center (PPATK), the country's anti-money laundering agency, to speed up its investigation into Tommy's assets and hand over its findings to the police so they could follow them up in accordance with the law. "To us, PPATK has the authority to carry out preliminary investigations into money laundering cases, while the official investigations into such cases should be left for law enforcers, including the police and the Attorney General's Office," he said. Source: Xinhua People's Daily Online --- http://english.people.com.cn/ [Non-text portions of this message have been removed]