Dari milis sebelah. Apa rasanya bila hal ini terjadi pada rumah kita...

 

Halo,

Kita dengar di surat kabar ada sengketa tanah di Meruya. Konon ada PT.
Portanigra yang membeli tanah itu dari orang bernama Haji Jusri seharga Rp.
300
rupiah per meter persegi. 


Jusri kemudian menjual tanah yang sama, dengan instruksi camat, ke berbagai
pihak lain dengan harga Rp. 200 rupiah per meter persegi. Ini sekitar tahun
1970.

Lalu PT ini kemudian menuntut kalau tanah itu milik mereka.

Tapi dia menuntutnya tidak cepat cepat. Masalahnya sudah ada sejak tahun
1974,
tapi mereka menuntut mulai tahun 1984. Meskipun kalah bolak balik di
pengadilan
negri dan pengadilan tinggi, akhirnya PT ini menang di pengadilan MA tanggal
1997.

Tahun 2007 kemudian turun surat eksekusi.

Antara tahun 1974 dan tahun 2007 tanah itu sudah berpindah tangan beberapa
kali.
Sudah ada 5300 kepala keluarga di situ. Mayoritas keluarga di situ sudah
memiliki SERTIFIKAT TANAH. Sampai saat ini, saya tidak tahu apakah PT.
Portanigra memiliki surat girik atau malah tidak ada sama sekali. Menurut
 <http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=293419&kat_id=286>
http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=293419&kat_id=286 PT ini
mengantongi hak tanah saja tidak. Mereka hanya mengantongi kuitansi sudah
membayar untuk tanah.

Gubernur Sutiyoso di
<http://www.beritajakarta.com/english/NewsView.asp?ID=6199>
http://www.beritajakarta.com/english/NewsView.asp?ID=6199
berjanji akan melindungi kepentingan warga. Gubernur juga menegaskan bahwa
dia
tidak pernah mengirim polisi untuk mengeksekusi tanah. Sekarang ini saya
dengar
ada beberapa tanah kosong yang sudah dipasangi pagar.

Ini sebetulnya bisa jadi ilegal. Di dalam negara hukum yang berhak melakukan
tindak kekerasan diluar bela diri hanyalah aparat yang berwenang. Itu
seharusnya
termasuk merebut tanah orang. Pagar yang sudah dipatok oleh PT. Portanigra
ini
bisa jadi sah untuk dicabut kembali oleh warga pemilik tanah. Lagi pula,
proses
hukumnya belum selesai. Gubernur Sutiyoso sendiri dan banyak anggota DPRD
sekarang masih mengajukan gugatan ulang. Masak sertifikat kalah dengan
girik.
Ini girik saja tidak punya. Kepastian hukum tanah kita bagaimana?

Akan tetapi PT. Portanigra ini tidak mau menyerah.

Pengacara PT. Portanigra bilang kalau mereka "hanya" akan mengeksekusi tanah
kosong yang sertifikatnya dibuat sesudah 1997 terlebih dahulu dan kemudian
berkompromi dengan yang lain. Banyak orang karena tanahnya tidak kosong dan
sertifikatnya dibuat sebelum 1997 memilih untuk diam, tidak meributkan
masalah .
Ini akan amat berbahaya. Menurut saya ini taktik pecah belah.

Meskipun tanah yang dimiliki tidak kosong dan meskipun sertifikat yang
dimiliki
dibuat sebelum 1997, pemilik tetap harus bersatu membela orang orang yang
akan
dieksekusi. Apabila eksekusi tanah berhasil, nanti PT tersebut pasti akan
berusaha merebut tanah tanah yang lainnya. Pada saat itu orang yang tanahnya
sudah tereksekusi sudah tidak bisa menolong lagi. Ini akan melemahkan posisi
pemilik tanah yang lain waktu "kompromi". Lagipula pemilik tanah yang lain
membeli dengan harga pasar. Mengapa harus membayar lagi ke PT. Portanigra.
Apabila sebelum warga membeli sudah ada masalah ya itu masalah antara PT.
Portanigra dan Haji Jusri. Tidak ada sangkut pautnya dengan warga yang
sekarang.

Lagi pula, seluruh pemilik sertifikat tanah yang sudah ada sekarang sudah
membayar tanah tersebut dengan harga pasar yang adil dan sudah mendapatkan
sertifikat secara sah. Apabila orang sudah mengantungi sertifikat tanah
masih
bisa juga direbut tanahnya karena kasus 30 tahun silam, harga tanah di
seluruh
Indonesia bisa turun. Ini akan membawa konsekuensi jelek dari seluruh
pemilik
tanah di Indonesia.

Apabila betul ada penipuan antara H. Jusri dan PT. Portanigra, sesuatu yang
saya
sendiri tidak tahu jelasnya, ya seharusnya itu urusan PT. Portanigra dengan
H.
Jusri. PT. Portanigra bisa menuntut Jusri untuk mengembalikan Rp. 300/ meter
persegi yang dikeluarkannya dulu misalnya, sesudah memperhitungkan bunga
bank.
Apabila bunga bank 16% per tahun (waktu jaman Suharto), maka sesudah 30
tahun,
300 rupiah itu sudah Rp. 25,000.00. Belum lagi apabila kita memperhitungkan
bunga bank waktu krisis ekonomi tahun 1998 yang bisa 100%. Saya kira uang
300
rupiah 30 tahun lalu harganya mungkin sudah tidak terlalu jauh lagi dari
harga
tanah per meter persegi yang sekarang.

Yang pasti, warga yang sudah memiliki sertifikat dan sudah membeli tanah
dengan
harga pasar tidak boleh dirugikan. Apabila orang yang sudah memiliki
sertifikat
masih bisa juga dirampas haknya di negeri ini, kredibilitas pemerintah akan
turun drastis.

Kita harus bersatu. Forum tentang masalah ini sudah tersedia di
 <http://indorealestates.com/index.php/topic,59.0.html>
http://indorealestates.com/index.php/topic,59.0.html . Tolong sumbangkan
saran,
opini, dan dukungan anda di forum tersebut supaya kita bisa menyatukan
pendapat.
Tolong sebarkan ini ke sebanyak mungkin orang Indonesia. Ini negara kita.
Ini
urusan kita.





[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke