Bang Adang, Polisi Reformis

Biografi Bang Adang


Drs. Adang Daradjatun, profil ini pernah dikenal masyarakat luas, sebagai
Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (16 Juli 2004). Sebagai
mantan sosok orang nomor dua di jajaran Kepolisian Negara Republik
Indonesia, akan cukup menarik menyimak bagaimana perjalanan karir yang ia
lalui sampai kemudian bisa mencapai pada posisinya tersebut. Berikut adalah
riwayat perjalanan karir Bang Adang yang kini merentas jalan menjadi Calon
Gubernur DKI Jakarta.

Cita-cita awal yang akhirnya tercapai 

Pangkatnya adalah Komisaris Jenderal Polisi, jabatan terakhir yang beliau
emban adalah Wakapolri. Drs. H. Adang Daradjatun, yang dilahirkan di Bogor
13 Mei 1949 ini sudah akrab dengan dunia hukum sejak dini. Karena Ayah
beliau adalah seorang yang juga berkecimpung di dalam dunia hukum, yaitu
sebagai Jaksa. Meski semula, cerita Drs. Adang, Ayahnya menginginkan dirinya
untuk menjadi dokter, insinyur dan cita-cita kebanyakan orang tua jaman dulu
pada umumnya. Namun, Adang tetap bersikukuh pada keyakinannya, kalau ia
ingin jadi polisi yang baik dan benar. 

Alhasil, Ayahnya pun tidak memaksa lagi, setamat SMA di Bandung, rencana
sang Ayah yang semula meminta Adang untuk masuk ITB atau UNPAD, urung,
karena Adang masuk ke Akademi Kepolisian. Ini terjadi tahun 1968 sampai tiga
tahun kemudian Adang berhasil menyelesaikan pendidikan AKABRI dan tahun 1971
pangkat Letda Polisi pun disandangnya. Sebelumnya, Adang menyelesaikan
pendidikan Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama di Jakarta. Ia
sempat masuk ke SMA 1 Budi Utomo Jakarta, namun tidak selesai karena
penugasan sang Ayah ke Bandung, kemudian Adang menyelesaikan pendidikannya
di SMA 3 Bandung. Perjalanan karir

Tahun 1971, jabatan yang pertama kali ada di pundaknya adalah sebagai
Inspektur Dinas Komando Sektor Kota 711 Jakarta Pusat. Setahun berselang,
Drs. Adang diberi tanggung jawab untuk menjabat sebagai KASI Pengawasan
Keselamatan Negara (PKN) Komando Sektor Kota 711 Jakpus. 

Dari Jakarta Pusat, berpindah ke Jakarta Utara, yaitu pada tahun 1975, Drs.
Adang kembali diberi kepercayaan dan amanah untuk menjabat sebagai Kasi
Sabhara Komando Sektor Kota 722 Jakarta Utara. Tahun 1976, adalah untuk
pertama kalinya, Adang berada di balik Menhankam Pangab, jabatannya adalah
sebagai Ajudan.

Selepas tugas sebagai ajudan terselesaikan dengan baik, pada tahun 1980,
pangkat di pundak Adang sudah bertambah lagi, kini namanya dilengkapi gelar
atau pangkat Kapten Polisi. Drs. Adang ditugaskan untuk menjadi Kapolsek
Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Kemudian Adang bertutur-turut menjadi: 

*       KASUBBAG ANEV SRENA POLDA METRO JAYA TAHUN 1983. 
*       KAROOPS POLRES JAKSEL POLDA METRO JAYA TAHUN 1983.
*       WAKAPOLRES JAKSEL POLDA METRO JAYA TAHUN 1984.
*       KABAG SOSBUD DIT INTELIJEN DAN PENGAMANAN POLDA METRO JAYA TAHUN
1986. 
*       KABAG SOSPOL DIT INTELIJEN DAN PENGAMANAN POLRI TAHUN 1987. 
*       KABAG PENGAWASAN SENJATA API DAN BAHAN PELEDAK DIT INTELPAM POLRI
TAHUN 1989.
*       KADIT INTELIJEN DAN PENGAMAN POLDA MALUKU TAHUN 1990. 
*       WAKASUBDIT PENGAWASAN SENJATA API DAN BAHAN PELEDAK DIT INTELPAM
POLRI TAHUN 1992. 
*       INSTRUKTUR UTAMA / GADIK PERGURUAN TINGGI ILMU KEPOLISIAN TAHUN
1993. 
*       PERWIRA PEMBANTU III / PERENCANAAN PROGRAM DAN ANGGARAN SRENA POLRI
TAHUN 1994. 

Boleh dikatakan sejak permulaan tahun 1997 adalah catatan sejarah yang
membingkai tubuh Polri, di tahun inilah Polri resmi memisahkan diri dari
TNI. Saat itu, tahun 1997, Adang sudah menjadi Brigadir Jenderal Polisi. Dan
tugas serta tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya tidak mudah, karena
dirinya diberi amanah untuk menjadi Wakil Asisten Perencanaan dan Anggaran
Kapolri, tepatnya tanggal 1 April 1997 dan tiga bulan kemudian menjadi
Asisten Perencanaan dan Anggaran Kapolri, tepatnya 5 Juli 1997. 

Kemandirian POLRI dengan memisahkan diri dari TNI mendapatkan reaksi yang
sangat positif dari masyarakat. Masyarakat menganggap, selama ini POLRI ada
di bawah bayang-bayang TNI. Namun pada perjalannya kemudian tahun 2002, saat
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 disahkan, kemandirian POLRI dan
kesejahteraan institusi sangat terlihat jelas perbedaannya. Drs. Adang
menguraikan, misalnya saja untuk anggaran yang dikucurkan dari Pemerintah
melalui APBN teralokasikan untuk menunjang operasional Polri. "Mobil-mobil
patroli tidak tampil jelek lagi, bukan?" cetus Jenderal Adang, pria dengan
logat Sunda kental ini ketika menuturkan.

Jenderal yang berpembawaan ramah dan bersahaja ini menegaskan, bahwa visi
dan misi Polri sebagai pengayom dan pelindung masyarakat bukan sekedar
slogan semata, tetapi jelas pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari
oleh anggota polisi itu sendiri dan masyarakat.

Contohnya cerita Adang, dulu, ketika ia masih menjabat Kapten Polisi dan
menjadi Kapolsek di Kebayoran Lama, kedekatannya dengan masyarakat cukup
terpelihara dan intens berinteraksi. Ia tidak memposisikan dirinya terlalu
tinggi dan enggan menyapa masyarakat sekitar wilayah yang dikepalainya.
Bukan sekali dua kali, H. Adang, begitu ia biasa dipanggil oleh masyarakat
yang dulu mengenalnya dengan dekat, terutama warga Kebayoran Baru Jaksel -
duduk bareng dan ngopi bersama warga, menyapa bapak pedagang dan ibu-ibu di
pasar. Semua keakraban itu menjadi kenangan dan kesan tersendiri bagi Adang,
bahwa Polisi seharusnya memang menjadi sosok yang disegani, bukan ditakuti.

Lantas, mengapa tertarik menjadi polisi? Pertanyaan yang umum diajukan
seperti itu, pasti beliau jawab dengan tegas, "Karena saya pribadi yang
konsisten terhadap ucapan, konsekuen terhadap langkah, disiplin," jawaban
demikian ia berikan, jelas berkorelasi dengan karakter polisi yang menuntut
untuk konsisten, disiplin dan konsekuen. 

Diajak berbicara tentang visi dan misi, penerima penghargaan - Satya Lencana
Kesetiaan 24 Tahun, Satya Lencana Dwidya Sistha, Satya Lencana Karya Bhakti,
Satya Lencana Ksatria Tamtama dan Satya Lencana Jana Utama - ini bertutur,
ia berkiblat pada visi dan misi Polri yang dituangkan dalam buku Reformasi
POLRI.

Ada tiga point atau tiga hal penting yang menjadi titik tolak perubahan di
tubuh POLRI yaitu Instrumental, Struktural dan Kultur. Tiga pilar ini harus
ditegakkan demi terwujudnya misi POLRI untuk melakukan reformasi, perubahan
menuju masa depan POLRI yang lebih baik. Tiga pilar ini dirumuskan setelah
POLRI melakukan jajak pendapat, tukar informasi, menampung aspirasi dari
publik melalui DPR, LSM dan mahasiswa, kemudian dilakukan analisa mendalam
dan diformulasikan ke dalam buku Reformasi POLRI.

Berbicara mengenai perubahan Instrumen, TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 adalah
jawabannya, di dalam TAP itu dijelaskan tentang peran dan kedudukan POLRI,
kemudian menyusul Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang dasarnya adalah
kemadirian POLRI dan upaya POLRI untuk membangun citra diri sebagai penjaga
keamanan dan ketertiban di masyarakat dan pengayom rakyat.

Sedangkan perubahan mengenai Struktural, yang dimaksud disini adalah POLRI
diberikan struktur kewenangan yang begitu luas, dimana dalam hal ini seluruh
kinerja POLRI dipertanggungjawabkan oleh Kapolri langsung kepada Presiden.
Yang paling penting adalah pilar ke tiga, yaitu tentang perubahan pada
kultur POLRI. Menurut Adang, inilah yang terbilang agak sulit. Karena
perubahan kultur adalah menghapuskan paradigma dan pola berpikir lama yang
sekian lama diyakini oleh para anggota POLRI yang lebih memperlihatkan pada
sikap "berkuasa" dan "arogan". Paradigma atau cara pandang POLRI yang baru
diharapkan dapat menjadi modal untuk masa depan POLRI yang lebih menempatkan
anggota POLRI sebagai mitra-nya rakyat.

Kesan angkuh dan tidak tersentuh hukum sebetulnya tidak benar sama sekali.
Karena polisi, menurut Adang juga manusia biasa yang tidak luput dari
khilaf. Seyogyanya untuk hal ini peran masyarakat juga diperlukan. Jika
ingin menghindari adanya oknum polisi yang melakukan korupsi, kolusi dan
menerima suap dalam kehidupan sehari-hari, jangan serta merta menyalahkan
polisi, karena masyarakat juga lah yang terkadang membuka jalan dan
memberikan peluang bagi para oknum untuk berbuat curang. Bukan pola berpikir
atau aturannya yang tidak ketat dan tidak mengikat, tapi yang melenceng
adalah segelintir oknum yang menyelewengkan otoritas. Sesungguhnya, masih
banyak anggota POLRI yang benar-benar menjadi sahabat masyarakat dan berada
di jalur yang benar. 

Mengatasi tindakan yang tidak terpuji oleh oknum POLRI di lapangan, Drs.
Adang menjelaskan, ada upaya perbaikan citra diri di tubuh POLRI yang telah
dan akan terus dilakukan dengan melakukan upaya pengawasan yang terus
menerus dan menerapkan sanksi terhadap pelanggaran hukum disiplin, kode etik
dan hukum pidana.

Adang memberi contoh, jika seorang anggota polisi diharuskan hadir untuk
apel jam 8 pagi, kemudian ia datang terlambat, maka diberlakukan hukum
disiplin, selanjutnya jika masyarakat yang merasa diperlakukan
sewenang-wenang oleh polisi, katakanlah ketika menjalani pemeriksaan atas
kejahatan yang dituduhkan tetapi masih berstatus tersangka, tetapi sudah
dicaci maki, atau diperlakukan kasar dan tidak menyenangkan, maka oknum
polisi tersebut sudah terkena pelanggaran kode etik. Yang terakhir adalah
pidana, yaitu tindakan kepada anggota polisi yang diduga menerima praktik
suap, penyalahgunaan senjata api dan sebagainya.

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke