HIMtv Rasa penasaran anda akan cerita terakhir Harry Potter tentu sudah tak menggebu lagi. Bahkan di beberapa milis dan situs, resensi sampai dengan bocoran bukunya pun bertebaran. Tokh masih banyak saja para muggle yang berbondong2 antre di toko buku demi untuk menjadi the one who knows first. Tapi penulis bukan akan mengupas seri ketujuh karangan JK Rowling yang dianggap sebagai buku dengan penjualan terbesar dan tercepat. Kita beralih ke ajang Indonesian Idol ( II ) 2007 yang sudah kita ketahui siapa juaranya. Seandainya saja proses kemenangan dibuat dalam format pemilu ala pilkada, mungkin metoda quick count bisa diterapkan J, tapi ini polling sms yang validitasnya keterwakilannya bisa diperdebatkan karena dari satu nomor saja bisa terkirim puluhan sampai ratusan sms yang sama, so sebenarnya kurang fair bila hal ini menjadi label bagi pembawa acara menyebutnya sebagai hasil Indonesia memilih. Biasanya waktu tayang grandfinal berdekatan dengan ultah RCTI di bulan Agustus, tetapi sekarang tampaknya telah terjadi pergeseran strategi. Maklumlah, setelah AFI Indosiar tidak muncul kembali, seolah II kehilangan program kompetitor yang sepadan. MamaMia menyasar segmen pemirsa yang lebih spesifik, antara anak perempuan dan sang ibu saja. Entah apakah karena kualitas penyanyinya yang tidak terlalu menonjol, karakter jurinya yang tidak kontroversial, bertele-telenya sang pembawa acara ( yang terus menerus merayu pemirsa untuk kirim dukungan sms ), iklan2 yang terlalu berjejalan, atau tantangan lagu di setiap episodenya yang kurang greget menyebabkan penulis tidak terlalu concern mengikutinya lagi. Di beberapa segmen memang diselipkan adegan dramatis seperti bagaimana anggota keluarga dan teman2-nya men-support perjuangan sang tokoh atau seperti apa atensi tokoh/pejabat mengapresiasi mereka yang dianggap wakil daerahnya, namun lagi2 konsep seperti ini bisa menjadikan pemirsa lebih subyektif ketimbang mengukur kualitas vocal sang idola. Bosan rasanya kita mendengar komentar miring, bahwa penyanyi karbitan seperti itu nyatanya tidak begitu sukses ketika berjuang dalam realitas blantika industri rekaman nasional.
HIMusic Bulan2 terakhir ini boleh dibilang Jakarta lagi kering acara konser yang lumayan heboh secara publisitas. Mungkin ajang PRJ yang berlangsung bulan Juni Juli 2007 menyebabkan sebagian besar musisi papan atas tersedot kesana, sehingga Soundrenaline yang mengusung tema Sounds of change ini dan digelar berdekatan tidak menyambangi ibukota. Belum lagi setiap pekannya ada gempuran konser Karnaval 17 dalam rangkaian ultah SCTV yang menghadirkan penyanyi dan grupband yang nyaris tidak variatif sama sekali. Artisnya itu melulu dan lagunya itu2 juga. Sementara belakangan ini beberapa artis internasional seperti Gwen Steffany, Christina Aguilera, sampai The Cure membuat konser di beberapa negara tetangga kita. Itulah kejelian bagian tourism board di negara lain, menjadikan pertunjukkan musik sebagai salahsatu agenda wisata hiburan. Lha, kita ? Ajang Piala Asia saja untuk urusan tiket lokal masih berantakan, apalagi ngurusin wisata olahraga para supporter asing ini ? Meredupnya pamor grupband Radja ( terutama setelah infotainment lebih getol ngomongin soal sang vokalis ), berganti dengan fenomena Kangen Band yang tampaknya terus menjalar. Beberapa musisi pendatang baru seolah2 tengah berburu segmen pendengar kelas C dan D ( baca : menengah ke bawah ) yang selama ini disepelekan banyak produser rekaman. Kupingin saja single jagoan dari Repvblik ( Hanya ingin kau tahu ), Matta ( Ketahuan ), sampai Drive ( Bersama bintang ) yang rata2 mirip, maksudnya berirama (pop) Melayu. Untuk kasus Drive, sebenarnya tidak ada yang salah ketika penulis mendengarkan lagu Tak terbalas, tetapi memang lagu yang menjadi soundtrack sinetron Candy ini tampaknya tengah booming di beberapa radio daerah. Anomali trend yang tampaknya akan terus berlanjut. Mungkin para MD maupun pengamat musik bisa kasih penjelasan ? HIMarketing Beberapa merek layanan BUMN yang bergerak dalam industri telekomunikasi dan multimedia ini mungkin sudah begitu jamak kita ketahui secara kasatmata dan digunakan oleh banyak masyarakat, seperti Telkom ( maksudnya telepon rumah ), Telkomsel ( untuk operator selular GSM ), TelkomFlexi ( untuk operator fixed-wireless CDMA ), TelkomNet Instan ( untuk ISP ), sampai Telkom Speedy ( untuk perangkat akses internet cepat ). Lalu makhluk apakah TelkomVision ini ? Boleh dibilang brand yang satu ini belum cukup akrab di benak public, untuk layanan tv berlangganan kebanyakan orang lebih mengenal nama2 seperti : IndoVision, Astro, atau KabelVision. Pihak TelkomVision seolah-olah adem ayem untuk terjun serius menggarap pasar pemirsa yang butuh tayangan alternative yang selama ini disodorkan banyak stasiun tv swasta nasional yang berbeda-beda namun nyatanya nggak jauh beda content-nya. Namun jangan salah, ini bukan promosi loch, untuk beberapa bulan kedepan perang tariff yang melanda operator selular tampaknya akan merembet ke dalam peta persaingan tv berlangganan. Setidaknya dari 2 versi iklan TelkomVision yang penulis cermati di media massa ada 2 pasar yang hendak digarap. Pertama : mobileTV dengan nama layanan M2V, maksudnya bukan nonton tv di ponsel pakai akses 3G yang tarifnya relative mahal itu, tetapi nonton tv di mobil dengan harga abodemen mulai dari Rp 99.000,-. Lumayan buat pengobat kejenuhan ditengah macet jalan raya Jakarta. Kedua : konsep tv prabayar ( bedakan dengan iuran ) mulai dari harga sekitar Rp 30.000,- s/d Rp 65.000,- per paket premium, plus ratusan channel lainnya secara gratis. Tentunya ini untuk menyasar kalangan pemirsa kelas menengah di rumah yang memandang biaya berlangganan ( kategori basic ) sekitar Rp 150.000,- per bulan masih memberatkan. Menarik bagaimana promo banting harga seperti ini akan menjadi medan pertempuran baru bagi pengelola pay-tv. Dan tentunya tv swasta nasional di Jakarta lambat laun akan mendapat saingan baru dimana mereka ( terutama kaum urban dan mapan ) yang sudah jenuh dengan format program yang lebih berorientasi rating ini akan memperoleh pilihan yang lebih beragam. Namun sayangnya, ketika penulis akhir pekan lalu mengunjungi situs TelkomVision untuk mencari bahan tulisan lebih lanjut, kok masih underconstruction ? Juga dari segi promosi dan penyebaran lokasi pendaftarannya di tempat keramaian belum begitu gencar dilakukan yach ketimbang tv kabel lain yang sekarang tengah bersaing ? Belum lagi kabarnya pengguna awal harus beli perangkat decoder dan parabola ( bukan dipinjamkan ) yang tentunya menjadi entry barrier tersendiri. Jadi kita tunggu saja gebrakan lebih lanjutnya dalam 1-2 bulan kedepan.