Untuk Jannah, juga kawan-kawan semua.
Cape juga membuka-buka kumpulan piringan data di rumah, akhirnya 
kutemukan dengan bantuan *scroogle*. Ini tentang obsesi ngintip itu...

Salaam,
Herman

*Voyeurisme Media Kita*
Oleh B Herry-Priyono

Kompas  Rabu, 01 Oktober 2003

VOYEURISME adalah keingintahuan yang telah melorot menjadi obsesi 
ngintip dan nggosip, pada lingkup personal maupun sosial. Biasanya ini 
adalah asal-muasal sekaligus hasil kultus selebriti yang dirayakan 
massal. Voyeurisme itu konsumerisme visual. Selebriti adalah obyeknya. 
Media massa adalah pelatuknya.

Jajak pendapat Kompas (25/8/03) yang menyatakan 77 persen pemirsa 
menganggap televisi menekankan komersialisme, konsumerisme, kekerasan, 
dan eksploitasi erotisme, sekadar menegaskan keluasan voyeurisme yang 
dilecut media televisi kita. Seperti biasa, muncul kontroversi tentang 
statistik. Padahal, masalahnya bukan kausalitas statistik, tetapi 
psikoanalitik. Statistik tentu jendela kecil untuk mengenali gejala.
*
Keluasan gejala*

Suatu hari, 14 Mei 2003, saya menyimak acara kuis di salah satu saluran 
televisi. Begini isinya. Pembawa acara bertanya kepada beberapa kelompok 
perempuan, "Rano Karno adalah mak comblang pasangan Lydia Kandau dan 
Jamal Mirdad, gosip atau fakta?" Lalu pembawa acara mendatangkan seorang 
bintang sinetron. Para pengikut kuis ditanya: "dia menikah di bawah usia 
21 tahun, gosip atau fakta?" Kemudian, "sebelum terjun ke sinetron, 
artis ini adalah seorang model, gosip atau fakta?" Dan seterusnya.

Silakan kenali saluran televisi kita, akan ditemui kian banyak acara 
seperti itu. Gabunglah dengan riuh-rendah acara gosip lain, klenik, 
celebrity shows, dangdut pada prime time, kita akan dapati apa yang 
disebut Neil Postman Amusing Ourselves to Death (1985). Namun, lebih 
jauh, amusement itu telah melorot menjadi voyeurism, bukan lagi hiburan 
tetapi pengintipan. Mungkin kita menyusun statistik tentang gejala itu, 
tetapi masih perlu menjawab pertanyaan "mengapa". Soalnya bukan 
statistik, tetapi psikoanalitik.

Apa yang terjadi pada media televisi kita rupanya sejalan dengan ledakan 
gejala semacam pada media cetak. Sosoknya tampil dalam berbagai majalah, 
tabloid, dan koran hiburan. Wajahnya genit, isinya gosip. Seperti apa 
yang memberondong layar televisi, sekurangnya ada tiga unsur yang 
menandai voyeurisme massal ini.

Pertama, ia berisi kultus selebriti. Sosoknya disulap genit, kisahnya 
dibuat bagai dongeng. Isinya wajah-wajah yang sering muncul di sinetron 
atau panggung nyanyi. Kita merasa ekstase menonton atau dekat dengan 
mereka, juga bila hanya di lembar majalah atau layar kaca. Kita meniru 
cara dandan, cat rambut, gaya bicara, memburu gambar dan omongan mereka 
dari hari ke hari.

Kedua, klise massal itu berisi kultus gaya-hidup. Sosoknya dipasang 
sebagai ukuran prestise dan status. Kita bagai kawanan yang karena tidak 
sempat diam, dengan mudah digiring untuk memburunya. Itulah klise massal 
yang dipicu media pesolek, propaganda keyakinan bahwa hidup merupakan 
salinan iklan. Biasanya kultus gaya hidup ini terbentuk berkombinasi 
dengan kultus selebriti.

Ketiga, klise massal itu menyangkut pengeboran basic instinct hasrat dan 
sensualitas. Jutaan gambar, gosip, dan simulacra yang terpajang terlihat 
atau terdengar sebagai informasi. Namun, lebih mungkin sebagai informasi 
bagi voyeurisme. Atau, voyeurisme itu sendiri. Ia sebentuk narcisisme 
dengan gerak-gerik selebriti sebagai cermin mengaca.

Ada perbedaan antara hiburan dan voyeurisme, juga bila tidak mudah 
menetapkan pembatasnya. Melewati batas itu, media akan terpelanting, 
bukan lagi media hiburan, tetapi voyeurisme. Lewat proses ini biasanya 
media perlahan mundur dari misinya memberi informasi, mendidik, dan 
menghibur karena kemudian bergeser menjadi medium voyeurisme. Apa yang 
disebut Jay Rosen (1999) sebagai civic journalism perlahan pudar. Yang 
berkibar voyeuristic journalism.

Yang terbentuk dari gabungan ketiga klise massal itu adalah apa yang 
disebut Václav Havel the aesthetics of banality (estetika kedangkalan). 
Lagi, bisa saja kita kumpulkan statistik tentang gejala itu, tetapi kita 
masih perlu menembus pertanyaan "mengapa". Dan soalnya bukan statistik, 
melainkan psikoanalitik.

Kapan gejala itu akan mencapai titik jenuh? Bahkan, dari perhitungan 
optimistis, proses itu tidak akan mengalami titik jenuh. Mengapa? Di 
sinilah kita sampai pada soal yang jarang tersentuh dalam jajak 
pendapat, yaitu psikoanalisa dan ekonomi-politik.
*
Ekonomi-politik libido*

Seperti sering ditunjuk, sistem rating menjadi kunci memahami duduk 
perkaranya. Tetapi, statistik rating akhirnya sekadar jendela bagi kita 
untuk menebak isi gejala. Karena itu, yang dibutuhkan adalah melewati 
angka dan menembus isi gejala.

Mulailah dari pertanyaan berikut, "mengapa program voyeuristik itu amat 
laku?" Alkisah, jawaban mainstream akan bilang, "Karena itulah 
permintaan (demand) khalayak!" Lalu tanyakan lebih lanjut, "Dari mana 
muasal permintaan itu?" Para penjual program mungkin akan bilang, "Dari 
selera pemirsa!" Mereka yang sedikit skeptik akan mengajukan pertanyaan 
mengejar, "Apakah selera pemirsa terbentuk dengan sendirinya?" Pada 
titik inilah persimpangan jawaban semakin tajam.

Bila pertanyaan terakhir itu dijawab "ya", kita akan tertawa tergelak 
karena kita tahu berondongan program voyeuristik yang makin intensif itu 
telah menjadi pasokan yang membentuk permintaan. Maka permintaan bukan 
terutama dibentuk oleh otonomi selera pemirsa, tetapi oleh pasokan 
program yang disajikan media. Dan proses inilah yang lalu membentuk 
gerak spiral selera pemirsa pada voyeurisme. Apa yang ditunjuk sistem 
rating hanya ujung sementara pada puncak spiral itu, sekian persen 
pemirsa suka program voyeuristik. Tentu, spiral itu akan bergerak kian 
menjulang.

Ada pertanyaan yang tetap memburu, apakah benar program-program 
voyeuristik itu disajikan untuk menghormati selera pemirsa? Inilah soal 
paling krusial yang amat jarang dijawab. Rupanya jawabannya tidak 
terletak pada kajian media, tetapi pada kaitan antara psikoanalisa dan 
ekonomi-politik. Isinya menyangkut urusan praktis yang bertalian erat 
dengan masalah konseptual.

Pertama, urusan praktis. Pemirsa bukanlah tujuan, tetapi tambang emas 
bagi media massa yang sedang bergeser menjadi bisnis media. Target 
utamanya bukan to inform, to educate, dan to entertain seperti yang 
dicita-citakan, tetapi bagaimana menciptakan tambang laba dari hasrat 
pemirsa/pembaca. Jalan pintasnya adalah masuk memainkan kawasan basic 
instinct manusia yang bersifat libidinal. Seperti ditemukan Aliansi 
Jurnalis Independen (AJI) dalam Annual Report 2000-2001, itulah mengapa 
pada periode lima tahun terakhir makin banyak kelompok bisnis berbondong 
masuk ke bisnis media.

Sebagaimana kita belajar dari psikoanalisa, tidak ada batas pada libido 
manusia. Ia laksana sumur tanpa dasar. Inilah kawasan sensous dan 
desirous kita yang terus-menerus digali serta dimainkan dalam proses 
komersialisasi. Seperti kita tahu, tentu saja proses itu terjalin 
melalui perkawinan tiga unsur: tayangan prime time, voyeurisme, iklan. 
Yang pertama menyangkut timing, yang kedua hasrat libidinal, dan ketiga 
tambang laba. Lugasnya, voyeurisme media adalah sebentuk "ekonomi libido".

Kedua, masalah konseptual yang terlibat dalam gejala itu mungkin bisa 
dimulai dari pertanyaan ini, "gagasan apa yang memungkinkan perluasan 
ekonomi libido itu?" Rupanya kuncinya terletak dalam sejarah 
perkembangan ilmu ekonomi sendiri.

Pergeseran-entah sebagai "kemajuan" atau "kemunduran"-dari 
ekonomi-politik klasik (Adam Smith, David Ricardo) ke ekonomi neo-klasik 
(Karl Menger, Léon Walras, William Jevons) salah satunya menyangkut 
pergeseran konsep "nilai ekonomi" (value). Nilai ekonomi tidak lagi 
diletakkan pada nilai-guna material (material use value), tetapi pada 
antisipasi kepuasan hasrat (desire).

Dengan itu, nilai-tukar ekonomi (exchange value) juga makin dilekatkan 
bukan pada materialitas kerja (labour), tetapi lebih pada penciptaan 
nilai tukar ranah psikologis yang terkait hasrat manusia (desire). 
Pergeseran ini punya implikasi amat luas, termasuk mundurnya ekonomi 
manufaktur dan berkibarnya ekonomi virtual.

Apa yang relevan bagi kita adalah proses berikut. Kawasan yang 
menyangkut hasrat manusia menjadi target penciptaan nilai-tukar ekonomi. 
Karena sesuatu punya nilai-tukar ekonomi hanya jika tercipta kelangkaan 
(scarcity), ekonomi produksi berhadapan dengan dua pilihan: mengurangi 
atau menaikkan kadar desire. Karena mengurangi sama dengan represi, 
intensifikasi hasrat manusia menjadi sasaran proses ekonomi produksi. 
Produksi menjadi urusan penciptaan desire. Maka nilai-surplus (surplus 
value) perlahan-lahan juga menjadi identik dengan penciptaan surplus 
hasrat (surplus desire) itu sendiri.

Itulah proses yang mengantar perebakan bisnis gaya hidup, hiburan, dan 
voyeurisme. Itu pula proses yang kemudian makin merekatkan dua bidang 
yang kelihatannya berbeda: psikologi dan ekonomi. Tatkala intensitas 
desire menjadi target ekonomi produksi, kawasan libidinal kita tentu 
saja juga terperangkap dalam pusaran kinerja sistem pasar. Salah satu 
wajahnya adalah perebakan voyeurisme dalam bisnis media.

Apa relevansi pokok-pokok itu dengan kondisi media kita, yang salah 
satunya terpotret dalam jajak-pendapat Kompas? Pertama, pendangkalan 
masyarakat tidak hanya dipicu oleh orgi kekerasan, tetapi juga oleh orgi 
seduksi. Mungkin inilah pokok mendesak yang perlu diajukan kepada banyak 
media kita.

Kedua, pengandaian bahwa media selalu mendorong proses demokrasi 
tampaknya merupakan asumsi yang terlalu mulia. Jika demokrasi ala pemilu 
mengandaikan khalayak well- informed, padahal semakin banyak media lebih 
sibuk dengan informasi voyeuristik, sebaiknya kita tidak perlu heran 
bila Pemilu 2004 justru akan mengantar para badut, koruptor, preman, dan 
jagal terpilih sebagai pejabat-pejabat Republik.

B Herry-Priyono /Peneliti, Staf Pengajar Program Pascasarjana STF 
Driyarkara, Jakarta/

-- 
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Jl. Latuharhari 4B Jakarta 10310
Telp. 021-3903963  |  Fax. 021-3903922
Mail: [EMAIL PROTECTED]
Website: www.komnasperempuan.or.id



[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to