Oleh: Komaruddin Hidayat 
http://www.uinjkt.ac.id/index.php/category-table/922-tubuh-itu-merekam.html 

DALAM Alquran (Yasin: 65) dinyatakan, di akhirat kelak anggota tubuh kita akan 
memberikan kesaksian atas apa yang diperbuatnya selama di dunia. 

Tangan, kaki, dan anggota badan lain akan berbicara sehingga mulut tidak bisa 
membantah dan berbohong. Pendeknya dalam pengadilan di akhirat kelak kita tak 
akan mampu membohongi diri sendiri dan malaikat karena anggota tubuh akan 
menjadi saksi yang bisa memberatkan atau meringankan, tergantung pada perbuatan 
yang pernah dilakukan di dunia. Hakim yang kita hadapi di akhirat kelak 
bukanlah hakim yang dapat disuap dengan uang sebagaimana yang terjadi di dunia.


Tak akan ada yang mampu menolong diri kita kecuali rekaman iman dan amal 
kebajikan kita sendiri. Apa yang disampaikan Alquran di atas secara ilmiah 
sangat mudah untuk dibuktikan bahwa tubuh itu merekam apa yang biasa kita 
lakukan dan pikirkan. Contoh yang paling sederhana adalah rekaman pengalaman 
naik sepeda. Mungkin ada di antara kita sudah puluhan tahun tidak pernah naik 
sepeda.Tetapi karena dahulunya pernah dan biasa naik sepeda, andaikan disodori 
sepeda pasti bisa mengendarainya. 


Mengapa? Karena tubuh kita, terutama kaki dan tangan,memiliki rekaman bagaimana 
mengendarai sepeda,sehingga rekaman tadi muncul lagi ketika disuruh naik 
sepeda. Namun, mereka yang dahulunya tidak pernah,yang berarti tidak memiliki 
rekaman pengalaman, pasti perlu waktu lama dan mulai dari nol untuk belajar 
naik sepeda. Contoh ini dapat diperbanyak lagi, misalnya apa yang direkam oleh 
lidah tentang rasa makanan. 


Tanpa diberi tahu apa namanya, begitu melihat, mencium baunya, dan merasakan 
rasa makanan yang dahulu suka kita makan waktu kecil sudah langsung tahu apa 
nama makanan itu dan bagaimana rasanya. Bahkan andaikan makanan itu disajikan 
dalam keadaan gelap, kita akan bisa mengenalinya. Bagaimana bisa? Karena lidah 
kita memiliki rekaman akan berbagai rasa makanan. 


Dalam sebuah penelitian kajian neurologi dibuktikan bahwa selsel otak ternyata 
menyimpan berbagai informasi dan pengalaman yang terekam sejak kecil yang 
umumnya sudah kita lupakan. Ketika dilakukan eksperimen dengan pembedahan otak, 
tetapi yang bersangkutan tetap sadar, ternyata ketika dirangsang sel-sel saraf 
tertentu mampu menceritakan berbagai pengalaman sewaktu kecil. Eksperimen ini 
memperkuat teori bahwa semua yang pernah kita ketahui dan pikirkan terekam 
dalam jaringan saraf otak. Jadi, apa yang dikatakan Alquran tadi semakin 
diperkuat oleh eksperimen ilmiah.


Teori bahwa tubuh merekam saya amati dan buktikan sendiri ketika ayah saya 
sakit, dirawat di rumah sakit di Magelang selama satu minggu. Saya mendapatkan 
pelajaran yang sangat berharga dari peristiwa ini. Betapa tidak? Bayangkan, 
ketika dia sembuh dan telah kembali ke rumah, saya bertanya kepadanya, 
"Bagaimana pengalaman Bapak ketika di rumah sakit?"Dia jawab, "Saya lupa." 
Sungguh ini hal yang aneh. Dia bilang sudah lupa dengan apa yang terjadi di 
rumah sakit. Jadi, secara fisik sebenarnya dia memang sakit, tetapi secara 
mental dia sama sekali tidak merasa dirinya sakit.


Yang sangat mengesankan saya, saat dirawat di rumah sakit, setiap kali datang 
waktu salat, dia selalu minta air untuk wudu atau minta diberi kesempatan untuk 
tayamum karena mau salat. Rupanya tubuh dan mentalnya merekam ritme jadwal 
salat sehingga setiap datang waktu salat, jam badannya (biological clock) 
memberi isyarat secara refleks dan otomatis bergegas untuk mendirikan salat 
karena ayah saya ketika sehat selalu salat tepat waktu lima kali sehari. 


Jadi, ketika sakit, jam badan itu bekerja layaknya weaker yang memberi isyarat 
karena di dalamnya memiliki rekaman habit. Contoh lain yang dengan mudah kita 
saksikan dalam peristiwa-peristiwa sehari-hari adalah pengalaman sopir bus 
malam lintas kota. Dulu, waktu tol Cipularang belum dibuat, sebagian besar 
orang menggunakan jalur Puncak untuk pergi dari Jakarta ke Bandung. Pernahkah 
kita membayangkan bagaimana hebatnya para sopir bus jurusan Jakarta–Bandung itu 
ketika melawati Ciawi, Megamendung, Cisarua, Puncak Pass, Cipanas, Cianjur, dan 
Bandung? 


Sopir-sopir bus itu dengan mudahnya menyusuri jalan berkelok yang naik-turun. 
Mereka sangat lihai. Mereka hafal betul kapan dan di mana harus berbelok.Mereka 
tahu kapan dan di mana akan ada tanjakan dan tikungan, bahkan mereka tahu di 
mana akan ada banyak kerumunan orang di jalan. Mengapa mereka bisa sehebat itu? 
Mengapa sopir itu bisa secara refleks mengendarai dan hafal situasi jalur 
Jakarta–Bandung? Jawabannya kita pasti tahu: itu karena kebiasaan. 


Mereka telah terbiasa setiap hari melewati rute itu sehingga anggota tubuhnya 
merekam situasi dan keadaan yang dilaluinya. Begitu juga orang yang dulu pernah 
mahir bermain ping-pong atau bermain badminton, ketika dia sudah tua,meskipun 
sudah meninggalkan kebiasaan itu selama puluhan tahun, pasti dia akan sanggup 
memainkannya kembali. Mungkin gerakan dan tingkat kelihaiannya berbeda dengan 
masa mudanya, tetapi kemampuan dan teknik dasar bermainnya tentu akan terlihat. 
Jadi, kebiasaan masa lalu tak akan mudah terlupakan karena tubuh ini merekam 
secara kuat apa yang pernah menjadi kebiasaan dan kesukaan atau hobi. 


Cerita di atas menyimpan pesan yang sangat dalam. Bahwa hendaknya kita 
membiasakan berpikir, berbicara, dan berbuat yang baik-baik, agar ketika sakit 
atau menjelang ajal nanti, rekaman kebaikan itu yang akan menemani dan mengawal 
kita menempuh perjalanan lebih lanjut. Coba renungkan, ada kejadian pada 
orangtua yang menjelang ajal, tetapi sangat-sangat sulit untuk mengucapkan 
zikir seperti tahlil, tahmid, takbir. Hal ini disebabkan di masa hidupnya 
bacaan-bacaan zikir itu sangat asing,hati dan lidahnya tidak memiliki rekaman 
zikir. 


Dia tidak mempunyai memori yang dapat membangkitkan kesadarannya untuk 
mengucapkan kalimah tayyibah itu menjelang ajalnya. Sebaliknya, sering kali 
saya menyaksikan bagaimana mudahnya seseorang mengucapkan zikir atau membaca 
asmaul husna pada saat menjelang kematiannya.Ini lantaran dia telah terbiasa 
untuk mengucapkan kalimat itu di masa hidupnya. Dia telah membiasakan diri 
untuk membasahi lidahnya dengan kalimat zikir. 


Siang malam dia berzikir. Sebelum dan sesudah salat dia berzikir. Ketika 
tersandung batu dia beristigfar. Ketika mendengar petir dia bertasbih. Praktis, 
kalimat zikir telah menjadi bagian dari kebiasaannya sehari-hari sehingga 
ketika ajal datang menjemput dia dengan mudah mengucapkan kalimat zikir untuk 
menutup usianya. Karena itu, bagi orang yang mempunyai kebiasaan buruk yang 
selalu mengucapkan kata-kata kotor di masa hidupnya, bisa jadi menjelang 
sakaratul maut yang akan diingatnya hanya kata-kata kotor.


Orang yang biasa mengejek, mengomel, atau mencemooh orang lain akan tertutup 
hatinya untuk mengucapkan kata-kata yang baik, sebab rekaman atau memori 
hidupnya selalu dipenuhi dengan kebiasaan buruk itu. Saya sering kali 
mendapatkan kisah-kisah nyata yang menceritakan hal itu. Semoga kisah-kisah di 
atas dapat menjadi pelajaran berharga untuk menghadapi kematian sehingga kita 
menjumpai Izrail dengan senyum persahabatan.

Mari kita membiasakan diri untuk melafalkan kata-kata yang baik,selalu berzikir 
dan mengingat Allah SWT, membiasakan diri mengerjakan salat, berpuasa dan 
bersedekah,serta berbuat baik kepada sesama,sebab semua itu akan terekam dalam 
memori kita sepanjang hayat, baik saat hidup di dunia, menjelang sakaratul 
maut, atau setelah kematian kita. Husnul khatimah (pengujung yang baik) di masa 
kematian kita itu tidak bisa diraih dengan tibatiba. 


Ia tak bisa dipaksa dan dibimbing oleh orang lain dengan mudah karena diri 
kitalah yang menentukan apakah kita sanggup mendapatkan akhir yang baik atau 
tidak. Husnul khatimah merupakan akumulasi dari perjalanan panjang seseorang di 
masa hidupnya. Rekam jejak kehidupan seseorang menentukan hasil akhir dari 
perjalanan hidupnya di dunia.(*)

Kirim email ke